Catatan dari BWCF (Bagian 2): Membaca Sangguran yang Tak Kunjung Pulang

Penulis: M. Firman

Profesor Griffiths berujar bahwa Sangguran adalah dokumen tertua Bangsa Indonesia dari tahun 928 masehi yang hingga kini berada di Inggris. Dia berharap pemerintah Indonesia bisa melakukan diplomasi yang lebih cerdas untuk mengembalikan Prasasti Sangguran.

Poster Pidato Kebudayaan Prof. Griffiths. Sumber : BWCF

Acara pembukaan dari Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ditutup dengan pidato kebudayaan oleh Professor Arlo Griffiths, filolog Sansekerta, yang menjabat sebagai Direktur Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO) Jakarta Center. Prof. Griffiths memberi pidato kebudayaan terkait keberadaan Prasasti Sangguran yang lebih dikenal dengan nama Minto Stone.

Pidato kebudayaan ini berjudul “Menempatkan Sebuah Prasasti Jawa Kuno di Posisi (asal) yang Seharusnya.”

Prasasti Sangguran adalah sebuah prasasti batu yang dibuat pada tahun 850 Saka (928 Masehi) oleh seorang raja Medang bernama Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa atau Dyah Wawa.

Prasasti ini ditemukan di Desa Ngandat, Kota Batu. Jan Laurens Brandes, filolog Belanda awal Abad 20 pernah mendokumentasikan dan mencoba menterjemahkan prasasti ini.

“Prasasti Sangguran berisi penetapan tanah sima oleh Raja Dyah Wawa, berikut perayaan yang menyertai penetapan ini,” terang Arlo Griffiths. “Disebutkan juga ada upacara besar, pembagian kain untuk para pejabat dan tokoh masyarakat, bahkan juga kutukan bagi yang melanggar,” lanjut Griffiths. Sayangya menurut Griffiths, penelitian dan pembacaan Sangguran tidak ada perkembangan signifikan.

Inskripsi dalam Prasasti Sangguran. Sumber : M. Firman

Dalam prasasti tersebut ada tulisan mengenai pembangunan bangunan suci di tanah yang ditetapkan ebagai tanah sima. Ditemukannya situs candi di Desa Pendem, Kota Batu, yang oleh warga sekitar disebut sebagai “Candi Pendem” kemungkinan adalah bangunan suci yang dimaksud di dalam Prasasti Sangguran.

Baca Juga  Catatan dari BWCF (Bagian 1): Ganesya dan Batu-batu yang Menari

Prasasti tersebut diambil oleh Kolonel Collin Mckenzie pada tahun 1812 semasa pendudukan Inggris di Indonesia. Oleh Kolonel Mckenzie, Prasasti Sangguran kemudian dihadiahkan pada atasannya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Sir Stamford Raffles.

Raffles selanjutnya memberikan prasasti ini ke Sir Gilbert Elliot, 1st Earl of Minto ( Lord Minto) yang saat itu menjadi atasan Raffles sebagai Gubernur Jendral di India.

“Sangguran dianggap sebagai benda penting yang dibawa ke Inggris, di masa itu Sangguran adalah hadiah dengan nilai eksotis,” jelas Arlo Griffiths.

Kini, Prasasti Sangguran berada di tanah milik keluarga Lord Minto di tepi Sungai Teviot, di selatan Skotlandia, Inggris. Griffiths pun bersama beberapa tim ahli dari Indonesia mendapat ijin dari keluarga Lord Minto untuk membaca ulang Prasasti Canggu secara langsung di prasastinya dengan aplikasi scan tiga dimensi.

Penelitian Griffiths juga mengungkap adanya terjemahan yang melenceng di Abad-19 yang justru penuh bumbu mitos dan klenik. Selain JL Brandes, dua arkeolog senior alamarhum Hasan Jakfar dan almarhumah Edi Sedyawati pernah melakukan penelitian Prasasti Sangguran.

Dalam pembacaanya, Griffiths mendapati beberapa fakta menarik. “Dalam prasasti ini, Dyah Wawa adalah maharaja, sedangkan Empu Sindok sebagai mahapatih. Ada transisi administrasi dari Wawa ke Sindok di sini,” ujar Griffiths. Hal ini merujuk pada keberadaan Prasasti Masahar (930 Masehi) yang dibuat dua tahun setelahnya, di mana Mpu Sindok sudah menjadi maharaja.

Presentasi kajian pembacaan Prasasti Sangguran oleh Arlo Griffith. Sumber: M. Firman

Pembacaan ulang Griffiths juga mengungkap sang pemahat atau pembuat prasati. “Ada nama Laksana sebagai citralekha (ahli tulis prasasti), uniknya di beberapa prasasti lain yang sezaman, juga ada nama yang sama,” kata Griffiths. Makanan yang disajikan selama proses upacara pun juga dijelaskan di prasasti.

Baca Juga  Hujunggaluh di Surabaya Hasil Pemaksaan Intelektual?

“Beragam hidangan disebutkan, ada krawu, buah kurma, asam jawa dan dodol yang disajikan di atas anjap,” kata Griffiths. Anjap adalah nampan berbentuk kotak yang digantung di langit-langit kayu bangunan, sampai sekarang masih digunakan masyarakat Batak – Toba.

Prasasti Sangguran adalah sebuah pesan bagi generasi mendatang sebagai salah satu pusaka bangsa Indonesia. “Sangguran adalah dokumen tertua Bangsa Indonesia yang ada di Inggris, Jawa di masa kuno sangat kaya informasi dengan banyaknya prasasti yang ditemukan,” papar Griffiths.

“Saya harap pemerintah Indonesia melakukan diplomasi yang lebih cerdas untuk mengembalikan Prasasti Sangguran di waktu mendatang,” harap Griffiths. Saat ini di Desa Ngandat, Kota Batu, terdapat replika Prasasti Sangguran yang dibuat oleh komunitas budaya desa tersebut. Setiap tahun diadakan upacara ritual yang mengharapkan Prasasti Sangguran kembali ke asalnya di Ngandat (*).

 

*M. Firman. Pemerhati sejarah dan budaya.

Artikel Terkait

One thought on “Catatan dari BWCF (Bagian 2): Membaca Sangguran yang Tak Kunjung Pulang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *