Peradaban Sejarah Lamongan dalam Lintasan Bengawan Solo

Sarasehan sejarah berjudul  “Mengungkap Kejayaan Lamongan abad XI – XV”, yang digelar secara hybrid pada 24 Mei 2022, dalam rangkaian HUT Kabupaten Lamongan, mengungkap kekayaan dan kejayaan peradaban Lamongan masa lalu. Bukti-bukti otentik yang dipaparkan dalam sarasehan menunjukkan keberadaan peradaban masa kuno Lamongan. Bukti-bukti tersebut berupa sejumlah prasasti yang tersebar di wilayah Lamongan.

Supriyo, sejarawan Lamongan dalam bedah bukunya Garudamukhsa di acara itu, mengatakan Lamongan memiliki banyak prasasti dari beragam zaman, mulai dari era Pu Sindok, Airlangga, hingga Majapahit. Setiap prasasti menceritakan tentang peradaban di mana prasasti itu ditemukan.

Selain prasasti, juga ada temuan lain berupa benda, bangunan, struktur serta situs arkeologi yang juga cukup banyak dan tersebar di Lamongan. Ini semua menunjukkan fakta bahwa di Lamongan sudah pernah ada kehidupan yang berjaya dan besar pada masanya.

“Jika dilakukan penggalian di bumi Lamongan, maka dapat diduga bahwa di balik bumi Lamongan ini masih ada sisa-sisa peradaban masa kuno Lamongan lainnya,” jelas Supriyo.

Apalagi Kabupaten Lamongan dilewati Bengawan Solo beserta anak bengawan yang disebut Bengawan Jero. Dalam Prasasti Canggu, yang dibuat di masa Raja Hayam Wuruk (1358) misalnya, menyebut nama-nama naditira (desa di tepian sungai).

Menurut Supriyo dalam risetnya tahun 2017, setidaknya ada 17 titik lokasi desa panambangan purba dari 56 titik lokasi panambangan yang disebut dalam Prasasti Canggu. Titik-titik desa itu dapat dilokasikan dengan tepat atau setidaknya dihipotesiskan berada di tempat-tempat tertentu pada sub-DAS Hilir Bengawan Solo dan Bengawan Jero dalam wilayah Kabupaten Lamongan.

Mengapa kemudian desa-desa penambangan ini mendapat penghargaan Raja Hayam Wuruk kala itu? Selanjutnya, nama-nama desa diabadikan dalam piagam penyeberangan (Ferry Charter) berupa prasasti yang berbentuk lempeng tembaga bernama Prasasti Canggu atau Trowulan I.

Jawabannya tidak lain karena masyarakat kala itu sangat ramah terhadap alam dan bumi yang mereka pijak. Bumi yang mereka pijak adalah wilayah yang dilalui bengawan besar.

Baca Juga  KH Hasyim Asy’ari dan Penjara Koblen

Bengawan itu sekarang bernama Bengawan Solo. Dulu, bernama Bengawan Wulayu. Nama Wulayu diambil dari sebuah desa tepian bengawan yang terhitung paling dekat dengan hulu sungai. Wulayu ini berada di wilayah yang sekarang masuk administrasi Kabupaten Surakarta, Jawa Tengah.

Yang tercatat dalam prasasti ini masuk kategori desa kuno. Diukur dari segi usia, keberadaan mereka sudah lebih dari 664 tahun. Di tempat tempat inilah, kala itu, sudah menjadi tempat berlangsungnya aktivitas budaya dan peradaban manusia.

Nanang Purwono memaparkan Ekspedisi Bengawan Solo 2022. foto:begandring

 

Pelajaran Nenek Moyang

Lantas nilai-nilai budaya dan peradaban apa yang bisa dipelajari?

Prof Suparto Wijoyo, Wakil Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, mengatakan, dulu masyarakat Lamongan ini bisa sangat adaptif dengan lingkungan.

“Ketika saya kecil hingga remaja masih sempat menyaksikan bagaimana masyarakat Lamongan, terutama di desa saya, merasa bersyukur dengan datangnya banjir yang melanda daerahnya, meski banjir berlangsung selama tiga bulan. Ini karena masyarakat bisa bersikap adaptif terhadap perubahan alam. Berperahu untuk mendukung aktivitas sehari hari dilakoninya,” tutur pria yang menghabiskan masa kecil dan remaja di Lamongan ini.

“Ini berarti mereka membuat perahu untuk menyesuaikan dengan kondisi alam. Dalam kondisi alam seperti itu, mereka memanfaatkan alam untuk hidup. Yaitu menangkap ikan karena ikannya melimpah,” kenang Suparto ketika melewati kawasan desanya dalam perjalanan menuju Pendopo Kabupaten Lamongan, Rabu (25/5/2022) malam,.

Sementara Supriyo dalam risetnya menyebutkan, masyarakat Lamongan dulu selalu bijak menyikapi musibah banjir. Itu dilakukan dengan jalan mengembangkan strategi adaptasi-ekologis yang tepat guna. Di antaranya membangun tanggul (istilah kuno tamwak), saluran drainase (istilah kuno weluran) dan bendungan (istilah kuno dawuhan).

Peradaban lain adalah membuat tempat penyeberangan sungai (istilah kuno panambangan, kini tambangan) untuk menghubungan tempat-tempat yang terpisahkan oleh aliran sungai. Wilayah Lamongan yang dilewati oleh Bengawan Solo dan ditambah dengan Bengawan Jero serta sub-sub anak sungainya telah teriris-iris buminya. Maka membuat tambangan adalah solusi yang adaptif.

Tambangan sendiri, yang ternyata masih ada hingga sekarang, adalah wujud peradaban dan budaya di Lamongan yang sudah berjalan dari masa ke masa dan terwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga  Penyusunan Kurikulum Ekskul Sekolah Artefak SDN Sulung, Surabaya

Jika dilihat dari kacamata UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sesuai Pasal 5 mengenai 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, maka tambangan masuk dalam salah satu objek pemajuan kebudayaan, yaitu teknologi tradisional.

Menurut UU, teknologi tradisional adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang atau cara yang diperlukan bagi kelangsungan atau kenyamanan hidup manusia dalam bentuk produk, kemahiran, dan keterampilan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan dikembangkan secara terus menerus serta diwariskan lintas generasi.

Maka, tambangan yang digunakan untuk menjawab tantangan alam dan lingkungan, yaitu menyeberangi bengawan, adalah cara adaptif ekologi terdadap kondisi alam yang ada. Tambangan adalah salah satu bentuk budaya dan peradaban nenek moyang dan peradaban maritim Majapahit yang masih lestari hingga saat ini.

Sesungguhnya, masih ada nilai-nilai kearifan lokal lain yang ada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Khususnya di Lamongan. Apakah yang memang masih lestari maupun yang perlu digali untuk dilestarikan sebagai modal masyarakat Lamongan dalam menatap masa depan dan membangun daerahnya yang secara alami akrab dengan Bengawan dan air.

Penulis bersama  Yurohnur Effendi dan Suparto Wijoyo. foto:begandring

 

Dukungan Bupati Lamongan

Rabu (25/5/2022) malam, Prof Suparto Wijoyo beserta Prof Rudi Purwono dari Sekolah Pasca Sarjana Unair bersama Nanang Purwono (ketua Begandring Soerabaia), beretmu Bupati Lamongan Dr. H. Yuhronur Effendi, MBA dan wakil bupati Drs. KH Abdul Rouf, M.Ag, serta jajaran Muspida Kabupaten Lamongan. Pertemuan digelar di Pendopo Kabupaten Lamongan.

Pertemuan membahasa rencana Ekspedisi Bengawan Solo 2022 yang akan digelar pertengahan Juni hingga Juli 2022 untuk Pra Ekspedisi dan Juli- Agustus 2022 untuk Ekspedisi Utama.

Yuhronur Effendi menyambut baik adanya event ini. “Bumi Lamongan menyimpan sejuta peradaban yang perlu diketahui banyak pihak sebagai kebanggaan bersama,” katanya.

Peradaban Bengawan Solo sudah menjadi etalase peradaban Lamongan mulai era Pu Sindok, era Airlangga, era Majapahit, hingga era pascakemerdekaan.

“Hal ini layak menjadi etalase peradaban sekarang dan mendatang bagi masyarakat Lamongan,” ujar Yuhronur.

Baca Juga  Hari Pahlawan, Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

 

Karenanya, peradaban yang pernah ada di masa lalu perlu diuri-uri dan dikembangkan serta dimanfaatkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan warga.

Peninggalan kesejarahan yang berupa benda, bangunan, struktur dan bahkan situs baik yang telah berstatus cagar budaya maupun yang diduga sebagai cagar budaya, patut dikelola sebagai upaya melestarikan nilai-nilai sejarah. Ini bertujuan untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, budaya dan pariwisata sesuai amanah UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Sedangkan berdasarkan UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, merujuk pasal 5 mengenai 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, banyak nilai kearifan lokal yang bisa digali, diinventarisasi, dan dimajukan.

Sebagian dari hasil karya masyarakat Lamongan adalah kain tenun dan batik. Produk karya manusia ini, sesuai Obyek Pemajuan Kebudayaan, masuk dalam kategori Pengetahuan Tradisional.

Pengetahuan Tradisional adalah seluruh ide dan gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan lintas generasi. Pengetahuan tradisional antara lain kerajinan, busana, metode penyehatan, jamu, makanan dan minuman lokal, serta pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta.

“Kerajinan tenun dan batik di Kabupaten Lamongan masih ada hingga sekarang.  Desa Parengan adalah sentra produksi tenun,” jelas Bupati Lamongan.

Desa Parengan adalah salah satu desa di tepian Bengawan Solo. Sementara Parengan sendiri adalah desa kuno yang namanya telah tercatat dalam Prasasti Canggu dengan tulisan Parung atau Wareng.

Tradisi membuat kain sebagai bagian dari busana memang sudah ada sejak lama. Bukan tidak mungkin tradisi membuat kain di desa kuno ini adalah peninggalan peradaban masa lalu. Karenanya, produk lokal ini patut menjadi contoh sebagai upaya pemajuan kebudayaan di Lamongan.

Masih banyak objek kebudayaan yang tersimpan di Lamongan. “Dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun ini akan digelar Lamongan Tempo Dulu. Banyak produk lokal tempo dulu, mulai makanan, jajanan, dan karya-karya lokal akan dipamerkan,” pungkas Yuhronur. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *