PERJUANGAN DAN GERILYA RRI SURABAYA

Radio, sebuah media masa elektronik yang mempunyai fungsi penting sebagai media penyampai informasi berjaring luas dan terbaru saat itu. Gelombang elektromagnetiknya mampu menembus siap sisi dunia manapun dan Informasinya selalu ditunggu-tunggu oleh siap pun, hingga saat ini Radio masih memiliki peran penting bagi masyarakat serta memiliki penggemar hingga kapan pun.

1 April 1934, NIROM atau Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij mulai resmi beroperasi di Bandung, Jakarta, Semarang dan Surabaya. Meskipun sebenarnya NIROM mulai dirintis pada tahun 1929 dengan di Batavia dengan pemancar 1 Kilowatt yang hanya menjangkau tidak lebih 20 km dengan pemancar setinggi 20 meter. Di Surabaya dengan gelombang 31 dan 19 meter dilakukan uji coba siaran, namun kurang baik dan tidak maksimal, sehingga perbaikan-perbaikan selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas siaran.

Gedung NIROM di Surabaya berada di Embong Malang no 87-89, saat Jepang memasuki Surabaya pada 8 Maret 1942 Gedung NIROM dirusak oleh Algemene Vernielings Corps atau AVC yang bertugas untuk menghancurkan semua objek vital agar tidak digunakan Jepang, namun yang unik pemancarnya masih hidup semua. Barisan Propaganda Dai Nippon segera menguasai Nirom Surabaya, 9 Maret 1942 jam 11.00 melalui pemancar 41 meter call sign NIROM telah berganti dengan “Disini siaran bala tentara Dai Nippon, Radio Surabaya”, siaran awal berisi maklumat-maklumat dari bala tentara.

Gedung Kunstkring yang kemudian menjadi Gedung Radio Surabaya

Di karenakan Studio NIROM Embong Malang tidak memadai untuk kegiatan propaganda Jepang, maka dicarilah tempat yang tepat untuk kegiatan itu, dari sekian banyak gedung yang ditawarkan ternyata Barisan Propaganda memilih gedung Kunstkring yang berada di Jalan Simpang depan Rumah Sakit Umum atau CBZ, tidak hanya Kunstkring yang dikuasai namun juga 3 rumah disebelah timurnya untuk dijadikan kantor.

April 1942 dimulailah siaran dari Studio Simpang itu dengan nama Surabaya Hoso Kyoku, namun pemancar besar tetap berada di bekas NIROM Embong Malang, siaran di Simpang direlay dan dipancarkan lagi secara luas dari Embong Malang. Pemuda gerakan bawah tanah Surabaya sering meminjam “telinga” kepada pemuda radio untuk mendengarkan berita luar negeri dari kamar relay di belakang studio Simpang, namun paling aman aktifitas itu dilakukan di pemancar Embong Malang, hasil “nguping” tadi disampaikan ke anggota gerakan bawah tanah secara hati-hati.

Baca Juga  Gedung Pengadilan Tinggi
Kunstkring saat menjadi Soerabaja Hoso Kyoku atau Radio Surabaya dibawah Badan Propaganda Dai Nippon.

Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diterima Surabaya melalui kantor berita DOMAI pada 17 Agustus 1945 jam 12.00 tidak bisa secara langsung disiarkan dan baru sore harinya berita itu dapat mengudara melalui siaran kebudayaan yang dibacakan dalam bahasa Madura oleh R.P Djakfar Brotoatmodjo karena diawasi Kempetai secara ketat. 18 Agustus 1945 dari Surabaya Hoso Kyoku pada siang dan malam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga disiarkan dalam Pancaran Sastra yang dibacakan oleh R. Soekardjo Wiryopranoto.

19 Agustus 1945, Surabaya Hoso Kyoku dilarang mengudara lagi oleh Kempetai dan dijaga ketat termasuk pemancar Embong Malang. Namun ternyata 4 September 1945 Studio Simpang dan Pemancar Embong Malang disidak oleh Perwira Sekutu untuk memastikan status quo kedua objek vital tersebut, hal itu diketahui oleh pegawai Surabaya Hoso Kyoku dan mengkawatirkan jika semua komponen Radio diambil alih oleh Sekutu. Kekawatiran itu terbukti, 6 September 1945 setelah terdengar siaran dari Van Der Pals dan Abdulkadir Wijoyoatmojo di radio dan didengar oleh orang-orang Surabaya, sehingga untuk langkah pengamanan pegawai Surabaya Hoso Kyoku mengambil kristal dan tabung lampu pemancar dan disembunyikan di Kampung Malang, sehingga pemancar Embong Malang tidak dapat melakukan siaran dan sepenuhnya berada dalam kuasa Pemuda Radio.

11 September 1945, Yusuf Ronodipuro bersama Abdulrahman Saleh mengambil alih Hoso Kanri Kyoku di Jakarta. Pada saat kedatangan rombongan RAPWI di Surabaya sekitar 15 September 1945 dengan menggunakan truk serta dikawal panser Kempetai mereka akan mengambil pemancar di Embong Malang, namun hal ini digagalkan oleh pemuda Radio dan rakyat sekitar, mereka kembali ke Hotel Oranje dengan tangan hampa.

Radio Bekupon

Melihat situasi kondisi yang semakin genting, 26 September 1945 siang hari para pemuda Surabaya Hoso Kyoku mengadakan rapat dan membulatkan tekad untuk mengambil alih Hoso Kyoku. 27 September 1945 jam 10.00 para pemuda menghadap Marimoto Hoso Kyokucho atau Kepala Radio Surabaya dan diminta untuk menyerahkan Radio Surabaya kepada para pemuda, namun dengan “kode” tidak mau menyerahkan kecuali dengan paksaan, maka beberapa pemuda Radio langsung mendekap dan memegang tangan Marimoto seraya “memaksa” memberikan cap ke lembaran serah terima, kemudian Marimoto dengan bahasa Indonesia beraksen Jepang mengatakan “Kalian terlalu berani dan harus berani mempertahankan sampai mati”, Hari itu kamis 27 September 1945 jam 17.00 mengudara call sign untuk Radio Surabaya “Disini Radio Republik Indonesia Surabaya, disiarkan dari Studio Simpang, dipancarkan dari  gelombang 92, 116 dan 150 meter, Sekali merdeka tetap merdeka”

Pemuda RRI Surabaya melakukan upaya-upaya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan mobil berpengeras suara berkeling Surabaya mengabarkan pengambilalihan RRI Surabaya, selain itu para pemuda RRI membuat jalur komunikasi dari Simpang ke Markas BKR Jawa Timur di HVA untuk memudahkan Komandan BKR Jawa Timur Drg. Moestopo menyampaikan instruksinya. 13 Oktober 1945 untuk pertama kalinya Bung Tomo berpidato di RRI Surabaya, beliau memperkenalkan diri sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan mulailah rakyat mengenal siaran “Radio Pemberontakan”.

Baca Juga  Jalan Gemblongan

25 Oktober 1945, Inggris mendarat di Surabaya, para pemuda RRI Surabaya segera melakukan langkah pengamanan dengan cara menyebar beberapa perangkat pemancar keluar Surabaya, yaitu di :

Petemon, dengan pemancar RCA 250 Watt.

Wonokitri, dengan pemancar Jepang 250 Watt.

Sepanjang, dengan pemancar RCA 250 Watt.

Balongbendo, dengan pemancar NSF 150 Watt dan GEC 100 Watt.

Mojokerto, dengan pemancar RCA 200 Watt.

Ini semua dilakukan untuk membangun basis pemancar apabila Simpang dan Embong Malang kemudian direbut oleh Inggris. Kenyataan itu benar setelah Studio RRI Surabaya di Simpang diambil alih oleh Inggris pada tanggal 28 Oktober 1945, sehingga dikepung dan dibakar habis oleh para pejuang Surabaya, semua tentara Inggris tewas, namun Pemancar Embong Malang tetap dikuasai para pemuda RRI. Esoknya beberapa pemuda RRI meninjau ke Simpang, mereka hanya mendapati studio yang porak-poranda, bau anyir darah manusia campur daging yang sudah membusuk.

Studio siaran RRI Surabaya hanya tinggal di Embong Malang, dari situlah kemudian siaran RRI Surabaya dilakukan termasuk menyiarkan “Komando Keramat” Gubernur Suryo pada tanggal 9 November 1945 jam 23.00, kemudian pidato Gubernur Suryo itu dibaca berulang-ulang oleh penyiar RRI Surabaya semalam suntuk, pidato itu juga dibacakan dalam bahasa Madura oleh Sumarsono agar semua lapisan masyarakat Surabaya memahami isi pidato.

10 November 1945 pagi Inggris benar-benar membombardir Surabaya, di pagi itu Pemancar RRI di Embong Malang juga ditembaki oleh pesawat Inggris, termasuk bom dari kapal perang yang jatuh di depan dan samping gedung, tetapi tidak ada yang mengenai sasaran. 17 November 1945 dilakukan pengungsian kembali alat-alat pemancar serta mengaktifkan Basis Petemon sebagai cadangan, mulai saat itu Embong Malang sudah jarang sekali melakukan siaran. 19 November 1945 RRI Surabaya di Embong Malang benar-benar ditinggalkan karena pasukan Inggris sudah sangat dekat sekali, para Angkasawan RRI baru mau pindah setelah ada desakan dari para pejuang, sebelum meninggalkan Embong Malang salah satu Angkasawan melakukan aksi heroik dengan memanjat antena pemancar dan memancangkan bendera Merah-Putih. Merah-Putih itu tetap berkibar hingga akhir November 1945.

Baca Juga  Pasar Peneleh Surabaya
Radio Surabaya sekitar 1947.

Pemancar RCA 250 Watt di Petemon dipindahkan ke Mojokerto, sehingga pemancar di Sepanjang mengudara yang awaki oleh Didy Riaman, Martopo, Subaji, Suwito, Samijono dan Sulaiman. Pemancar RRI Surabaya di Sepanjang bertahan beberapa bulan hingga Inggris menguasai Sepanjang dan kemudian dipindahkan ke Mojokerto.

17 Agustus 1946 semua Angkasawan RRI Surabaya berkumpul di Mojokerto, semua pemancar dihimpun kembali sehingga RRI Surabaya kembali mengudara, siaran-siaran menjadi teratur, pemancar berada di Pasar Pahing 68 Mojokerto, namun call sign RRI Surabaya berubah menjadi “Radio Republik Indonesia Daerah Surabaya”.

Namun perjuangan para Angkasan RRI Surabaya tidak berhenti sampai disitu, mereka turut berjuang dan bergerilya menegakan Kemerdekaan Indonesia dengan tetap memegang prinsip “SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA DAN SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!!”

Oleh : Achmad Zaki Yamani.

 

Sumber :

Pejuangan RRI Surabaya Dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, RRI Regional 1 Surabaya, 1999.

119 Pejuang Angkasawan RRI oleh H. Afnani Hawari, S.Pd, M.Pd dan Budi Suwarno, S.Sos, MM.Pd., RRI Surabaya, 2022.

NIROM BODE, 1 April 1939.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *