Lebaran, Ater-Ater, dan Mercon RRT

Hari Raua Idul Fitri atau Lebaran datang setiap tahun dan kedatangannya selalu dinanti nantikan oleh umat Islam, karena di sana ada keindahan dan keajaiban yang bisa mengembalikan manusia pada fitrahnya.

Secara umum dapat dimengerti bahwa Idul Fitri menjadikan manusia terbebas dari dosa, setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan dan bermaaf-maafan di hari yang fitri pada 1-2 Syawal.

Indah dan penuh warna, penuh keceriaan. Anak anak berbalut baju baru, berkantung uang hasil unjung unjung dengan sajian aneka kue, camilan, manis manisan serta makanan yang siap saji di setiap rumah.

Saya pernah kecil dan pernah mengalami momen-momen indah itu. Bahkan sebelum Lebaran, dalam tradisi Jawa, ada yang namanya ater-ater (berbagi makanan kepada tetangga). Saya kala itu selalu giat mengantarkan makanan olahan emak (ibu) ke para tetangga.

Dari setiap rumah yang kami kirimi, saya selalu mendapat angpau uang receh. Kala itu besaran uang receh atas pemberian tetangga bervariasi. Ada yang 5 rupiah. Ada pula 10 rupiah. Semua dalam bentuk uang koin.

Senang rasanya dapat uang itu. Saya masih ingat, jumlah total dari pemberian tetangga itu adalah 85 rupiah. Ya 85 rupiah. Seingatku, waktu itu tahun 1975, saya masih kelas dua Sekolah Dasar (SD).

Di suatu sore hari selepas maghrib, setelah ater-ater, saya membeli semangkuk soto daging. Harganya 10 rupiah. Jika sekarang semangkuk soto harganya 15.000, berarti nilai 85 rupiah itu setara dengan Rp 127.500.

Bagi anak kecil sekarang, Rp 127.500 adalah jumlah yang lumayan. Pun demikian dengan saya kala itu di tahun 1975. Lumayan bisa untuk jajan makanan yang cukup.

Baca Juga  Kya-Kya Reborn, Akankah Layu seperti yang Dulu?

Di saat menjelang Hari Raya, atau pas tutup bulan Ramadan (akhir puasa), emakku memasak kare atau kari ayam. Ayamnya jenis ayam kampung dan menyembelih sendiri. Tetangga yang menyembelih. Sang tetangga dipanggil Wak Sampun. Ia seniman seni ludruk yang jadi wiyogo tukang kendang.

Tentu ayam kampung memiliki aroma yang berbeda dengan ayam potong. Kala itu emak menyebutnya ayam horen. Ayam kampung lebih enak dari pada ayam horen.

Rasanya jauh lebih gurih dan sedap. Saya selalu makan kepala dan sayapnya. Kepala dan sayap selalu saya makan belakangan sebagai gong pamungkas.

Sebetulnya makan kari olahan emak tanpa daging ayam sudah lahap karena aroma kuahnya sangat enak sehingga makanku selalu lahap. Makan tanpa sendok dan garpu. Cukup muluk alias menggunakan tangan.

Waktu itu bahagia sekali bisa makan kari ayam. Jadi, olahan kari ayam seolah menjadi identik dengan hari raya. Ketika hari raya itu hanya sekali dalam setahun, maka makan kari ayam kampung itu juga seolah sekali dalam setahun. Maka ater-ater dan makan kare ayam adalah wujud yang menciptakan kebahagiaan di hari raya.

Lebaran, Ater-Ater, dan Mercon RRT
Rentengan mercon RRT

Kegembiraan Lebaran lainnya adalah terdengarnya suara petasan, mercon. Bapak selalu membelikan mercon RRT. Kemasannya rentengan. Asli impor dari Cina dan mercon ini dibeli di toko di Jalan Jagalan, Surabaya. Kala itu, kami tinggal di Pengampon XII.

Mercon RRT ini terkenal ganas, letusannya keras meski per biji ukurannya kecil kecil. Untuk menjaga keamanan, bapak membuatkan tempat untuk membakar mercon. Yaitu sebuah pipa leideng sepanjang 50 cm.

Pada bagian pangkal yang kira kira berjarak 5 cm dari salah satu ujung pipa diberi lubang untuk menempatkan sebuah mercon. Lubang pada pipa ini kira kira 0,7 cm.

Baca Juga  Menyoal DNA Kota Surabaya

Sebatang pipa dengan panjang 50 cm itu dibuatkan tempat seperti model sebuah meriam yang ada sepasang rodanya sehingga salah satu lubang pipa dalam posisi mendongak persis sebuah meriam milik VOC.

Kemudian cara membakar merconnya adalah sebuah mercon dimasukkan ke lubang pipa yang terdapat pada pangkal dengan sumbu terlihat menjulang dari dalam lubang pipa. Dengan posisi seperti itulah mercon dibakar bak meriam.

Tradisi bakar mercon seperti itu menjadi kekhasan dalam menyambut dan merayakan hari raya. Hati pun merasa sungguh senang.

Belum lagi ketika menjelang hari raya kami pergi ke luar kota ke Tulungagung, tempat asal Bapak. Pada pukul 04.00 kami harus sudah bangun untuk mengejar kereta api.

Pengampon XII, tempat rumah kami, memang tidak jauh dari stasiun Surabaya Kota. Pagi yang masih gelap itu, kami berjalan ke stasiun melalui belakang stasiun sehingga kami harus melangkahi dan melewati rel rel kereta api.

Lebaran, Ater-Ater, dan Mercon RRT
Jalur menuju Stasiun Surabaya Kota lewat belakang.

Di saat menyusuri rel kereta api, di dekat bangunan Rumah Sinyal sudah terlihat di kejauhan lokomotif yang siap menarik rangkaian gerbong penumpang.

Dari kejauhan itu terlihat lampu lokomotif yang berbentuk lentera besi. Sementara asap putih tebal terlihat membubung keluar dari cerobong asap lokomotif yang bertenaga uap.

Kereta berlokomotif uap itulah yang membawa kami ke Tulungagung jika Bapak membawa kami berlibur dan berhari raya di Tulungagung. Bepergian ke Tulungagung dengan naik kereta api uap juga menjadi bagian dari tradisi hari raya.

Masih banyak lagi kebahagiaan saya tatkala Lebaran bersama orang tua pada masa masa kecil saya. Karena waktu terus berganti, segalanya menjadi berubah. Bermula dari usia muda, kini sudah berusia tua. Dulu yang masih berumur 8 tahun (1975), kini sudah 56 (2023).

Baca Juga  PTPN XI Terima Penghargaan Cagar Budaya

Suasana dan nuansa seperti dulu kini telah berganti. Waktu tidak bisa bergerak mundur, tapi terus maju. Maka yang lalu menjadi berlalu. Yang tertinggal adalah kenangan, bukan kenyataan. Sementara kenyataan yang ada tidak lagi seperti dulu.

Pengalaman seperti ini bisa juga dialami oleh orang lain. Dalam perayaan Lebaran pada masa kini di mana derajat kebahagiaan telah berganti, maka kenangan masa lalu itu menjadi pelipur untuk mengisi kebahagiaan yang telah berganti ini.

Jika dulu ada baju baru, ada camilan dan minuman di atas meja tamu, makanan yang berhias ketupat di meja dapur, keceriaan dan gelak tawa dalam suasana Hari Raya, kemudian kini menjadi hampa maka mengenang masa lalu menjadi pelipur dan obat tua.

Itulah kebahagiaan masa lalu sebagai santapan rohani demi kebahagiaan saat ini di Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah ini. (nanang purwono)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *