Tajuk Rencana: Budi-Pekerti-Pahlawan

Begandring.com-“Bukan kebangsawanan jang menentukan keksatriaan atau kepahlawanan; keksatriaan dan kepahlawanan itu ditentukan oleh budi-pekerti mengabdikan diri-sendiri kepada kebenaran dan kepentingan umum (Soekarno, 1952).”

Nukilan itu berasal dari naskah pidato Selesaikan Jang Ketjil, Hadapi Jang Besar yang diucapkan Presiden Soekarno pada 10 November 1952 bersamaan dengan momen peresmian Tugu Pahlawan. Tepat tujuh tahun setelah peristiwa perang terbesar di Indonesia pasca-proklamasi itu, Bung Karno membabar pandangannya yang ia sebut sebagai budi-pekerti-pahlawan di kota kelahiran dirinya sekaligus rahim dari Hari Pahlawan, yakni Surabaya. Apa sebenarnya budi-pekerti-pahlawan itu? Masih relevankah pandangan itu di era kiwari?

Pidato Presiden Soekarno di Hari Pahlawan 10 November 1952 di Surabaya, sesaat setelah Peresmian Tugu Pahlawan. Sumber: Koleksi Pusat Data Begandring

Aku-untuk-umum

Tidak mudah menyarikan pandangan Bung Karno dalam naskah pidato sepanjang delapan belas halaman itu. Namun, dapatlah dikatakan budi-pekerti-pahlawan merujuk pada tindakan membela, bekerja, berjuang, mengabdi, dan sedia berkorban, yang didasarkan pada kesadaran aku-untuk-umum—frasa yang Bung Karno ciptakan sendiri.

Pandangan sedemikian itu “menunda” pemahaman umum tentang manusia sebagai mahluk individual dengan keinginan pribadi. Alih-alih individu, manusia dipahami sebagai bagian integral dari suatu kolektivitas yang mengemban misi lebih besar: cita-cita bangsa dan negara.

Dalam menyusun pandangannya, Bung Karno mengisahkan kembali fragmen Pertempuran 10 November. Sembari mengutip ultimatum Jenderal Mansergh yang menurutnya “sangat tidak bidjaksana dan sangat menjakiti hati”, yakni meminta rakyat Surabaya menyerah tanpa syarat sembari meletakkan senjata, Bung Karno lugas, “tiap-tiap orang jang berbudi-pekerti-pahlawan…dengan sendjata-sendjata jang amat sederhana dan amat kurang telah mendjawab ultimatum itu dengan perlawanan jang sutji dan ichlas.”

Selebihnya jamak diketahui, pertempuran dahsyat itu menginspirasi kota-kota lain untuk melakukan perlawanan serupa. Besarnya jumlah korban dan pihak yang terlibat berikut makna penting pertempuran itu tertuang dalam Penetapan Pemerintah 1946 No.9/Um tentang Hari Pahlawan 10 Nopember mendjadi Hari Raja Umum Rakjat Indonesia.

Baca Juga  Menanti Revitalisasi Makam Eropa Peneleh. 

Secarik kertas yang ditandatangani Soekarno dan diterbitkan dalam situasi genting saat ibukota pindah sementara ke Yogyakarta itulah yang melegitimasi adanya Hari Pahlawan. Bukan hanya diperingati, namun juga untuk dirayakan.

Meskipun pandangan budi-pekerti-pahlawan disampaikan dalam konteks perayaan perang revolusi yang legendaris, Bung Karno tidak membabar konsep pahlawan semata dalam lingkup militer—betapapun itu penting dan tetap mendapat perhatian terbesar. Spektrum budi-pekerti-pahlawan yang disampaikan Bung Karno lintas-kelas dan profesi.

Alam pahlawan tidak terbatas kepada peperangan atau pertempuran…seorang pegawai jang bekerdja mati-matian itu… Seorang kuli-biasa jang membanting tulang habis-habisan…Seorang djuru-rawat wanita jang membahajakan keselamatan diri-sendiri merawat orang-orang jang sakit tuberculose atau tjajar atau pes paru-paru, dia adalah seorang pahlawan.”

Pemberitaan Peresmian Tugu Pahlawan di Djawa Pos, 12 November 1952. Sumber: Koleksi Pusat Data Begandring

Apabila dicermati, konsep dan figur pahlawan tersebut sesungguhnya amat visioner dan relevan dengan kondisi kekinian, baik dalam tataran teoretis maupun praksis.

Secara teoretis, budi-pekerti-pahlawan ala Bung Karno jauh mendahului teori Taksonomi Pahlawan-nya Philip Zimbardo, seorang profesor ilmu psikologi dari Stanford University, dalam buku Lucifer Effect (2007).

Teori itu memuat dua belas subtipe pahlawan berdasarkan resiko fisik dan sosial. Yakni, pahlawan militer (military duty), pahlawan sipil (civil heroes), pemuka agama (religious figures), politisi-pemuka agama (politico religious figures), martir, pemimpin politik atau militer, ilmuwan, penjelajah/penemu wilayah baru (adventurer/explorer), pahlawan birokrasi, underdog, penolong/dermawan (good samaritan), dan pengungkap-tindak pidana (whistle blowers).

Terlepas dari adanya pro-kontra seputar etika eksperimen dalam penelitiannya, teori Zimbardo termasuk salah satu yang kerap dikutip dalam studi kepahlawanan hingga saat ini.

Apabila budi-pekerti-pahlawan Bung Karno memberi penekanan pada kata bekerja, berjuang, menderita, mengabdi, bahkan mati berdasarkan prinsip aku-untuk-umum, Zimbardo (2011) menyebut tiga karakteristik utama tindakan kepahlawanan. Yakni adanya tingkat bahaya dan pengorbanan, kesediaan terlibat dalam tantangan, dan kemampuan melampaui rasa takut yang besar. Inti kedua pemikiran itu sama: keberanian.

Baca Juga  Abah Khotib dan Impian Pendirian Museum Sunan Ampel

Perbedaannya, pandangan Bung Karno didasarkan pada pengalaman empiris sebagai pelaku sejarah yang ikut mengalami, merasakan, dan menjadi bagian penting dari rangkaian peristiwa penuh bahaya. Sedangkan teori Zimbardo didasarkan dari serangkaian eksperimen panjang serta kajian pustaka.

Dengan beragam peristiwa kejuangan dan kepahlawanan yang pernah terjadi, serta warisan pemikiran dari para founding fathers cum intelektual yang terlibat langsung di dalamnya, sudah saatnya Ibu Kota Hari Pahlawan ini berani menginisiasi suatu formula pembelajaran atau pembinaan tentang nilai kepahlawanan yang bersumber dari sejarah kotanya sendiri.

Tugu Pahlawan saat diresmikan, 10 November 1952. Sumber: Koleksi Pusat Data Begandring

Konteks Kiwari

Secara praksis, budi-pekerti-pahlawan juga relevan untuk membaca situasi saat ini. Suhu kontestasi politik yang menghangat jelang pemilu serentak, misalnya. Isu tentang politik identitas, oligarki, dan nepotisme yang saat ini mengemuka mengindikasikan sesengit apa kontestasi itu akan terjadi. Menginterpretasi, bila perlu secara kritis dan menyeluruh, serta menginternalisasikan konsep budi-pekerti-pahlawan berikut prinsip aku-untuk-umum dapat menjadi bagian dari upaya edukasi publik dan antisipasi ekses penyelenggaraan politik elektoral.

Lebih dari itu, bukankah semangat dan nilai-nilai kepahlawanan sejatinya amat dibutuhkan tiap manusia, baik dalam hal ekonomi, sosial, dan budaya?

Pahlawan adalah sesuatu yang dibentuk melalui proses, bukan terberi atau muncul begitu saja. Maka, pokok perayaan semestinya bukan hanya memperingati dan mengagumi sosok pahlawan-betapapun hal itu tetap wajib dilakukan, melainkan juga bagaimana menciptakan sistem yang mengondisikan seseorang dapat menjadi pahlawan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.

Pada akhirnya, momentum perayaan Hari Pahlawan 10 Nopember akan lebih semarak jika publik tidak terjebak semata-mata pada agenda seremonial, melainkan juga substansial. Konsep budi-pekerti-pahlawan sebagai warisan pemikiran akan lebih bermakna bila dipahami lebih dari sebatas jargon, melainkan suatu upaya menjadikannya sebagai pandangan bersama masyarakat Indonesia, khususnya Surabaya. (*)

Baca Juga  Pameran Surabaya Heroes Virtue: Nyali Mereka yang Jarang Dikenang

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x