Jelajah sejarah Begandring Soarabaia bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair berlanjut menuju Patung Gubernur Suryo di Taman Apsari (depan Gedung Negara Grahadi). Kali ini, peserta Subtrack dipandu Achmad Zaki Yamani.
Gubernur Suryo adalah gubernur Jawa Timur pertama dari bangsa pribumi. Dia memegang peranan dalam perang Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Dia (Gubernur Suryo, red) yang mengobarkan semangat Arek-Arek Suroboyo untuk berperang melawan ultimatum Inggris hingga titik darah penghabisan,” terang Zaki.
Perang besar ini, terang Zaki, dikenal dengan perang 10 November 1945, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh Presiden Soekarno.
“Gubernur Suryo resmi menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur pada 12 Oktober 1945,” katanya.
Simpang sebagai kawasan elit tumbuh menjadi trade mark entitas. Tidak hanya menjadi nama jalan arteri seperti Simpangsche weg (Jalan Simpang), tapi juga menjadi nama-nama perusahaan. Di ujung barat Jalan Simpang (kini Jalan Gubernur Suryo) ada Apotek Simpang.
“Sayang, apotek ini sudah tidak beroperasi lagi. Tutupnya baru-baru ini. Dari dekorasi interior terlihat jelas angka tahun 1855 yang menunjukkan berdirinya apotek,” jelas Kuncarsono Prasetyo.
Persis di depan bangunan apotek ada sebuah taman kecil, disebut Simpang Lonceng. Di tempat itu pernah ada sebuah jam untuk publik. Sementara di depan bekas bangunan Apotek Simpang ada jalan Simpang Lonceng (kini menjadi bagian dari Jalan Basuki Rahmat).
Dari Apotek Simpang, jelajah sejarah menuju ke SMA Trimurti. Dulu, sekolah ini jadi Museum Sejarah Kota (Stedelijk Historische Museum). Museum ini diresmikan GH Von Faber, tahun 1937.
“Acara peresmian museum sejarah kota Surabaya ini dilakukan di Hotel Simpang pada 1937. Yang membuka GH Von Faber yang dikenal budayawan, sejarawan, wartawan dan kolektor benda-benda seni dan bersejarah,” jelas Nanang Purwono.
Kuncarsono menambahkan, di SMA Trimurti masih terdapat sebuah logo lama Kota Surabaya yang bergambar ikan hiu dan buaya.
“Logo Kota Surabaya mulai dulu sudah bergambar binatang ikan hiu dan buaya. Jadi ini gambar ikan hiu. Bukan ikan Sura. Sura itu adalah bagian dari sebuah semboyan “Soea ing Baia” yang artinya Berani Menghadapi Bahaya atau Tantangan. Jadi “Soera ing Baia” ini adalah motto kota. Tapi sayang, motto ini dibuang. Dan akhirnya orientasi berpikir publik tentang motto Soera ing Baia tertuju pada gambar binatang hiu dan buaya. Lalu hiu dan buaya menjadi Surabaya,” jelas Kuncarsono.
Itu sebabnya, imbuh Kuncarsono, Surabaya menjadi satu-satunya kota yang tidak punya moto. Sementara daerah lain seperti Kota Malang memiliki “Malang Kucecwara”, atau Pemprov Jawa Timur moto nya “Jer Basuki Mawa Beya”.
Di taman tengah SMA Trimurti terdapat patung setengah badan GH Von Faber. Dia dianggap bapak perintis Museum Mpu Tantular. Juga terdapat peninggalan lain berupa patung setengah badan Pangeran Diponegoro, dan lonceng produksi pabrik besi Baijer Soerabaia. Di halaman depan sekolah masih terdapat sepasang batu giling tebu sebagai wujud jejak sejarah pabrik gula di Surabaya.
Warna VOC dan Langgam Eropa
Yang tak kalah menarik saat peserta mengunjungi Gedung Negara Grahadi. Peserta benar-benar menikmati indahnya bangunan akhir abad 18. Begitu megah nan indah.
Dari teras gedung nampak pandangan ke arah pelataran yang lapang. Di era VOC, tempat dinamakan Rumah Taman (Tuinhuiz). Sebuah rumah atau istana yang berada di tengah-tengah taman yang indah dan luas.
“Areal taman yang sekarang menjadi pelataran Grahadi ini adalah bagian buritan atau belakang gedung ketika awal-awal pembangunan. Aslinya gedung ini secara fisik menghadap ke Sungai Kalimas yang kala itu menjadi sarana transportasi, komunikasi, dan perhubungan,” jelas Nanang Purwono.
Para peserta kemuudian diajak berjalan menuju ke tepian Sungai Kalimas, yang dulu jadi bagian depan Grahadi.
“Pada eranya, di pinggiran Kalimas ini pernah ada marina yang dipakai untuk tambatan perahu yang menjadi alat transportasi penguasa gezaghebber ke stad (kota). Huiz van Simpang (Grahadi) kala itu adalah sebagai rumah dinas penguasa Ujung Timur Jawa,” beber Nanang.
Setelah puas, jelajah sejarah berlanjut ke Gedung Balai Pemuda (Simpangsche Societeit). Di era kolonial, gedung Simpangsche Societeit adalah tempat hiburan warga Eropa Surabaya.
Di kompleks ini, perserta Subtrack berkesempatan masuk Gedung Merah Putih. Di ruang dalam tengah gedung tersebut berbentuk segi delapan. Zaki Yamani membeberkan kisah tentang Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI).
“Di sinilah PRI menginterogasi orang-orang yang dianggap dan dicurigai sebagai mata-mata musuh. Gedung ini tidak lain adalah markas PRI cabang Simpang,” tutur Zaki.
Setelah puas, peserta diajak ke Gedung Utama Balai Pemuda. Inilah tempat warga Eropa berdansa dan berpesta diiringi musik. Sementara di bawah para pengunjung melantai. (*)