Dalam sejumlah literasi dan sumber-sumber sejarah yang ditulis sejarawan asing, nama Surabaya disebut dengan jelas. Misalnya, sebagaimana ditulis dalam buku Notes in the Malay Archipelago and Melacca (Groenneveld) dan Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores (Feng Ch’eng-Chiin).
Di sana, nama Surabaya disebut bukanlah sebagai Hujunggaluh, sebuah pelabuhan laut di Pantai Utara Jawa bagian Timur. Surabaya adalah sebuah pelabuhan sungai yang dapat ditempuh (dijangkau) dengan perahu perahu kecil setelah kapal besar lempar jangkar di perairan laut.
Menurut catatan Ma Huan dalam buku Ying-Yai Sheng-Lan (1433) ketika membersamai Laksamana Cheng Ho ke Majapahit, dituliskan bahwa setelah kapal mereka berhenti di perairan laut, mereka harus menuju ke Surabaya dengan menaiki perahu-perahu kecil. Di sana (Surabaya) mereka berhenti sebelum melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Canggu dan berjalan kaki menuju Majapahit.
Dengan jelas, di sana nama Surabaya disebut. Tidaklah heran ketika nama Surabaya disebut oleh Ma Huan (1433 M) karena nama Surabaya sendiri juga telah disebut dalam berita-berita yang lebih tua.
Misalnya, Prasasti Canggu yang dibuat oleh Raja Hayam Wuruk pada 1358 M dan kemudian disebut lagi dalam kitab Negarakertagama, yang memberitakan perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Surabaya pada 1365 M.
Nama Surabaya, yang tersebut pada sumber-sumber kuno (prasasti dan kitab) itu, bisa dikatakan Surabaya Kuna (ancient Surabaya).
Dalam artikel ini, penulis menggunakan istilah Surabaya Kuna dan Surabaya Baru. Surabaya Kuna (Curabhaya) dan Surabaya Baru (era kolonial) memiliki letak yang berbeda, tetapi sama-sama di tepi kali. Ada pergeseran lokasi sesuai perkembangan zaman.
Surabaya Kuna terletak di selatan, di antara dua sungai (Kali Surabaya dan Kali Pegirian), yang diduga di kawasan Peneleh dan Pengampon.
G.H. Von Faber, seorang sejarawan, budayawan dan wartawan Surabaya berdarah Jerman, dalam bukunya Er Werd Een Stad Geboren (1953), menggambarkan bahwa Surabaya sudah ada sejak 1275 M. Letaknya di tepian sungai Kalimas dan Pegirian. Tepatnya di Pengampon, sebelah utara Peneleh.
Faber mengilustrasikan bahwa Surabaya Kuna dibuka pada 1275 M sebagai sebuah kawasan permukiman baru yang lengkap dengan tata ruang dan letak sesuai dengan penghuninya.
Ada blok untuk perempuan dan anak, ada blok untuk para guru, ada kawasan untuk polisi (pelindung kota) dan bahkan ada blok untuk para jawara.
Dalam ilustrasi Faber, di Surabaya ini ada sebuah pelabuhan yang terkonstruksi dengan baik. Ada gerbang masuk ke area belabuhan. Gerbang ini berupa kanal yang menghubungkan Kalimas dan pelabuhan Surabaya Kuna.
Sementara, Surabaya Baru terletak di utara Pengampon, tetap di tepi Kali Surabaya (Kalimas), tapi berada di sisi barat Kalimas, tidak lagi di antara Kalimas dan Pegirian.
Secara klasik, nama Surabaya dengan jelas dan otentik disebut pada sumber Prasasti Canggu (1358), kitab Negara Kertagama (1365) dan kronik Ying-Yai Sheng-Lan (1433).
Penyebutan nama Surabaya di ketiga sumber di atas semakin dipertegas dengan kedatangan Laksamana Speelman ketika menyerbu Trunojoyo di Surabaya pada 1677. Kedatangan Speelman membuka awal hadirnya Surabaya baru.
Kampung Pecinan
Di manapun lokasinya, Surabaya Kuna dan baru sebagai tempat peradaban manusia adalah nyata. Surabaya berasal dan bermula dari sebuah desa di tepian sungai yang bernama Curabhaya (Surabaya). Tidak dari nama lainnya. Sejarah sudah membuktikan itu dan ini tidak dapat disangkal.
Prasasti Canggu (1358) adalah bukti. Kitab Negarakertagama (1365) adalah saksi. Kedatangan Laksamana Cornelis Speelman ke Surabaya (1677) adalah fakta sejarah. Apa yang didustakan? Tidak ada. Surabaya adalah Surabaya.
Surabaya Kuna (Curabhaya) terletak di antara dua sungai: Kali Surabaya atau Kalimas dan Kali Pegirian. Titik lokasinya di kawasan Peneleh dan Pengampon. Sebuah artefak peradaban manusia yang berupa Sumur Jobong ditemukan di Kampung Pandean, Peneleh pada 2018. Sumur ini sudah ada pada 1430.
Surabaya Baru terletak di utara Pengampon, di luar batas Kalimas dan Kali Pegirian. Surabaya baru berada di tepi barat Kalimas dan tercipta di masa masuknya bangsa Eropa (kolonial).
Pada peta peta lama digambarkan bahwa letak Surabaya Baru berada di tepi Barat Kalimas, tidak jauh atau berseberangan dengan Kampung Pecinan. Namanya ditulis Sourabaya atau Stad van Sourabaya.
Kampung Pecinan menjadi patokan pusat kegiatan dan dinamika Surabaya Baru, yang pada akhirnya menimbulkan perpindahan nama Surabaya dari Surabaya Kuna ke Surabaya Baru.
Kuna dan Baru adalah istilah yang dibuat penulis untuk membedakan letak dari Peneleh (Kuna) ke Krembangan (Baru), kawasan Jembatan Merah sekarang. Dalam perkembangannya dan dengan perubahan-perubahan yang menyertainya, maka pusat aktivitas peradaban bergeser semakin ke utara, dari Peneleh ke Krembangan.
Jejak pendatang asing (China) misalnya, ketika memasuki Surabaya, mereka mengkonsentrasikan diri di utara dari Surabaya Kuna (1275). Yaitu di tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Pecinan.
Kampung Pecinan, yang dikenal sekarang, adalah tempat di mana imigran China secara berangsur menapakkan kakinya sejak moyang mereka masuk Surabaya.
Diawali dengan masuknya Tartar pada 1293 (Groenneveld: Notes in the Malay Archipelago and Melacca), lalu Cheng Ho pada 1433 (Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores) dan berikutnya imigran marga Han, The dan Tjoa pada 1700-an, konsentrasi perkampungan Pecinan itu meninggalkan jejak dan fakta. Jejak itu adalah Kampung Pecinan.
Kampung Pecinan menjadi lorong waktu (time tunnel) dan teropong waktu (time binocular) untuk melihat masa lalu. Kehadiran mereka pada abad 18 menjadi jembatan penghubung antara masa yang lebih lalu (sebelum abad 18) dengan masa sekarang (abad 21).
Di sekitar kampung Pecinan inilah Surabaya moderen itu tumbuh. Keberadaan Surabaya ini dipertegas oleh kehadiran bangsa Eropa yang mengusung konsep kota Eropa dan mengaplikasikan konsep itu di Surabaya Baru. Maka jadilah sebuah kota bergaya Eropa yang bernama Stad van Surabaya (kota Surabaya).
Kota Eropa Surabaya ini dibangun di seberang Kampung Pecinan dan permukiman Jawa yang sudah ada lebih awal. Antara Kampung Pecinan dan Kota Surabaya (kampung Eropa) hanya dipisahkan oleh Kali Surabaya (Kalimas). Bangsa Belanda sengaja tidak mau membaur dengan etnis Cina, Jawa, Melayu dan Arab karena pernah terjadi peristiwa pembantaian di Batavia pada 1740.
Di antara kampung Pecinan-Melayu dan Eropa inilah terdapat pelabuhan sungai besar dan ramai. Pelabuhan ini adalah pelabuhan sungai yang dilengkapi dengan kepabeanan besar. Karenanya pelabuhan sungai nya sering disebut Groote Boom (Pabean Besar). Di sini menjadi tempat utama pemungutan pajak.
Dalam peta peta lama Surabaya, Groote Boom terletak di samping kiri (utara) kantor administrasi Gezaghebber, penguasa wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur (Java’s Van Den Oosthoek). Di pelabuhan sungai inilah perahu perahu bongkar muat barang dan harus membayar pajak barang barang. Bahkan pada 2021, di tepian Kalimas ini ditemukan sebuah ring besi untuk tambatan tali perahu yang bersandar di sana.
Gerbang Majapahit
Ketika disebut pelabuhan Surabaya, sebelum dibangun pelabuhan laut Tanjung Perak pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, maka pelabuhan Surabaya itu adalah pelabuhan sungai yang lokasinya di Sourabaya (Stad van Sourabaya) atau Surabaya Baru. Pelabuhan itu letaknya di sekitar Jembatan Merah Surabaya.
Kini pelabuhan kali itu sudah mati. Tidak ada aktivitas pelabuhan. Aktivitas pelabuhan beralih ke pelabuhan yang disebut Pelabuhan Rakyat (Pelra) Kalimas, berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak.
Meski demikian, bekas pelabuhan kali di sekitar Jembatan Merah itu masih menyisakan bukti yang berupa sarana dan prasarana pelabuhan sungai. Selain sebuah ring yang pernah menjadi tambatan perahu, di sekitar Kampung Baru terdapat sebuah kantor syahbandar pemerintah.
Di kantor yang berbentuk menara pengawas ini secara resmi terdapat logo kota Surabaya (hiu dan buaya) dan logo pemerintah kota pusat Batavia (pedang dan kapas). Di tempat ini masih terdapat anak tangga sebagai akses naik turun ke dan dari perahu perahu.
Kantor syahbandar pelabuhan sungai ini mulai ada pada awal tahun 1900-an atau setelah ada desentralisasi (otonomi daerah) dari pemerintah pusat Batavia ke beberapa daerah dan salah satunya adalah kota Surabaya. Kota Surabaya secara resmi sebagai kota otonom, Gemeente van Soerabaia, pada 1 April 1906.
Di era era klasik, dari pelabuhan inilah perahu perahu mengarungi Kali Surabaya hingga ke pedalaman, termasuk ke pelabuhan Canggu untuk selanjutnya melanjutkan ke pedalaman yang lebih dalam melalui Sungai Brantas. Dengan begitu Surabaya adalah gerbang masuk ke pedalaman Jawa baik itu ke Majapahit maupun ke Kediri.
Di masa Hayam Wuruk, seorang laksamana laut yang bernama Nala, memimpin seluruh wilayah perairan laut. Ada lima gugus armada laut yang bertugas menjaga wilayah perairan Majapahit. Salah satunya adalah gugus lima, yang menjaga jalur sungai (dari Surabaya ke Majapahit) dan jalur laut (dari Selat Madura hingga ke kepulauan Rempah-Rempah di wilayah Timur).
Dari berbagai peristiwa dan masa yang terkait dengan Surabaya, bahwa Surabaya adalah sebuah tempat di tepian sungai dan berkembang menyesuaikan zaman. Akibatnya terjadi pergeseran letak pusat administrasi. Semula berada di kawasan Pandean-Peneleh-Pengampon, kemudian bergeser ke utara di kawasan Pecinan-Eropa. (nanang purwono)