Begandring.com-Pertempuran 10 November 1945 memang pertarungan fisik, tapi bukan berarti steril dari konstestasi politik. Hal tersebut terungkap dalam diskusi bertajuk Peta Politik di balik 10 November 1945: Antara Kaum Kiri, Santri dan Priyayi di Basement Balai Pemuda (11/11).
Lanjutan seri diskusi publik gelaran Pameran Surabaya Heroes Virtue itu menghadirkan Kuncarsono Prasetyo, founder/inisiator Begandring Soerabaia, sebagai narasumber diskusi. Mengambil sudut pandang faktor politik dan ideologis para pejuang dan kelompok revolusioner, Kuncar berpendapat bahwa sengitnya Pertempuran Surabaya disebabkan kuatnya konsolidasi pengorganisiran massa oleh pejuang-pejuang pergerakan di masa sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 terjadi.
“Apa yang terjadi dalam bentuk Pertempuran 10 November 1945 adalah hasil dari sebuah proses konsolidasi massa yang terorganisir. Hal ini yang jarang diungkap narasi arus utama,” ujar Kuncar.
Terorganisirnya kelompok perlawanan juga tampak pada perebutan senjata tentara Jepang oleh pejuang (September 1945), peristiwa Perobekan Bendera di Hotel Yamato/Oranje (19 September 1945) hingga pertempuran tiga hari dengan tentara Sekutu (25-28 Oktober 1945).
“Gencarnya perlawanan pejuang pada Pertempuran Surabaya adalah sebuah pengorganisasian massa yang terstruktur, yang dimulai kurang lebih lima tahun sebelum pertempuran terjadi,” tambah Kuncar.
Kuncarsono Prasetyo membabar paparannya dalam diskusi publik. Foto: Begandring.com
Tiga Arus Penentu
Kuncar membangun tesisnya berdasarkan hasil pemilu pertama yang diadakan pada 1955. Pemilu itu, dalam argumen Kuncar, setidaknya dapat menjadi cerminan peta politik di Surabaya, meski terjadi sepuluh tahun setelah pertempuran legendaris itu terjadi. Dalam hasil perolehan suara pada Pemilu 1955 di Surabaya, PKI menempati urutan pertama, diikuti kemudian oleh NU, dan PNI pada urutan kedua serta ketiga.
“Dari hasil Pemilu 1955 ini setidaknya bisa terpetakan tiga arus utama masyarakat Surabaya kala itu: kelompok ‘kiri’, santri, dan priyayi,” beber Kuncar. Eksistensi tiga arus utama di Surabaya ini menciptakan sebuah ekosistem politik yang mengharuskan satu golongan akan merespon inisiatif golongan lain sehingga tercipta gerakan massa yang masif.
NU yang menjadi representasi kaum santri di Surabaya, menerbitkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Kuncar berpendapat bahwa Resolusi Jihad adalah sikap para Kaum Santri sebagai respons atas situasi dan kondisi di Surabaya yang semakin memanas seiring sering terjadinya gesekan antara pejuang dan tentara Sekutu yang saat itu sudah datang. Penyikapan ini berujung pada mobilisasi massa santri di seluruh Jawa dan Madura untuk ikut berjuang.
Kaum Priyayi saat itu banyak menjadi pejabat publik dan telah mengenyam pendidikan tinggi sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Banyak yang tidak memiliki afiliasi aktivitas politik, bahkan belum pernah terlibat gerakan politik.
“Beberapa tokoh kalangan priyayi yang dikenal, seperti RM. Soerjo, HR Muhammad, Prof.dr. Moestopo, Radjamin Nasution dan Doel Arnowo,” jelas Kuncar.
RM Soerjo, yang akhirnya menjadi Gubernur Jawa Timur adalah keturunan ningrat dan pegawai negeri karir. Prof.dr. Moestopo berprofesi sebagai dokter gigi dan aktif di Pembela Tanah Air (PETA).
Antusiasme pengunjung menyimak sesi diskusi oleh Kuncarsono Prasetyo. Foto: Begandring.com
Adapun golongan kiri memiliki ciri pergerakan di kalangan buruh, serta bentuk organisasinya yang kompartemental dan bergerak di bawah tanah. Pengorganisasian golongan kiri tak lepas dari kondisi Surabaya kala itu yang merupakan basis buruh dari berbagai latar belakang industri.
“Spektrum politik kaum kiri ini adalah kesetaraan sosial dan melawan sistem hirarki sosial,” terang Kuncar. “Golongan ini sangat anti kompromi, hingga dalam perjalanannya setelah Pertempuran Surabaya, mereka sering bergesekan dengan pemerintah pusat Indonesia,” tambahnya.
Dari hasil penelusuran Kuncar, kaum kiri mengambil langkah konsolidasi yang cukup rapi dan signifikan di kota Surabaya. Nama Amir Sjarifoedin, yang ketika Pertempuran Surabaya berlangsung menjabat Menteri Penerangan, cukup sentral dalam konsolidasi ini. Tahun 1941, Amir Sjarifoeddin, tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), datang ke Surabaya memulai membangun jaringan pergerakan bawah tanah. Awalnya Amir bertemu Atmaji dari kelompok pelaut Perak untuk pengorganisasian di sana. Lewat Atmaji, Amir bertemu dengan Pamoedji, tokoh pendiri klub bola Persebaya dan kelak menjadi Residen Surabaya.
Aktivitas Amir terhenti saat Jepang menangkap dirinya pada Januari 1943. “Tak habis akal, Amir meminta Djohan Sjahroezah, kolega sesama aktivis. Djohan ini juga menantu Agoes Salim, untuk datang ke Surabaya meneruskan pembangunan jaringan Amir,” jelas Kuncar.
Lewat jaringan Mohammad Hatta (Bung Hatta), Djohan bisa bekerja di BPM Wonokromo (kantor Pertamina MOR V Jagir sekarang) atas rekomendasi kepala personalia bernama Soedjono, yang juga anggota PNI Baru. Aktivis Des Alwi dan Soemarsono juga didatangkan ke Surabaya, serta masuk ke BPM Wonokromo melalui jalur yang sama.
Jaringan yang Solid
Pada Maret 1945, jaringan yang dibangun Amir memulai konsolidasi pertama. Konsolidasi ini dihadiri Djohan Sjahroezah, Soemarsono, Ruslan Widjajasastra, dan aktivis-aktivis lain. “Bahkan Chairul Saleh dan Soekarni yang merupakan aktivis Menteng 31 Jakarta juga ikut datang ke Surabaya, padahal Amir masih di penjara, ini organisasi yang luar biasa,” tambah Kuncar. Dari konsolidasi ini diplihlah Roeslan Abdulgani sebagai pemimpin kelompok bawah tanah.
Paska Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, gerakan bawah tanah ini semakin tak terbendung. Barisan Buruh Indonesia dibentuk pada 21 Agustus, diikuti oleh Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 23 September. Rapat-rapat raksasa pun dikoordinasi oleh anggota-anggota jaringan kelompok ini. Rapat raksasa pertama diadakan di Pasar Turi pada 7 September 1945, sedangkan yang kedua di Tambak Sari pada 21 September 1945. Diadakannya rapat-rapat raksasa ini penting untuk mensosialisasikan kemerdekaan Indonesia di masyarakat.
Tan Malaka, yang bukunya, Massa Aksi menjadi manual bagi Amir Sjarifoeddin, Soemarsono, Djohan Sjahroezah bahkan Soekarno – ikut datang ke Surabaya. Tan Malaka sedang di Yogyakarta saat Pertempuran Surabaya dimulai akhir Oktober 1945.
“Tan sedang menyelesaikan selebaran pemikirannya, Muslihat, Politik dan Rencana Ekonomi Berjuang. Sengitnya Pertempuran Surabaya membuat Tan Malaka tergerak datang ke Surabaya dan sempat menemui KH Hasyim Asyari di Jombang pada 12 November,” jelas Kuncar.
Tan Malaka pun menyelesaikan brosur pemikirannya di Surabaya. Sempat bertempat di Balai Pemuda, gencarnya serangan pasukan Inggris membuat Tan Malaka harus menyingkir ke Kedung Tarukan hingga terakhir di Pabrik Kulit Wonocolo.
Pose bersama pengunjung dan peserta diskusi. Foto: Begandring.com
Pengorganisasian adalah kunci
Pengorganisasian masyarakat dan membangun jaringan perlawanan bawah tanah yang masif dan terstruktur cukup ampuh untuk mengorganisir massa pada saat Pertempuran Surabaya. Inisiatif jaringan bawah tanah Amir Sjarifoeddin membuat masyarakat bisa di picu untuk bergerak. Terbentuknya kesatuan-kesatuan dan badan-badan perjuangan setelah Proklamasi tersebar tak lepas dari pengorganisasian Amir dan Djohan.
Pengorganisasian ini memungkinkan adanya perebutan senjata dari tentara Jepang, hingga mobilisasi massa saat Insiden Bendera Hotel Yamato, rapat-rapat raksasa, hingga tentunya Pertempuran Surabaya itu sendiri. Inisiatif yang dilakukan Amir dan kawan-kawan juga memicu kalangan Santri dan priyayi untuk ikut serta bersikap dan memobilisasi massa agar turut serta dalam Pertempuran Surabaya.
“Tindakan para kaum revolusioner dari tiga arus berbeda yang bermuara pada sengitnya Pertempuran Surabaya 10 November 1945 memberi pelajaran lintas generasi, bahwa pengorganisasian massa dan konsolidasi adalah syarat penting bagi revolusi,” pungkas Kuncar. (*)
*Kontributor: M. Firman