Sekitar 300 anak muda menghadiri Safari Dongeng Sejarah Surabaya di Basement Balai Pemuda Surabaya, Jumat malam (16/9/2022). Mereka terdiri dari mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka dari berbagai daerah di Indonesia, dan mahasiswa ITS Surabaya, serta masyarakat umum.
Safari Dongeng Sejarah Surabaya ini merupakan bagian dari Pameran Foto “Surabaya Lintas Masa” yang berlangsung pada 3-18 September 2022.
Yayan Indrayana, kurator pameran dan narasumber, menuturkan bahwa acara bertajuk “Kisah Surabaya di Tiap Zaman” adalah bentuk verbalisasi dari pameran foto “Surabaya Lintas Masa”.
“Kami yakin gambar dapat bercerita berjuta kata. Ini terbukti dalam Safari Dongeng Sejarah Surabaya. Pameran foto Surabaya Lintas Masa diverbalkan dalam Kisah Surabaya di Tiap Zaman,” terang pria yang yang malang melintang mengkonservasi banyak bangunan cagar budaya di Indonesia ini.
Kata dia, Kisah Surabaya Lintas Zaman ini disajikan oleh para periset mandiri dari Perkumpulan Begandring Soerabaia.
“Kami sengaja menghadirkan tim Begandring yang selama ini melakukan riset riset sesuai passion masing-masing di bidang sejarah,” jelasnya.
Acara Safari Dongeng Sejarah Surabaya ini menghadirkan beberapa penyaji, di antaranya TP Wijoyo (periset sejarah klasik), Nanang Purwono (jurnalis senior pecinta sejarah), Kuncarsono Prasetyo (historypreaneur), Kukuh Yudha Karnanta (dosen FIB Unair), Achmad Zakin Yamani (periset Era Revolusi) .
Para penyaji menceritakan setiap masa. Meski terlalu singkat memaparkan sejarah panjang di setiap lini masa, namun para pembicara mampu menyajikan poin-poin penting yang perlu diketahui publik.
Banyak fakta-fakta baru disampaikan. Tak sedikit audiens yang hadir terperangah dan kaget. Pasalnya, pengetahuan yang mereka miliki selama ini tidak sama dengan temuan-tumuan yang didasari data-data yang akurat.
Berikut rangkuman paparan para pembicara Safari Dongeng Sejarah Surabaya:
Yayan Indrayana
Dalam paparannya, dia menyajikan informasi di balik peta peta lama yang menjadi patokan awal mula perkembangan Surabaya. Berangkat dari peta tertua Surabaya (1677), di sana diketahui apa saja yang sudah ada di Surabaya.
Informasinya adalah mengenai posisi perbentengan yang dibuat Trunojoyo dan perbentengan yang dibangun Speelman yang datang untuk menundukkan Trunojoyo (Surabaya).
Pada peta itu sudah tergambar kawasan Ampel yang diduduki Speelman setelah masuk Surabaya dari muara Kali Pegirian. Ini karena alur masuk melalui Kali Surabaya (Rivier van Surabaya) telah diblokir Trunojoyo.
Juga digambarkan adanya paseban (pendapa pemerintahan) yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Jawa Timur. Di sekitar paseban juga dideskripsikan adanya kawasan peninggalan lama dari era sebelum Mataram. Diduga ada peninggalan Majapahit yang letaknya di lingkungan Sulung.
Yayan juga menggambarkan isi peta tahun 1719, khususnya tentang aliran Kali Surabaya di kawasan Wanacrama (sekarang Wonokromo). Di sana ternyata belum ada aliran ke Jagir yang kita kenal dengan Kali Jagir.
“Kali Jagir, berdasarkan peta ini belum ada. Aliran Kali Surabaya dari selatan berkelok ke utara memasuki Surabaya. Sementara yang lurus ke timur, yang sekarang disebut Kali Jagir, belum ada berdasarkan peta 1719. Jadi, kalau ada informasi bahwa Raden Wijaya mengusir Tartar melalui Kali Jagir, itu tidak benar,” jelas Yayan yang mengkaitkan dengan sejarah Surabaya.
Selama ini, sebut dia, sejarah Surabaya khususnya tentang Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei 1293 atas keberhasilan Reden Wijaya mengusir Tartar melalui Kali Jagir. Fakta kartografinya ternyata pada 1719 Kali Jagir belum ada.
“Ketika peta 1719 tidak menggambarkan adanya Kali Jagir, bagaimana kok pada 1293 digambarkan sudah ada kali Jagir yang menjadi tempat keluarnya serdadu Tartar dari Surabaya,” tandas Yayan.
TP Wijoyo
Pria yang hobi sobo punden ini, mengungkap fakta penting di balik sejarah Surabaya. Yakni, Hujunggaluh. Selama ini, yang dipahami banyak kalangan, Hujunggaluh sebagai pelabuhan sungai di wilayah Surabaya. Ternyata, berdasarkan pembacaan Prasasti Kamalagyan (1037 M), Hujunggaluh letaknya di hulu sungai, bukan di hilir.
Prasasti Kamalagyan yang berada di Dusun Kelagen, Kecamatan Tropodo, Kabupaten Sidoarjo adalah peninggalan Raja Airlangga membangun bendungan di Wringin Sapta. Atas keberhasilan itu, warga bersuka ria karena bisa mengambil aneka barang dari Hujunggaluh yang berada di hulu.
“Maparahu samanghulu mangalap banda ring hujung galuh tka. Ini isi petikan Prasasti Kamalagyan, yang artinya berperahu lah menuju ke hulu untuk mengambil harta benda di hujung galuh,” jabar TP Wijoyo.
“Hujunggaluh ini ada di era Raja Airlangga di abad XI. Setelah 200 tahun, di lokasi Canggu ditemukan Prasasti Canggu dari tahun 1358, yang menyebut kali pertama nama Curabhaya,” imbuh dia.
Menurut TP Wijoyo, ada dugaan dari dua peristiwa di abad XI (era Airlangga) dan di abad XIII (era Majapahit) berlokasi di tempat yang sama, tetapi sudah berbeda nama. Di era Airlangga (Kerajaan Kahuripan) bernama Pelabuhan Hujunggaluh. Sedangkan di era Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) bernama Pelabuhan Canggu.
Kata dia, Pelabuhan Hujunggaluh sama sekali tidak ada kaitannya dengan Surabaya. Sedangkan Pelabuhan Canggu (kini menjadi Desa Canggu di pinggir Kali Brantas dan Kali Surabaya) ditemukan Prasasti Canggu yang menyebut nama Curabhaya (Surabaya).
Surabaya disebut sebagai nama desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang berjasa menyediakan tambangan (anambangi) bagi penduduk. Karenanya desa ini dicatat dalam prasasti oleh Raja Hayam Wuruk.
“Curabhaya letaknya di utara Gsang dan Bkul atau di aliran sungai yang paling hilir. Itulah Desa Curabhaya yang sekarang menjadi Kota Surabaya” tandas TP Wijoyo.
Dia juga menyajikan tentang nama Surabaya. Bahwa nama Surabaya sudah muncul dalam satu kata “Curabhaya” yang berarti Berani Bahaya. Jelasnya adalah berani menghadapi bahaya.
“Curabhaya adalah satu kata dari bahasa Jawa Kuna yang terdiri dari dua suku kata, yang masing masing berarti Cura adalah berani dan Bhaya adalah bahaya. Jadi kata Bhaya jangan diterjemahkan Buaya. Pun demikian dengan Cura, jangan diterjemahkan Hiu. Curabhaya itu bukan Hiu dan Buaya. Surabaya adalah kata mandiri yang berarti berani menghadapi bahaya,” jlentreh TP Wijoyo.
Dia juga menyinggung bahwa munculnya gambar ikan hiu dan buaya adalah sebagai simbol Surabaya yang secara alami terdiri dari wilayah laut (binatang yang bisa hidup di laut) dan darat (binatang yang bisa hidup di darat).
Secara kronologis, TP Wijoto menggambarkan sejarah klasik Surabaya, dimana Surabaya menjadi perebutan penguasa pascajatuhnya Majapahit. Surabaya menjadi musuh bebuyutan Mataram dan digambarkan peperangan yang silih berganti, yang di antaranya perang besar Jaya Puspita.
Pada 1625, Surabaya ditaklukkan Mataram. Tapi Surabaya terus melakukan perlawanan hingga hadirnya Trunojoyo. Trunojoyo akhirnya dikalahkan VOC yang bersekongkol dengan Mataram. Surabaya kembali dikuasai Mataram. Secara de facto dan de jure Surabaya dapat dikuasai VOC pada 1743.
Nanang Purwono
Menyusul kisah yang dipaparkan TP Wijoto, Nanang menjelaskan adanya pengaruh Mataram. Salah satunya sistem pemerintahan Mataram. Yakni, adanya sustem pemerintahan tradisional kekabupatenan (Regentschap).
Meski tingkatannya kabupaten, tetapi model penyelenggaraan pemerintahan dan tata ruang dalam penyelenggaraannya menggunakan ala Mataraman.
Tata ruang tradisional Jawa adalah adanya alun-alun sebagai pusat pemerintahan, dimana ada unsur kabupaten (rumah dan kantor bupati), alun-alun, masjid besar, dan perumahan Kauman.
Ternyata konsep makro kosmos ini ada dan masih terlihat ada di Surabaya hingga sekarang. Inilah kompleks kekratonan Surabaya sebagai peninggalan dari masa Mataram.
“Bekas Kraton atau pusat pemerintahan klasik Surabaya itu bukan di Kampung Kraton di Alun-Alun Contong, seperti yang selama ini kita kenal. Kalau toh ada gerbang yang rongganya berbentuk oval, itu bukan gerbang seperti di Jogjakarta dan di Surakarta. Gerbang kampung di Kampung Kraton itu adalah bekas gardu listrik tenaga diesel yang powernya untuk men-supply percetakan yang ada di dalam kampung,” jelas Nanang yang mengaku pernah naik ke atas gardu tersebut.
Bekas pusat pemerintahan klasik Surabaya yang masih dapat diamati adalah di Kemayoran, Kecamatan Krembangan Surabaya. Temuan ini setelah tim Begandring Soerabaia mendapati kampung di belakang Masjid Kemayoran yang bernama Kemayoran Kauman.
Dari kata Kauman inilah penelusuran dilakukan, baik secara empiris maupun literasi dan kartografi. Maka terungkap dengan nyata bahwa di sana terdapat bekas tata ruang tradisional Jawa dengan konsep makro kosmos. Di sana masih ada masjid besar yang sekarang bernama Masjid Kemayoran. Ada juga Kampung Kemayoran Kauman. Di depan Masjid pernah ada alun-alun yang kini lahannya menjadi kompleks sekolahan SMA Ta’miriyah dan SMP Negeri 2 Surabaya. Sementara di timur bekas alun-alun ini adalah lokasi kantor Kabupaten yang sekarang sudah berdiri gedung Kantor Pos.
“Penanda bahwa pernah ada kediaman bupati. Di depan kantor ini sejak zaman Belanda ada jalan yang bernama Regentstraat yang sekarang bernama Jalan Kebon Rojo,” jelas Nanang.
Tidak hanya itu, timpal dia, sebagai penanda pernah adanya gedung kabupaten, di belakang gedung pernah ada kandang gajah yang sekarang sudah berdiri gereja Katolik.
“Gajah adalah kendaraan petinggi pada zaman dulu. Sebuah relief di candi Jawi, Pandaan, ada gambar gajah yang menceritakan sebagai kendaraan raja,” tutur Nanang.
Nanang menyimpulkan bahwa di Surabaya masih didapati bekas pemerintahan klasik yang berupa tata ruang tradisional yang bersifat makro kosmos, yang melambangkan hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas) dan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah).
Kuncarsono Prasetyo
Lain halnya dengan paparan Kuncarsono Prasetyo. Dia membongkar gerakan kiri yang berkembang dan memberi sumbangsih kepada negara, termasuk gagasan-gagasan memerdekakan bangsa dari kolonialisme.
Kata dia, pada Pemilu tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) memenangi pemilu dan selanjutnya ada dua wali kota Surabaya dari PKI. Meski demikian Kuncarsono mengingatkan terlebih dulu agar semua paham terhadap apa yang ia sebut dengan gerakan kiri dan selanjutnya bisa membedakan antara Komunisme dan Sosialisme.
“Mengapa di Surabaya tumbuh pesat gerakan gerakan kiri? Ini karena di Surabaya sejak era kolonial sudah tumbuh menjadi kota industri yang menjadi jujugan dan menyerap tenaga kerja. Penulis Australia Howard Dick juga menulis tentang kota Surabaya sebagai City of Work,” katanya.
Diawali dengan hadirnya Daendels yang membuka industri peralatan militer, permesinan hingga selanjutnya bercokol industri permesinan untuk mendukung pabrik pabrik gula, pabrik besi, kilang minyak dan kereta api. Ini semua membutuhkan banyak tenaga kerja. Kondisi sosial di Surabaya ini menunjukkan adanya perbedaan strata sosial ekonomi. Ada yang kaya sekali, ada yang miskin sekali.
Pada awal abad 20, mulailah berdatangan orang-orang Belanda. Mereka ingin menghapuskan kolonialisme (mereka anti kolonialisme) dan membangun sosialisme karena adanya perbedaan strata sosial ekonomi di Hindia Belanda, utamanya di Surabaya sebagai kota besar. Tokoh-tokohnya antara lain, Leender Reeser, Charles Cramer, Hendri Van Kol dan Henk Sneevliet.
“Mereka ini yang kemudian memperkenalkan ajaran sosialisme melalui perkumpulan buruh di Surabaya dan Hindia Belanda, sampai berikutnya muncul nama Tjokroaminoto yang juga menganut sosialisme,” jabar Kuncarsono.
Tjokroaminoto sebetulnya keturunan ningrat dengan gelar Raden Mas Tjokroaminoto. Tetapi kemudian ia menanggalkan gelar keningratannya yang bersifat feodal. Ia ingin dekat dengan rakyat tanpa harus ada tedeng aling-aling.
“Singkat cerita, dengan Partai Sjarikat Islam yang ia dirikan, pengaruh Tjokroaminoto luar biasa. Partainya menjadi partai besar di Hindia Belanda. Ideologi sosialis yang ia miliki akhirnya menjadi perpaduan dengan partai yang bersifat islami,” jabar Kuncarsono.
Selanjutnya, Tjokroaminoto menulis artikel tentang sosialisme, di antaranya “Apakah Sosialisme itu?” dan “Sosialisme Berdasarkan Islam”. Berikutnya, Tjokroaminoto menulis sebuah buku yang berjudul “Islam dan Sosialisme”.
Menurut Tjokroaminoto paham sosialisme adalah ideal karena bisa menjembatani kesenjangan ekonomi. Tidak ada yang terlalu kaya. Tidak ada yang terlalu miskin.
Pertemuan Tjokroaminoto, Semaun, Alimin, Agus Salim dan Darsono semakin memperkuan Sjarikat Islam yang sudah bermarkas di SurabayaSurabaya sejak 1916.
Soekarno yang pada masa mudanya indekos di rumah Tjokroaminoto sudah mulai mengenal sosialisme. Tjokroaminoto pun dianggap sebagai guru oleh Soekarno.
Dalam perkembangannya Sjarikat Islam pecah. Yang blok Tjokroaminoto dan Agus Salim disebut Sjarikat Islam Putih. Sedangkan Blok Semaun, Alimin dan Darsono yang Radikal disebut Sjarikat Islam Merah. SI Merah ini kemudian pindah ke Semarang dan melebur dengan Partai Komunis Indonesia.
Jika Gerakan Kiri adalah gerakan yang sebenarnya menentang kolonialisme (anti kolonial), antirasis, dan bersifat sosialis sejak di era penjajahan.
Achmad Zaki Yamani
Achmad Zaki Yamani memaparkan kebhinnekaan dalam pertempuran Surabaya. Bahwa mereka yang terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya terdiri dari beragam suku bangsa. Surabaya seolah sebagai miniatur Indonesia.
Menurut dia, keberagaman suku bangsa dan etnis Nusantara ini telah ada di Surabaya sejak lama. Mereka membaur dalam satu urusan yang menjadi kegiatan bersama: ekonomi dan perdagangan.
Melalui undang undang wieken stelsel, kelompok masyarakat dipisah pisah berdasarkan etnis. Ada Kampung Pecinan, Kampung Melayu, kampung Arab dan kampung Jawa. Meski demikian mereka tetap membaur dalam satu kegiatan demi kehidupan yang toleran.
“Di masa perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya, yang kulminasinya terjadi pada 10 November 1945, rakyat semesta dengan berlatar belakang keragaman etnis membaur jadi satu berperang melawan tentara Sekutu,” urai Zaki.
Dia lalu mengutip Pidato Bunga Tomo menjadi bukti keterlibatan keberagaman etnis yang turut bertempur di Surabaya. Berikut petikannya:
Saudara-saudara
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa Rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, …
Keberagaman etnis inilah yang secara kultural perlu dilestarikan untuk membangun bangsa ini ke depan. Keragaman etnis menjadi local wisdom Surabaya dalam mempertahankan diri dan tentunya dalam meraih cita-cita. (*)