Penulis: Om TP Wijoyo
Pada kisaran pertengahan abad XVII, muncul nama-nama tokoh bangsawan Surabaya, yaitu: Ki Onggodjojo (Honggodjojo), Adipati Pasuruan dan Ki Onggowongso (Honggowongso), Adipati Surabaya, yang bergelar Jangrana I. Keduanya merupakan putra dari Ki Ageng Brondong (Lanang Dangiran).
Ketiga tokoh tersebut (Ki Ageng Brondong, Ki Onggodjojo, dan Ki Onggowongso) makamnya berada di Komplek Setono Boto Putih, sebelah timur dari kawasan Makam Sunan Ampel. Terkait tokoh Ki Onggojoyo, berdasarkan naskah “Sarasilah Keturunan Boto Putih”, diketahui nama kecilnya adalah “Gentono”.
Ki Onggojoyo dijadikan Adipati Pasuruan bergelar “Ki Tumenggung Honggojoyo oleh Susuhunan Amangkurat Mataram pada tahun 1678. Namun 8 tahun kemudian, pada tahun 1686, dipindah ke Surabaya, dan pada tahun 1690 Ki Tumenggung Honggojoyo wafat dan dimakamkan di Setono Boto Putih, Surabaya.
Ki Tumenggung Honggojoyo memiliki 14 putra dan putri, yang kelak salah satu keturunannya menjabat sebagai Bupati Kasepuhan (Eerste Regent) dan Bupati Kanoman (Tweede Regent) di Surabaya.
Adapun putra-putri dari Ki Tumenggung Honggojoyo yang tercatat dalam Sarasilah Boto Putih, adalah :
- Nyai Mas Rengga, ada juga yang menulis “Rana” atau “Raga”.
- Ki Onggodjojo, yang setelah peristiwa “Geger Surabaya” pada tahun 1723, dibuang di Selong (Ceylon / Sri Langka).
- Nyai Dalem.
- Nyai Onggodiwongso / Onggowidjojo.
- Ki Onggodjojo Jagir (dimakamkan di Bungkul).
- Kiyahi Sutaprana (dimakamkan di Bungkul).
- Nyai Sumojudo / Sutojudo.
- Ki Dipomenggolo.
- Nyai Adjeng Notopradoto.
- Onggodiwongso / Onggowikromo / Onggodimedjo.
- Nyai Adjeng Wirodipuro.
- Kiyahi Onggowidjojo, yang kelak menjadi Bupati Kasepuhan Surabaya, bergelar “Raden Tumenggung Tjondronegoro” atau dikenal dengan sebutan “Tumenggung Djimat Tjondronegoro”.
- Kiyahi Djojodirono, yang kelak menjadi Bupati Kanoman Surabaya, bergelar “Kiyahi Mas Tumenggung Djojodirono”.
- Nyai Adjeng Kindjeng / Rara Kiendjeng, yang dinikahi oleh seorang Tionghoa dari keluarga Tjoa, bernama “Tjoa Kie Swie”.
Putri Ki Tumenggung Onggojoyo yang disebut terakhir, yaitu “Nyai Adjeng Kindjeng (atau disebut “Roro Kiendjeng), makamnya berada di dalam komplek Makam Sunan Ampel, berada di sisi selatan dari Makam Sunan Ampel.
Pada bagian kijing makamnya tertulis :
ONZE GELIEFDE STAMMOEDER
NJAI RORO KIENDJENG
DOCHTER VAN
KIAI TOEMOENGGOENG ONGGODJOJO
FAMILIE TJOA
Nisan Makam Nyai Roro Kiendjeng. Sumber: begandring.com
Dari keterangan inskripsi pada makamnya, diketahui bahwa Nyai Roro Kiendjeng merupakan putri dari Kiai Tumenggung Onggojoyo. Dan tulisan “Familie Tjoa” yang berada di bagian bawah, sepertinya menunjukkan bahwa keluarga Tjoa sangat menghormati Tokoh “Nyai Roro Kiendjeng”.
Bahkan di Jalan Karet, Surabaya, terdapat rumah sembahyangan bagi Keluarga Tjoa, yang mana pada atas ambang pintu rumah tertulis nama Roro Kienjeng.
Makam Nyai Roro Kiendjeng di Kompleks Makam Sunan Ampel. Sumber: begandring.com
Sebuah catatan buku Sedjarah Surabaya, menyebutkan nama suami dari Nyai Roro Kiendjeng bernama “Tjoa Kwi Swie” dimakamkan di Kampung Ketandan Surabaya, di sebelah selatan dari Makam Kiyahi Tondo (Buyut Tondo).
Makam Buyut Tondo hingga kini masih dikeramatkan warga Kampung Ketandan Surabaya. Bahkan nama gang kampung di dekat Makam Buyut Tondo dinamakan “Ketandan Punden”. Kini di depan Makam Buyut Tondo telah dibangun sebuah pendopo yang diberi nama “Pendopo Cak Markeso”.
Berdasarkan peta lama tahun 1892, 1905, 1915, tampak keberadaan Bong (makam cina) di Kampung Ketandan. Menurut pitutur warga, dulu di Kampung Ketandan terdapat banyak sekali Bong (Makam Cina) berukuran besar-besar.
Kini masih tampak bekas bagian fisik Bong Cina di dalam rumah warga. Dan juga masih ditemukan patung Kilin (hewan mitologi) sebagai bagian dari ornamen penghias Bong, serta sisa-sisa Bongpay (nisan makam Cina) yang tergeletak di pinggir kampung dan dijadikan penutup saluran air. Keberadaan Bong Cina yang pernah ada di Kampung Ketandan, Surabaya diabadikan dengan nama gang “Ketandan Bong”.
Bahkan ada yang menghubungkan nama jalan “Embong Malang” yang kini berada dekat dengan Kampung Ketandan, merujuk pada asal sebutan “Bong Malang”, yang bisa dihubungkan dengan banyaknya Bong Cina yang pernah ada di wilayah tersebut.