Lokomotif D 301 80 Jadi Monumen di Stasiun Surabaya Gubeng

PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daops 8 mendatangkan lokomotif bertenaga diesel hidraulik dengan nomor seri D301 80. Lokomotif ini didatangkan dari Tegal Jawa Tengah dan selanjutnya dipajang di halaman Kantor PT KAI Daops 8 di Gubeng, Surabaya.

Lokomotif yang dalam masa kedinasannya khusus melayani langsiran ini, dibuat oleh perusahaan KRUPP Jerman tahun 1962 dan mulai beroperasi pada tahun 1962 juga. Kala itu, lokomotif D301 ini didatangkan oleh DKA (Djawatan Kereta Api) sebanyak 80 unit pada tahun 1962.

Salah satu dari 80 unit itu adalah lokomotif yang pada Minggu malam (16/4/23), tiba di Stasiun Surabaya Gubeng. Nomor serinya adalah D301 80.

Adapun nomor seri D301 80 ini berarti bahwa lokomotif ini bergandar D’. Artinya, lokomotif ini memiliki empat gandar penggerak yang saling terhubung dalam satu bogie. 301 adalah penanda jenis lokomotif diesel hidraulik. Dan dua digit di belakang, 80, adalah urutan produksi. Jadi, loko D301 80 adakah urutan produksi paling ragil yang dipesan DKA.

Kedatangannya di Indonesia, loko D301 ini digunakan untuk melayani langsiran seperti halnya Lokomotif generasi sebelumnya D300. Sejak awal dinasnya, lokomotif ini memang diutamakan untuk dinas langsiran kereta api. Loko loko ini umumnya bertugas dalam kurun waktu tahun 1960 hingga 1970an.

Dari 80 unit loko seri D301 ini disebar di stasiun stasiun di Jawa oleh DKA (Djawatan Kereta Api) kala itu di tahun 1962.

Kini, beberapa unit lokomotif D301 sudah ada yang dipreservasi. Yaitu, D 301 24 sebagai penarik kereta wisata di Museum Kereta Api Ambarawa. Begitu juga dengan lokomotif D 301 28 yang menjadi sarana latih di Sekolah Tinggi Transportasi Darat, Bekasi. (heritage.kai.id)

Dikutip dari laman heritage.kai.id bahwa dari 80 unit kini tersisa 24 unit lokomotif D301 yang masih bisa dioperasi. Yaitu D301 06 (Cilacap), D301 13 (Cilacap), D301 17 (Semarang Poncol), D301 19 (Sidotopo), D301 21 (Manggarai), D301 22 (Solo), D30124 (Tegal), D301 25 (Sidotopo), D301 27 (Cepu), D301 28 (Cirebon), D30129 (Tegal), D301 33 (Sidotopo), D301 36 (Cirebon), D301 44 (Yogyakarta), D301 48 (Cilacap), D301 49 (Cilacap), D301 50 (Madiun), D301 55 (Solo), D301 58 (Manggarai), D301 59 (Semarang Poncol), D301 61 (Sidotopo), D301 62 (Sidotopo), D301 64 (Sidotopo), D301 72 (Cilacap), D301 76 (Yogyakarta), dan D301 80 (Tegal).

Lokomotif D301 80 inilah yang pada akhirnya hijrah ke Surabaya Gubeng, bukan untuk melayani jasa langsiran, tetapi digunakan sebagai memorabilia. Lokomotif jenis ini menjadi artefak memorabilia di berbagai stasiun kereta api seperti lokomotif D 301 22 di Stasiun Tugu Yogyakarta dan D 301 59 di Stasiun Semarang Tawang. Selanjutnya D 301 80 menjadi aksesoris monumen di lingkungan Kantor PT KAI Daops 8 Surabaya Gubeng.

Baca Juga  Dari Gerakan Pemuda ke Pintu Gerbang Kemerdekaan
Lokomotif D 301 80 Jadi Monumen di Stasiun Surabaya Gubeng
Loko D 301 80 ketika masih di Tegal. Foto: heritage.kai.id

Kedatangan Loko D 301 80

Lokomotif yang akan difungsikan sebagai pajangan di depan kantor PT KAI Daops 8 itu tiba di Surabaya dari tempat asalnya Stasiun Tegal. Kedatangannya diangkut dengan trailer. Persis pk 23.00, Minggu malam 16 April 2023, loko diesel hidraulik buatan Jerman tahun 1962 itu masuk halaman kantor Daops 8.

Selanjutnya trailer pengangkut loko itu merapat di tepi pedastal yang menjadi tempat dimana loko diesel itu akan dipajang. Menurut petugas jasa angkut bahwa loko bisa terpasang di pedastal pada kisaran waktu subuh, Senin dini hari (17 April 2023).

Kedatangan loko dari Tegal ini mendapat perhatian pemerhati kereta api serta pegiat sejarah dari Perkumpulan Begandring Soerabaia.

Agung Widyanjaya, pemerhati kereta api, yang awalnya mendapat informasi tentang kedatangan loko seri D301 80 itu dari Kepala Humas PT KAI Daops 8 Luqman Arif.

“Ini kabar dari Pak Luqman bahwa loko datang pukul 22.00,” jelas Agung sambil menunjukkan pesan WA yang dikirim Luqman kepadanya.

Karena sifatnya pesan pribadi sehingga yang mengetahui kedatangan loko sifatnya terbatas. Selain Agung dan Nevy Pattiruhu dan pegiat sejarah Begandring Soerabaia, tampak menunggu kedatangan loko adalah petugas pemasangan loko dan pegawai Kereta Api.

Kedatangan loko dengan angkutan trailer ini sempat menjadi perhatian warga sekitar di jalan Gubeng Masjid. Sampai pukul 00.15 dini hari loko masih didongkrak untuk dipindahkan dari atas trailer ke pedastal. Menurut petugas bahwa loko bisa di atas pedastal sekitar jam jam subuh. Loko ini menjadi monumen di Stasiun Surabaya Gubeng.

Lokomotif D 301 80 Jadi Monumen di Stasiun Surabaya Gubeng
Kondisi emplasemen Stasiun Surabaya Kota sekarang. foto: begandring

Bagaimana Stasiun Surabaya Kota?

Stasiun yang terletak di rel pamungkas ini bernama Stasiun Kota atau Stasiun Semut. Letaknya dekat dengan Kota Lama Surabaya dan berada di kampung Semut.

Stasiun ini sangat legendaris dan sangat historis. Stasiun Kota adalah stasiun pertama, yang dibuka oleh perusahaan kereta api negara di era kolonial, Statspoorwegen (SS) pada 1875. Di penghujung rel ini ada dua stasiun. Selain stasiun yang dibuka pada 1875, juga ada Stasiun baru yang dibuka pada 1898.

Baca Juga  Kisah Marga Han, Penguasa Ujung Timur Jawa

Tahun 2012, saya yang waktu itu jurnalis televisi JTV, sempat mendatangi Kantor Heritage KAI di Stasiun Gambir Jakarta. Tujuannya untuk menyampaikan gagasan pelestarian Stasiun Surabaya Kota dengan memanfaatkan stasiun legendaris dan bersejarah itu sebagai sebuah museum di luar Museum Kereta Api Ambarawa.

Penyampaian gagasan itu seiring ditemukannya sebuah gerbong antik yang biasa dipakai oleh keluarga kerajaan Madura. Gerbong antik itu ditemukan di Stasiun Sidotopo dan digunakan tempat penyimpanan peralatan perbaikan kereta api.

Dalam gagasan itu, gerbong antik itu bisa dimanfaatkan sebagai artefak untuk sebuah museum di gedung eks Stasiun Surabaya Kota.

Gagasan penyelamatan gerbong antik itu mendapat tanggapan dari pihak KAI. Tapi sayang, bukannya dimanfaatkan untuk mendukung gagasan sebuah museum di gedung Stasiun Surabaya Kota, tapi malah dibawa ke Museum Kereta Api Ambarawa, Jawa Tengah. Sekarang gerbong itu menjadi artefak hidup di sana.

Tentang gagasan memanfaatkan eks Stasiun Surabaya Kota ini didengungkan kembali oleh pegiat sejarah Begandring Soerabaia. Sebelum komunitas ini terbentuk pada 2018, personel Begandring Soerabaia itu adalah orang-orang yang telah berupaya untuk menyelamatkan dan melestarikan bangunan bersejarah dalam perkeretaapian di Indonesia.

Mereka adalah Kuncarsono Prasetyo, inisiator Begandring Soerabaia,. Tahun 2002, saat masih berprofesi sebagai jurnalis Harian Surya, sempat mendapati gedung stasiun dalam proses pembongkaran. Berita yang dituliskan kala itu menjadi viral dan pembongkaran dihentikan .

Berikutnya, Nanang Purwono, ketua Begandring Soerabaia. Pada 2012, saat masih berprofesi sebagai jurnalis televisi Jawa Pos Media Televisi (JTV), menyampaikan ke Divisi Heritage KAI di Gambir tentang pemanfaatan Gedung Stasiun sebagai sebuah museum dengan memanfaatkan gerbong antik sebagai salah satu artefak museum.

Kini di tahun 2023, kondisi Stasiun Kota masih mangkrak meski telah direstorasi yang selesai pada 2015. Karenanya komunitas ini mendorong dimanfaatkannya Stasiun Surabaya Kota (yang lama) tidak hanya sebagai fungsi Stasiun, tapi juga ada fungsi edukasi dan penelitian. Yaitu Museum.

Stasiun Surabaya Kota ini layak memiliki nilai dan fungsi tambah karena sejarahnya yang begitu besar. Selain sejarah peradaban dan perkembangan Surabaya, juga tertoreh bagaimana Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) berperan dalam Perang Surabaya 1945.

Lokomotif D 301 80 Jadi Monumen di Stasiun Surabaya Gubeng
Max Meijer (bertanda bulat oranye) dalam acara Workshop dengan PT KAI di Semarang.

Tanggapan Ahli Belanda

Gagasan dalam upaya pemanfaatan Gedung Stasiun Surabaya Kota sebagai sebuah wahana edukasi, museum, mendapat tanggapan dari ahli permuseuman Belanda, Max Meijer.

Max Meijer (1959) pernah belajar ilmu museum (museologi) di Reinwardt Academy Leiden, dan pergi ke Sekolah Hukum di Universitas Erasmus Rotterdam. Ia mengambil beberapa kursus dalam pemasaran, manajemen dan tata kelola budaya dan kebijakan.

Baca Juga  Catatan dari Pameran Repatriasi: Menyaksikan Masterpiece yang Kembali

Max memulai karir museumnya sebagai anggota staf Asosiasi Museum Belanda pada tahun 1983. Pada tahun 1990 ia ditunjuk sebagai asisten direktur Haags Gemeentemuseum dan kemudian bergabung dengan tim manajemen Museum Stedelijk di Amsterdam pada tahun 1994, di mana ia menjadi Kepala Pemasaran dan Komunikasi.

Dari 1997-2001 ia berada di tim manajemen Badan Warisan Budaya Negara (ICN) di Amsterdam. Pada tahun 2001 disusul pengangkatannya sebagai Direktur Jenderal museum kota di Arnhem (Museum Seni Modern Arnhem dan Museum Kota Bersejarah Arnhem).

Selain jabatan profesionalnya, Max telah (dan masih) aktif paruh waktu di banyak organisasi lain seperti Museum Nasional Etnologi, Leiden (anggota dewan pengawas), Institut Seni Media Belanda (presiden dewan pengawas), Belanda Komite Nasional ICOM (sekretaris), dan Comité International des Musées D’Art Moderne, CIMAM (sekretaris eksekutif).

Bepergian secara ekstensif selama bekerja untuk museum, memberikan kontribusi pada pameran di museum museum terkemuka di Inggris, Italia, Jerman, Polandia, Indonesia, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan Taiwan. Selain itu Max juga menerbitkan banyak artikel tentang kebijakan (museum), pemasaran seni rupa dan budaya.

Max mengatakan bahwa dirinya pernah bekerja sama dengan PT KAI bagian Heritage dan dalam kerjasama itu ia sempat berkunjung ke Museum Kereta Api Ambarawa lima kali dan Lawang Sewu yang dulunya adalah kantor pusat Nederlands Indiesch Spoorwegen Matachappij (NISM).

Mereaktivasi Stasiun Kereta Api Surabaya Kota sebagai Stasiun dan museum adalah gagasan cerdas karena upaya itu tidak hanya menyelamatkan fisik bangunan dan artefak artefak terkait, tapi juga menyelamatkan memori publik dan sejarah bangsa Indonesia di bidang perkeretaapian, utamanya yang ada di Surabaya, Jawa Timur.

“Very interesting. Years ago I worked with Ella Ubaidi and her PT KAI Heritage team on the revitalisasi of Museum PT KA! Interesting projects. We have been 5 times to Ambarawa for workshops and at Lawang Sewu as well. Good memoreis,” jelas Max melalui pesan WA kepada Ketua Begandring Soerabaia.

(Sangat menarik. Beberapa tahun lalu saya pernah bekerja sama dengan Ella Ubaidi dan tim Heritage PT KAI dalam rangka revitalisasi museum. Saya pernah ke Museum Ambarawa lima kali untuk kegiatan workshop dan juga ke Lawang Sewu). (nanang purwono)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *