Bung Karno Titisan Jawara Curabhaya

Bung Karno (Soekarno) lahir di Surabaya. Karekter Suroboyoan sangat kental, sebelum terungkap bahwa dia lahir di Surabaya. Sebagai Arek Suroboyo, Soekarno memiliki sifat pemberani, demokratis dan egaliter.

Soekarno adalah Jawara. Ia berani menghadapi bahaya: menerima tantangan untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajah.

Dari penelusuran sejarah Peter A. Rohi yang mendirikan Institut Soekarno, pada akhirnya bisa meluruskan sejarah tempat lahir Bung Karno. Yang awalnya tercatat lahir di Blitar, akhirnya terkoreksi bahwa Bung Karno lahir di Kampung Pandean, Peneleh, Surabaya.

Di Kampung Peneleh, ketika Soekarno sekolah di HBS (setingkat SMA) pada 1917-1921, ia mendapat tempaan ajaran dan nilai-nilai kebangsaan di jalur pendidikan luar sekolah. Yaitu saat Soekarno indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Kampung Peneleh VII. Di tempat inilah Soekarno belajar nilai-nilai kebangsaan dan semangat kebangkitan, di mana para tokoh kebangsaan bertemu dan merancang pergerakan untuk Indonesia merdeka. Meski tokoh-tokoh ini memiliki afiliasi politik berbeda, tetapi mereka tetap memiliki tujuan sama: kebebasan.

Kampung Pandean-Peneleh adalah Kampung Kebangsaan, Kampung Pergerakan dan Kampungnya para jawara, orang orang pemberani.

Keberadaan kampung jawara ini secara natural dan kultural sudah ada dan dihuni orang-orang pemberani dari masa ke masa. Tidak hanya era Soekarno, pada era klasik Kampung Pandean-Peneleh juga dihuni para Jawara.

Menurut GH Von Faber dalam bukunya Erwerd Een Stad Geboren (Lahirnya Sebuah Kota), sejak 1270 M kampung yang berada di kawasan delta Kalimas dan Pegirian sudah dihuni orang-orang pemberani. Bukti keberanian itu ditunjukkan ketika mereka membantu Raja Kertanegara (Singasari) dalam penumpasan pemberontakan Kanuruhan.

Atas jasa-jasa para Jawara Peneleh inilah, Raja Kertanegara membuka area permukiman baru untuk mereka (1275) menyebit Surabaya. Lokasinya di utara Peneleh, tepatnya di area Kampung Pengampon–Semut.

Baca Juga  Sedekah Bumi, Ubo Rampe, dan Benteng Peradaban

Dalam Prasasti Canggu (1358 M), nama Surabaya (Curabhaya) dengan jelas tersebut sebagai sebuah naditira pradeca (desa di tepian sungai yang memberi jasa penyeberangan). Atas jasa penyeberangan itulah, Raja Hayam Wuruk (Majapahit) memberi status desa Swatantra, otonom, karena kemampuannya menata dirinya sendiri.

Bila teridentifikasi, Surabaya secara alami berada di daerah tepian sungai. Maka, tepat sekali dengan bukti arkeologi berupa penemuan Sumur Jobong di Kampung Pandean Gang I.

Dari hasil uji karbon terhadap fragmentasi tulang-tulang manusia yang ditemukan di sumur, diketahui usia kematian tertua dari fragmentasi tulang manusia ini 1430. Ini berarti bejana Sumur Jobong sudah ada sebelum ada kematian pada 1430.

Sumur Jobong adalah sarana domestik sebuah peradaban di Delta Sungai, di mana Surabaya yang saat itu masih berupa desa, berada. Surabaya kuno yang terletak di delta sungai itu, sekarang menjadi Kampung Peneleh, kampung di mana Soekarno dilahirkan.

Jika secara alami Soekarno menjadi orang pemberani, maka keberanian itu tidak lepas dari kekuatan alami yang terwariskan kepada Soekarno.

Sifat Soekarno yang berani, demokratis dan egaliter itu tidak lepas dari titisan alami dari para Jawara Curabhaya, kini Surabaya.

Dimanakah Curabhaya?

Seiring dengan upaya penguatan sejarah tempat lahir Bung Karno, dan keberanian Bung Karno yang merupakan titisan para Jawara Curabhaya (Surabaya ketika masih sebuah desa di tepian sungai), maka perlu ada penguatan sejarah. Bahwa Curabhaya yang terletak di Delta Sungai itu adalah Kampung Peneleh yang sekarang berupa lingkungan kelurahan di Surabaya.

Berdasarkan studi literasi dan temuan lapangan, maka ada dugaan kuat bahwa desa Surabaya yang tersebut dalam Prasasti Canggu (1358), kini adalah Kampung Pandean-Peneleh yang secara geografis alami tergambar pada sumber-sumber sejarah.

Baca Juga  Soekarno, Glorifikasi, dan Film Dokumenter

Ketika Kampung Pandean-Peneleh di era Kerajaan Majapahit dikenal sebagai Kampung Jawara, maka dalam perjalanan waktu dan perubahan zaman, Peneleh masih konsisten sebagai kampung orang orang pemberani. Terbukti dengan bercokolnya tokoh-tokoh bangsa mulai dari Soekarno, Roeslan Abdoel Gani, HOS Tjokroaminoto, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso hingga Kartosoewirjo.

Mereka membuat konsep lahirnya kedaulatan. Meski masing masing dari mereka memiliki afiliasi politik yang berbeda, tapi mereka tetap dalam koridor kebangsaan: melahirkan kemerdekaan. Itulah mengapa kampung ini disebut Kampung Kebangsaan.

Seiring hadirnya Bulan Bung Karno, yang salah satu tujuan lebih menyosialisasikan Surabaya sebagai tempat kelahiran Bung Karno, maka sudah sepantasnya menegaskan  desa Curabhaya, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Canggu (1358) dan terilustrasikan dalam sumber sejarah lain, adalah Kampung Peneleh sekarang.

Jika desa naditira Curabhaya (dulu), yang lokasinya di tepian sungai, kini menjadi Kota Surabaya yang luas dan besar, maka perkembangan kota ini tidak lepas dari cikal bakal kota yang berupa desa kecil di tepian sungai (naditira) yang diduga berada di Peneleh.

Maka, sejatinya Bung Karno ini dilahirkan di Kampung Jawara yang cikal bakalnya metropolis Surabaya sekarang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *