Surabaya Pernah Punya Keraton, Ini Buktinya!

Apakah di Surabaya ada gedung kabupaten (rumah dan kantor bupati), atau bahkan keraton?

Ini sebuah pertanyaan terlalu awam, khususnya bagi milenial Surabaya, yang bagi mereka jawabanya pastilah tidak ada. Jika jawabannya seperti itu, tentu bisa dibilang memprihatinkan lantaran mereka tidak tahu sejarah kotanya.

Kota Surabaya yang sekarang berbentuk pemerintahan kota. Dulu,  Surabaya pernah berbentuk Pemerintahan Kabupaten serta Kadipaten.

Apa buktinya?

Bahwa pernah ada kabupaten yang sebelumnya berupa kadipaten (rumah dan kantor bupati) di Surabaya dapat dibuktikan dengan adanya gedung-gedung peninggalan Kabupaten dan makam para bupati Surabaya. Bukti- bukti otentik itu adalah petunjuk sejarah Kota Surabaya yang layak diketahui publik.

Mungkin, selama ini, sebagian warga Kota Surabaya telah mengetahui bahwa gedung Kabupaten Surabaya itu berada di Jalan Gentengkali 85, Surabaya. Tidak salah. Memang itulah gedung Kabupaten Surabaya yang masih terlihat pendoponya. Tempatnya bersifat publik dan terbuka. Sementara bangunan di belakang pendopo adalah perkantoran untuk urusan administrasi dan kediaman bupati yang sedang menjabat.

Kini, bekas gedung Kabupaten Surabaya ini menjadi kompleks Taman Budaya Jawa Timur. Sebelum menjadi Taman Budaya, kompleks ini diserahkan kepada Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur sebagai pengelola dan diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Jawa timur Nomor Sek/41/1171, tertanggal 13 Oktober 1973.

Pada 20 Mei 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr Daoed Joesoef meresmikan sebagai Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. Luas area kompleks 10.400 meter persegi. Terdiri dari beberapa bangunan, termasuk Gedung Cak Durasim yang dipergunakan sebagai tempat pementasan kesenian daerah.

Eks Gedung Kabupaten Surabaya di Jalan Gentengkali adalah kantor Kabupaten terakhir di Surabaya. Gedung ini dibangun pada 1914-1915 sebagai kantor kepala daerah pribumi (regent) di era Hindia Belanda. Sementara di era yang sama, kepala daerah yang dijabat oleh orang Eropa sebagai wali kota disebut Burgermeester.

Perunjuk akan pernah adanya kepala daerah di Surabaya baik kepala daerah dari Bumiputera maupun dari Eropa masih dapat dilihat keberadaannya. Yaitu makam para bupati Surabaya (Regents van Soerabaja) di kompleks pemakaman kuno Bibis, Boto Putih dan Ampel.

Sementara makam dari wali kotamadya Surabaya (Burgermeester van Soerabaja) dapat dijumpai di kompleks pemakaman Kembang Kuning. Di sana ada makam Burgermeester Dykerman. Lokasinya persis di tengah tengah jalan makam.

Baca Juga  Kisah F.J. Rotenbuhler yang Disebut Mbah Deler

Jadi kala itu di awal abad 20, di Surabaya sudah ada dua struktur pemerintahan: Pribumi yang dipimpin Bupati (Regent) dan Eropa yang dipimpin Walikotamadya (Burgermeester).

Seiring dengan perkembangan jaman, bentuk pemerintahan Kabupaten Surabaya hilang dan bentuk pemerintahan Kota yang terus berjalan hingga sekarang dengan nama pemerintah Kota Surabaya.

Meski demikian, sejarah pemerintahan Surabaya tidak boleh hilang dari ingatan warganya karena itu menjadi bagian dari sejarah kota yang bukti-bukti fisiknya masih ada. Selain ada makam para bupati, juga masih ada bekas kantor kantor kabupaten.

 

Belajar dari Jejaknya

Kiranya sulit membayangkan dan mempelajari sejarah sistem pemerintahan Kota Surabaya, jika sekadar membayangkan tanpa melihat jejak faktualnya. Maka peninggalan sejarah Kabupaten Surabaya yang masih ada, seperti gedung gedung Kabupaten dan makam para bupati Surabaya, perlu dikenali.

Pendopo Kabupaten Surabaya di Jalan Gentengkali dibangun pada awal abad 20 sebagai kelangsungan sistem administrasi Kabupaten di abad 20. Lantas di manakah sistem administrasi Kabupaten Surabaya pada abad sebelumnya, setidaknya di abad 19?

Pada abad ini (19) kantor Kabupaten Surabaya berada di Kebon Rojo yang dulu bernama Regentstraat. Lokasi ini berada di kawasan Kemayoran Surabaya. Sebagaimana ditulis dalam buku Oud Soerabaia karya GH Von Faber (1935), bahwa gedung Kabupaten di Regenstraat (jalan Kebon Rojo) dibangun pada 1840-an sebagai perluasan dari gedung lama yang dibongkar seiring dengan pembongkaran tembok (viaduk tanah) yang menjadi bagian dari tembok kota.

Pembangunan gedung Kabupaten di kawasan ini sekaligus pembangunan kawasan alun-alun yang lengkap dengan masjid dan Kampung Kauman. Kompleks tata ruang tradisional Jawa yang menganut Makro Kosmos (hablumminallah dan hablumminannas) ini, memiliki alun-alun di tengah, masjid di barat alun-alun, yang di belakang (barat) masjid terdapat Kampung Kauman (sekarang Kemayoran Kauman) dan di timur alun alun ada kabupaten (tempat tinggal dan kantor bupati) Surabaya. Persis di selatan kabupaten terdapat jalan yang bernama Regenstraat, yang kini bernama jalan Kebon Rojo.

Dalam catatan Von Faber, di kediaman bupati Surabaya inilah  pelantikan para bupati Surabaya digelar, termasuk bupati bupati di wilayah Karesidenan Surabaya. Dalam sistim pemerintahan kolonial, di setiap daerah terdapat bupati sebagai kepala daerah tradisional. Setiap bupati didampingi oleh Asisten Residen sebagai perwakilan Residen yang berkedudukan di Ibu Kota Karesidenan, Surabaya. Di gedung Kabupaten ini juga menjadi saksi pelantikan para asisten residen dan residen yang baru.

Baca Juga  Lebaran, Ater-Ater, dan Mercon RRT

Jadi kala itu di Surabaya terdapat kepala daerah yang dijabat residen, kemudian bupati. Pada masa ini, di Surabaya belum ada gubernur dan belum ada burgermeester (wali kota). Sementara di daerah daerah di wilayah Karesidenan Surabaya terdapat bupati (binnenbestuur) dan Asisten Residen.

Di Surabaya, gedung Karesidenan pernah berada di barat Roodebrug (Jembatan Merah). Gedung ini dibongkar pada tahun 1930-an seiring dengan pembuatan jalan dan pembangunan gedung Gubernuran di Aloen Aloen Straat (kini Jalan Pahlawan), ketika ada seorang gubernur yang memimpin wilayah propinsi Jawa Timur.

Hingga sekarang di dalam kantor Gubernuran di Jalan Pahlawan masih terdapat prasasti yang mencatat nama-nama Gubernur Jawa Timur (Oost Java Gouverneur).

Kembali ke gedung kabupeten di Kebon Rojo, sebagai gambaran tempat pelantikan para bupati Surabaya dan bupati bupati se Karesidenan Surabaya, di sana digambarkan jalannya pelantikan yang dimeriahkan dengan pesta pesta dansa dan pameran kerajinan produk pribumi (Von Faber) sebagaimana terkabar pada 1865 sampai 1868.

Raden Adipati Ario Niti Diningrat. foto: kitlv

Pesta

Tepat pada 1874 di tempat ini menjadi perhelatan mewah pernikahan seorang Puteri bupati Surabaya R.A.A. Tjokronegoro IV (1863-1901) dengan putera Sultan Kutei. Di komplek Kabupaten ini kadang kadang dijadikan tempat pengasingan dan penampungan para bangsawan tinggi pribumi, misalnya Raja Buleleng, Raja Gusti Ngurah Ketut Jelantik. (Oud Soerabaia).

Dalam pesta pesta yang pernah digelar di Kabupaten Surabaya, berbagai jenis daging dagingan bakar disiapkan. Ada daging sapi, daging anak sapi dan daging rusa. Juga tersedia nasi yang banyaknya hingga 80 piring lengkap dengan camilannya. Tidak lupa dendeng dan ikan kering. Di Ndalem Kabupaten tidak disediakan daging kerbau dan kambing.

Sementara makanan pembasuh mulut adalah buah buahan yang enak dan manis seperti jeruk, jambu, pisang, mangga, semangka, sirsat, cempedak dan durian. Kadang juga ada anggur.

 

Kompleks Kabupetan Surabaya

Baca Juga  Wali Kota Eri Cahyadi Siap Kolaborasi Dengan Belanda Untuk Pengembangan Makam Peneleh

Kompleks Kabupaten Surabaya ini cukup luas. Untuk membayangkan area komplek ini cukup melihat luasan komplek kantor pos Besar Surabaya sekarang. Lebar arealnya selebar jalan Kebon Rojo yang diukur mulai batas jalan Veteran (timur) hingga jalan Kepanjeng (barat). Sementara membujur ke utara hingga berbatasan dengan Gereja Santa Perawan Maria. Itulah luasan area Kabupaten Surabaya.

Menurut pengakuan pendeta Valentijn dari Batavia ketika berkunjung ke Surabaya dan sempat mendapat perjamuan makan di Ndalem Kabupaten bahwa kediaman bupati Surabaya ini sangat besar dan luas. Luasnya berukuran lebar 100 kaki (30 meter) dan panjang 200 kaki (60 meter).

Di ruang dalam terdapat area terbuka dengan sebuah pendopo yang dilengkapi dengan seperangkat gamelan Jawa untuk menghibur para tamu. Di ruang pendopo ini diberi tikar yang indah dan dihias dengan ornamen yang indah pula dengan sebuah tempat tidur di sebuah teras yang menghadap ke pendopo. Mungkin tempat tidur ini menjadi tempat penggede Kabupaten untuk bisa menikmati alunan musik gamelan dan tari tarian sambil lesehan tidur. Diduga tempat tidur ini adalah model tempat tidur gaya madura yang di tempatkan di teras.

Sementara seperangkat kurai model China yang dicat keemasan. Terlihat mewah. Di komplek Ndalem ini juga tersedia kandang gajah, yang gajah gajahnya menjadi alat transportasi bupati dan tamu-tamu istimewa dalam kegiatan kenegeraan resmi.

Dalam gelaran budaya untuk menyambut tamu-tamu resmi ini, ditampilkan tari tarian Jawa. Pendopo Kabupaten Surabaya saat itu terlihat seperti sebuah keraton, dimana sang Raja tinggal. Tidak salah karena bupati di daerah daerah, termasuk di Surabaya, adalah perwakilan dan perpanjangan tangan seorang raja secara kultural. Apalagi setelah 1625, Surabaya sudah dibawah pengaruh dan kekuasaan Mataram.

Boleh dibilang Keraton Surabaya kala itu adalah di kawasan Kebon Rojo sekarang. Karenanya dengan nama jalan Kebon Rojo, kita tau bahwa disana pernah ada kediaman (kebun) nya “Raja” Surabaya. Raja yang dimaksud adalah bupati.

Di pendopo Kabupaten (Keraton) inilah pangeran pangeran Surabaya bertempat tinggal yang jejaknya masih bisa diidentifikasi mulai dari balun alun Kabupaten, kampung Kauman, masjid hingga pendopo (kabupaten).

Sudahkah kita menyadari bahwa disanalah Keraton (Kabupaten) Surabaya itu berada? (*).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *