Prasasti Pucangan, Sumber Penting Kesejarahan Airlangga

Prasasti Pucangan saat ini disimpan di Museum Calcutta, India. Keberadaan Prasasti Pucangan diketahui dari buku karya Raffles, yaitu “History Of Java, vol.II”.

Menurut buku tersebut, Raffles sengaja membawa Prasasti Pucangan ke India untuk diberikan kepada Lord Minto di Calcutta, India.

Dalam buku tersebut juga mencantumkan surat balasan dari Lord Minto kepada Raffles di Batavia tertanggal 23 Juni 1813.

Jadi, kemungkinan Prasasti Pucangan diboyong dari tempat asalnya sekitar tahun 1812-1813.

Menurut Hasan Djafar, identifikasi di buku karya Raffles memang mengenai Prasasti Sangguran, tetapi prasasti yang digambarkan adalah Prasasti Sangguran.

Kebetulan memang ada dua batu prasasti yang diboyong pada saat itu, yaitu Prasasti Pucangan (diduga dari Jombang) dan Prasasti Sangguran (dari Batu, Malang).

Absklats dari Prasasti Pucangan dikirim ke Dinas Purbakala Hindia Belanda pada 10 April 1911.

Menurut keterangan De Casparis yang secara langsung melihat Prasasti Pucangan di Calcutta, keadaan pahatan aksara Prasasti Pucangan sudah aus, karena itu dalam pembuatan alih aksara dipergunakan data pustaka berupa alih aksara dan terjemahan dari Kern.

Prasasti Pucangan dibuat dari batu andesit, menurut keterangan Kern dalam VG VII ukuran Prasasti Pucangan, tinggi 124 cm, lebar puncak 95 cm, lebar bawah 86 cm, ditulis di empat sisi batu, yaitu depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri.

Aksara yang dipahatkan pada Prasasti Pucangan adalah aksara Jawa kuna atau Kawi. Bahasa yang digunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna.

Prasasti Pucangan dibuat untuk memperingati pembuatan pertapaan di lereng Gunung Pugawat. Dari keterangan tersebut diduga letak Prasasti Pucangan asalnya tidak jauh dari pertapaan.

Baca Juga  Teluk Lamong Diduga Pelabuhan Laut Kuno Surabaya

Para peneliti dan sejarawan menyebut Prasasti Pucangan Sansekerta dan Prasasti Pucangan Jawa kuna, karena dalam prasasti tersebut menggunakan dua bahasa.

Bagian awal (bait ke-1 sampe ke-3 ) Prasasti Pucangan Sansekerta, berisi syair pemujaan terhadap dewa-dewa trimurti yaitu Brahma (Dhatr), Wisnu (Triwikrama), dan Siwa (Siwaya namah, Sthanu).

Kemudian bait ke-4 sampai ke-12 berisi penjabaran mengenai istilah Wangsa Isana. Dimulai dari sang pencetus dinasti, yaitu “Sri Isanatungga”, kemudian putrinya yang bernama “Sri Isanatunggawijaya” yang kemudian menikah dengan Sri Lokapala.

Setelah itu muncul nama “Makutawansawarddhana” yang kemudian melahirkan putri bernama “Mahendradatta” yang kemudian disebut “Gunapriyadharmapatni”. Ia menikah dengan bangsawan bernama Udayana, yang kemudian melahirkan Airlangga.

Bait setelah silsilah berisi mengenai musuh-musuh Airlangga yang tertuang pada bait ke-15 sampai bait ke-30. Dijelaskan siapa saja musuh-musuh yang diserangnya disertai penanggalan. Penanggalan disini dalam arti pencatuman angka tahun, paksa, tithi, wara.

Sementara Prasasti Pucangan Jawa Kuna isinya tidak jauh berbeda dengan Prasasti Pucangan Sansekerta. Isinya mengenai maklumat raja Airlangga yang memerintahkan wilayah Pucangan, Baharem, dan Bapuri, tanah milik warga pinhai sebagai Sima untuk pembangunan bangunan suci.

Diceritakan juga mengenai peristiwa serangan raja Wurawari, yang menyerang kerajaan sebelum Airlangga naik tahta (peristiwa Mahapralaya).

Setelah itu diceritakan pula ketika raja Airlangga bersama Narottama melarikan diri ke hutan dan hidup secara sederhana dengan para pertapa. Setelah menaklukkan musuh-musuhnya raja Airlangga memerintakan pendirian pertapaan di Pucangan serta akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mengganggu pertapaan tersebut.

Kedua isi prasasti saling mengisi informasi. Seperti pada Prasasti Pucangan Sansekerta menjelaskan mengenai penanggalan yang hampir lengkap, namun nama lokasi tidak jelas.

Maka pada Prasasti Pucangan Jawa Kuna melengkapinya. Ada informasi yang tak dijelaskan, maka di prasasti satunya dijelaskan. Oleh karena itu, kedua prasasti saling terkait, baik peristiwa sejarah maupun kronologinya.

Baca Juga  Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Penanggalan pada Prasasti Pucangan terdiri dari 2 penanggalan, yang mana pada Prasasti Pucangan berbahasa Sansekerta bertarikh tahun 959 Saka atau 1037 M dan Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuna bertarikh tahun 963 Saka atau 1041 M.

Menurut informasi, bagian yang berbahasa Jawa Kuna sudah sangat rusak. Prasasti Pucangan berbahasa Sansekerta terdiri atas 34 baris. Isinya antara lain, pujian pada Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa kemudian pengenalan Raja Airlangga sebagai pahlawan dengan gambaran sifat baik yang ada di dirinya, dan penaklukan-penaklukan raja Airlangga pada daerah sekitarnya.

Ada pun prasasti dengan bahasa Jawa Kuna memiliki 46 baris dengan isi antara lain unsur penanggalan, keterangan bahwa Airlangga adalah inkarnasi Wisnu yang dilindungi para dewa.

“Ada juga daftar raja-raja yang diserang dan dikalahkan Raja Airlangga dan pujian pada raja Airlangga.”

Pada Prasasti Pucangan disebutkan nama gelar Raja Airlangga adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawiramottunggadewa”.

Dalam catatan OJO Brandes dikatakan, Prasasti Pucangan ditemukan di Karesidenan Surabaya. Sayangnya, tidak disebutkan pasti dimana letak Prasasti Pucangan berasal secara rinci.

Namun bila ditelusuri lebih dalam, kala itu karesidenan Surabaya mencakup Mojokerto, Jombang dan sekitarnya. Sedangkan wilayah administrasi era Belanda dan masa kini sudah berbeda. Jombang kini sudah berdiri sendiri sebagai kabupaten, setelah ‘dimerdekakan’ dari Mojokerto tahun 1910.

Diduga tempat asal Prasasti Pucangan berada di suatu tempat yang bernama Gunung Pucangan di Jombang, yang secara administrasi wilayah Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang.

Di sekitar area Gunung Pucangan Jombang, masih menyisakan jejak arkeologis, seperti Situs Sendang Made, Situs Goa Made, dan Situs Gunung Pucangan. Beberapa fragmen bata kuno, fragmen arca, fragmen batu candi berangka tahun, dan berinskripsi kuadrat masih terlihat di Situs Sendang Made.

Baca Juga  Sunan Ampel dan Penguasa Kolonial Respek Kearifan Lokal

Reruntuhan struktur bata kuno juga tampak di Situs Goa Made. Begitu juga fragmen bata kuno, lingga batu berukuran besar, dan beberapa fragmen batu candi masih tampak pada Situs Gunung Pucangan yang kini masih ramai dikunjungi para peziarah. (*)

 

*) R. TP Wijoyo, pemerhati sejarah klasik Begandring Soerabaia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *