Begandring.com-Penulisan tahun 1902 dalam dokumen data Bung Karno di buku induk ITB 1920-1931 telah terjelaskan dalam autobiografi dan terkonfirmasi kesaksian tertulis teman sekolah di ELS dan HBS. Usia Bung Karno memang dimudakan setahun. Sementara Halaman-halaman lain dalam buku induk itu mencantumkan geborenplaats masing-masing mahasiswa dengan nama kota, bukan nama karesidenan. Di antaranya, Malang, Nganjuk, dan Peterongan-Djombang.
Salah satu dokumen yang kerap muncul dalam diskusi seputar tahun kelahiran Bung Karno adalah Buku Induk Mahasiswa Institut Teknologi Bandung 1920-1931 (dulu Technische Hoogeschool te Bandoeng). Dilansir dari website digilib.itb.ac.id, tercantum keterangan buku tersebut merupakan data buku mahasiswa ITB pada tahun 1920 sampai dengan 1931.
Adapun data tentang Soekarno terdapat pada halaman 55. Di lembar itu jelas terbaca geboorteplaats atau kota lahir Bung Karno adalah Soerabaia. Keterangan di atasnya menyebutkan, Bung Karno dilahirkan 6 Juni 1902. Penulisan tahun lahir 1902—yang berbeda dari versi resminya 1901—di masa kini kerap memantik penafsiran ulang tentang tahun lahir Bung Karno, bahkan juga kota lahirnya.
Data Bung Karno dalam Buku Induk ITB 1920-1931. Sumber: ITB. Salinan didapat via Tjahyana.
“Perihal angka tahun 1902 sebagai tahun lahir Bung Karno itu dikarenakan pada saat Bung Karno didaftarkan ke Europeesche Lagere School (ELS), usianya sengaja ditulis lebih muda satu tahun oleh ayahnya, Soekeni Sosrodihardjo. Pernyataan bahwa usia Bung Karno sengaja ditulis lebih muda satu tahun beserta tujuannya disampaikan Bung Karno sendiri dalam autobiografinya, Penjambung Lidah Rakjat,” ujar Yayan.
Pernyataan Bung Karno tentang usia dimudakan setahun. Sumber: buku autobiografi Penjambung Lidah Rakjat terbitan 1966
Meski demikian, Yayan tetap menguji pernyataan Bung Karno itu dengan sumber lain. Dengan cara, membandingkan dengan pernyataan-pernyataan lain dari sumber yang relevan.
Setelah membaca sekian pustaka lain, Yayan akhirnya menemukan satu sumber penting. Yakni, testimoni Herman Kartowisastro berjudul Pemuda Sukarno, Kawan Sekolah dan Kawan Mainku selama 1909-1919. Artikel tersebut, menurut Herman, merupakan testimoninya saat diwawancarai oleh Cindy Adams pada tahun 1964**.
Lalu, dia menerbitkan sendiri dalam bentuk artikel pada tahun 1978 dalam buku Tragedi Bung Karno oleh Penerbit Simponi. Artikel itu lantas diterbitkan ulang oleh penerbit Kompas dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno, pada 2010.
Dalam artikel itu, Kartowisastro (2010, hal.5) menuliskan, “Juni 1911 Sukarno diterima di E.L.S Mojokerto dan ditempatkan di kelas III, padahal di sekolahnya sendiri dia sudah naik ke kelas IV. Alasannya bahasa Belandanya kurang lancar.”
Pernyataan Herman Kartowisastro di artikel Pemuda Sukarno, Kawan Sekolah dan Kawan Mainku selama 1909-1919 di buku Tragedi Bung Karno (1978)
Untuk diketahui, Herman Kartowisastro (1900-1980) adalah kakak kelas dua tahun di atas Bung Karno di ELS Mojokerto. Keduanya juga indekos bersama di rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh, saat bersama-sama menempuh pendidikan di HBS Surabaya. Herman lulus dari HBS tahun 1919 dan melanjutkan studinya di Belanda, sementara Bung Karno lulus pada 1921. Herman Kartowisastro pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1921, dan menjadi pejabat serta duta besar di era Bung Karno.
“Jadi, pernyataan Bung Karno usianya dimudakan setahun, dari yang aslinya 1901 menjadi 1902 untuk keperluan mendaftar sekolah, telah terkonfirmasi dengan kesaksian Herman Kartowisastro, teman masa kecil dan satu sekolah dan satu kos dengan Bung Karno. Pernyataan tertulis itu ditulis sendiri oleh Herman, diterbitkan dalam buku tahun 1978, dan dicetak ulang tahun 2010,” ujarnya.
Yayan mengatakan, dalam konteks penulisan sejarah seputar kelahiran Bung Karno, dokumen buku induk tersebut merupakan bukti, bahwa benar, untuk tujuan menempuh pendidikan, usia Bung Karno pernah dimudakan setahun. Dari yang sebenarnya 1901, ditulis 1902.
“Para penulis biografi Bung Karno termasuk Bung Karno sendiri, dan kawan satu sekolah, sudah menjelaskannya,” ujar Yayan.
Soerabaia: Kota atau Karesidenan?
Selain tahun lahir, terdapat penafsiran keterangan Soerabaia sebagai geborenplaats (tempat lahir) Bung Karno dalam buku tahunan Technische Hoogeschool te Bandung bukan merujuk pada kota, melainkan karesidenan. Di tahun 1900an awal, Surabaya memang menjadi ibukota karesidenan yang wilayahnya meliputi Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, dan Jombang.
Raden Soekarno. Geboortedatum: 6 Juni1902. Geboorteplaats: Soerabaia
“Untuk mendapatkan pengetahuan yang akurat, kami di Begandring berusaha mendapatkan salinan dokumen buku induk tersebut dari kolega saya, Tjahyana Indra Kusuma. Tak hanya halaman data Bung Karno, namun juga lembaran-lembaran lainnya di buku yang sama,” lanjut Yayan.
Dirinya ingin mengetahui apakah penulisan geborenplaats pada buku induk itu memang mengacu pada ibukota karesidenan atau tidak. Caranya, membandingkan dengan halaman-halaman lain pada buku yang sama.
Hasilnya, keterangan nama kota yang tertulis dalam halaman-halaman lain dalam dokumen tersebut antara lain Malang, Nganjuk, dan Peterongan-Djombang.
Hedrich Von Hiederhold. Geboortedatum: 3 November 1896. Geboorteplaats: Malang.
Court Willem. Geboortedatum: 7 Juni1902. Geboorteplaats: Ngandjoek
Perie Francois Louis Herman Nicolas. Geboortedatum: 13 Juni1902. Geboorteplaats: Peterongan/Djombang
Sumber: Buku Induk ITB 1920-1931 via Tjahyana.
Untuk diketahui, Malang saat itu berada dalam wilayah Karesidenan Pasuruhan, sementara Nganjuk bagian dari Karesidenan Kediri. Adapun Peterongan Jombang, masuk dalam Karesidenan Surabaya. Ada juga data mahasiswa yang lahir di banyak kota-kota lain, yang bukan nama Karesidenan/Ibukota Karesidenan.
“Dari situ kita bisa ketahui, penafsiran bahwa keterangan Soerabaia dalam Buku Induk THB merujuk pada nama Karesidenan/Ibukota Karesidenan tidak tepat. Karena, pada halaman data mahasiswa lain, di Buku Induk yang sama, yang ditulis pada tahun yang persis sama, geborenplaats merujuk pada nama kota/kabupaten secara spesifik,” tegasnya.
Pernyataan dan bukti-bukti yang diajukan Yayan dari sumber yang sama tersebut telah ditampilkan dalam diskusi Menelusuri Jejak Bung Karno di Surabaya: Dari Pustaka Hingga Arsip Negara digelar di basement Balai Pemuda (30/6). Tiga pembicara dihadirkan. Yakni, Yayan Indrayana (Komunitas Begandring Soerabaia), Dr. Samidi (Departemen Ilmu Sejarah FIB Unair), dan Prof. Dr. Mukhlis Paeni (Ketua Dewan Pakar Memori Kolektif Bangsa Arsip Nasional Republik Indonesia).
Dalam diskusi itu, Mukhlis Paeni meneguhkan Surabaya sebagai kota lahir Surabaya.
“Kalau kita tidak menemukan data sejarah, mungkin kita masih bisa pakai katanya, katanya, katanya. Tetapi karena data sejarah dan informasi kesejarahannya sudah lengkap, berhentilah menggunakan katanya, katanya, katanya. Mari kita semua dengan kepala yang dingin dan dada yang lapang mengatakan Sukarno lahir tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya,” tegas Mukhlis Paeni.
Video lengkap kajian publik bisa dilihat di tautan ini (*)
Baca Juga: Ketua Dewan Pakar ANRI, Akademisi, dan Pegiat Sejarah Teguhkan Bung Karno Pancet Arek Suroboyo
**Keterangan ini dapat dibaca di bagian akhir artikel. Keterangan selengkapnya adalah sebagai berikut: “Tulisan ini sebenarnya sudah saya buat dalam tahun 1964, ketika Ny. Cindy Adams yang sedang menyusun memori Bung Karno, datang pada saya untuk minta keterangan, pengalaman dan apa-apa saja yang saya ketahui tentang Bung Karno di masa remajanya di Mojokerto dan Surabaya. Karena dalam memoar itu hanya sedikit saja yang dikutip maka menurut pandangan saya, kini saatnya amat baik untuk menerbitkan karangan saya lebih lengkap, menjelang pula hari lahir Bung Karno pada tanggal 6 Juni.”