Diskusi Perobekan Bendera: Dari Analisis Citra Fotografis hingga Dokumen Intelejen

Begandring.com-Berbagai arsip intelejen, memoar-memoar dari saksi mata, arsip surat kabar hingga citra fotografis, disajikan dan dianalisis kembali oleh Begandring Soerabaia. 

Hari pahlawan 10 November 1945 bukanlah momen satu hari saja, melainkan hasil dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, menjelang peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Begandring Soerabaia mengadakan serangkaian kegiatan. Diawali diskusi dengan tema “Merah Putih Di Langit Surabaya”, pada 27 September 2024 di Lodji Besar.

Momentum perlawanan Surabaya

Ahmad Zaki Yamani menjadi pembicara pada sesi pertama diskusi ini. Dipandu moderator Rojil Bayu Aji (Dosen Sejarah Unesa), Zaki memaparkan rangkaian fakta seputar peristiwa perobekan bendera yang sejatinya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. “Peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje adalah titik awal gemuruh revolusi 1945 di Surabaya” terang Zaki. Beberapa peristiwa di Surabaya, seperti pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Surabaya pada 25 Agustus, pembentukan BKR Surabaya 2 September hingga rapat-rapat besar di Tambak Sari (11 September) dan Pasar Turi (17 September) mendahului peristiwa perobekan bendera.

Poster diskusi Merah Putih di Langit Surabaya. Foto: Begandring.com

“Rangkaian peristiwa itu merupakan realisasi dari kalimat ‘pemindahan kekuasaan dalam tempo sesingkat-singkatnya’ dalam teks Proklamasi.” ujar Zaki, “termasuk Aksi Bendera dalam menyambut sidang KNI Pusat, 29 – 31 Agustus 1945,” tambahnya.

Maklumat pengibaran bendera didengungkan terus menerus sebagai simbol penolakan terhadap kedatangan kembali kolonial Belanda, bahkan pada 1 September 1945 diterbitkan perintah untuk mengibarkan Merah Putih terus-menerus, “Tidak boleh ada bendera lain yang dikibarkan, hanya bendera Merah Putih,” terang Zaki, “jadi peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje merupakan implementasi dari perintah ini.”

Hotel Oranje kemudian menjadi pusat Komite Kontak Sosial yang dibuat oleh para interniran Belanda di Surabaya. Tanggal 18 September, satu unit kecil pasukan operasi khusus diterjunkan di Gunungsari, Surabaya. Mereka adalah unit intelijen bernama Force 136 dari Sekutu yang bertugas memetakan situasi di Surabaya.

Salah satu arsip yang jadi bahan diskusi. Sumber: Begandring.com

Orang-orang interniran yang dipimpin oleh seorang ahli hukum bernama W.V.C Ploegman, mengibarkan bendera Belanda pada 18 September malam agar tak diketahui masyarakat. Mereka berani melakukan hal ini karena personel Force 136 memberi sinyal akan datang pasukan Sekutu dari laut yang akan menduduki Surabaya.

Baca Juga  Aksara Pegon Sambut Hari Santri Nasional.

“Warna biru dari bendera Belanda tak terlihat saat malam. Warna jelas bendera Belanda baru terlihat di pagi hari,” kata Zaki. Sontak informasi pengibaran bendera Belanda pun tersebar. Masyarakat dari berbagai kampung pun mengepung Hotel Oranje, meminta para interniran untuk menurunkan bendera tersebut.

Residen Surabaya, Soedirman datang untuk bernegosiasi yang dibalas penolakan dari Ploegman. Ploegman kemudian menodongkan pistol kearah Residen Soedirman. Cak Sidik, anggota Kesatuan Berani Mati (Jibaku-Tai) yang mahir pencak silat, merespon dengan menendang tangan Ploegman ke atas. Pistol pun meletus, suara tembakan ini menjadi tanda bagi massa di luar untuk merangsek masuk ke dalam Hotel Oranje.

 

Analisis Citra Fotografis peristiwa Perobekan Bendera dalam diskusi. Sumber: Begandring.com

Adu fisik antara interniran dan massa penduduk Surabaya terjadi di dalam hotel, Cak Harjono – anggota Jibaku-Tai yang lain – bergegas menyelamatkan Soedirman ke dalam mobil. Ploegman pun tewas di tangan Cak Sidik, sebelum akhirnya Cak Sidik diserang orang Belanda lain dengan klewang yang menyebabkan Sidik mengalami luka kepala yang menyebabkan ia meninggal dunia.

Harjono pun masuk kembali ke dalam Hotel Oranje, ia naik ke atap, yang kemudian dengan tangga kayu, akhirnya sampai ke tempat tiang bendera berada. Dengan bantuan rekannya, Kusno Wibowo, mereka berdua menurunkan bendera Belanda dan merobek bagian birunya, sehingga dikibarkan kembali menjadi Merah Putih.

Aksi mereka di Hotel Oranje diabadikan dalam runtutan foto Abdul Wahab Saleh. Wartawan foto kantor berita Domei (kemudian Antara) yang juga warga kawasan Pabean Sayangan. Dalam foto terlihat jelas bahwa dinding luar Hotel Oranje masih di-cat hitam, “Jepang menge-cat gedung-gedung di Surabaya dengan warna hitam selama masa pendudukan agar tidak menjadi petunjuk arah bagi pesawat-pesawat Sekutu” jelas Zaki.

Peristiwa-peristiwa besar pun berlanjut setelah perobekan bendera di Hotel Oranje, seperti perebutan persenjataan dari militer Jepang di banyak titik, Resolusi Jihad, kedatangan tentara Inggris dan akhirnya rentetan pertempuran di kota Surabaya yang berlangsung hingga Desember 1945.

Sosok Abdul Wahab Saleh. Tanpa hasil jepretannya, dokumentasi peristiwa Perobekan Bendera mungkin tidak pernah ada. Sumber: Begandring.com

Baca Juga  Begandring Soerabaia Terima Penghargaan Dari Wali Kota Surabaya Dalam HUT RI ke 78

Pikiran sama, gerak bersama

Setelah Ahmad Zaki Yamani membedah aksi-aksi dan maklumat sebelum dan saat peristiwa perobekan bendera, Kuncarsono Prasetyo menjadi narasumber pada sesi kedua. Dalam sesi ini, Kuncar – panggilan akrab Kuncarsono – akan mengupas latar belakang ideologis dari para pelaku perobekan bendera Hotel Oranje dan bagaimana massa bisa dikerahkan dengan baik. “Massa yang mengepung Hotel Oranje bukan gerombolan liar, itu adalah massa yang terorganisir. Ada banyak tokoh dari satu haluan di tempat yang sama, di sekitar Hotel Oranje,” jelas Kuncar.

“Massa mulai mengepung hotel Oranje jam 9 pagi, butuh empat jam setelah bendera Belanda ketahuan untuk ber-konsolidasi, mereka tidak tiba-tiba mengepung.” terang Kuncar kemudian. Pengorganisasian aktivis-aktivis di Surabaya ternyata bukan dibuat dalam waktu mingguan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Konsolidasi di berbagai wilayah di Surabaya sudah dimulai kurang lebih lima tahun sebelumnya, di saat Hindia Belanda mulai bersiaga menghadapi invasi Jepang.

Bentuk konsolidasi para aktivis pejuang di Surabaya bisa dilacak dari beberapa figur yang naik ke atap tiang bendera Hotel Oranje, antara lain Kusno Wibowo dan Noer Sidik (beda dengan Sidik anggota Jibaku-Tai). Mereka berdua adalah anggota sel jaringan pergerakan bawah tanah yang dibangun oleh Amir Sjarifuddin, tokoh berideologi sosialis, semasa pendudukan Jepang.

Amir memiliki organisasi GERAF (Gerakan Rakyat Anti Fasis) dan membangun jaringan bawah tanah di Surabaya sejak 1941. Sjarifuddin melakukan kontak pertama dengan Pamoedji (kemudian Residen Surabaya) untuk bertemu Atmaji ( kemudian menjadi salah satu perintis TNI-AL).

“Atmaji dipilih karena tokoh pemberontakan Zeven Provincen dan memiliki jaringan luas” jelas Kuncar. Atmaji pun menjadi subordinat Amir dalam membangun sel-sel gerakan bawah tanah di Surabaya.

Ketika Amir Sjarifuddin ditangkap Jepang pada tahun 1943, pengawasan jaringan Surabaya ditangani Djohan Sahroezah, yang selama ini membantu Amir membangun jaringan di banyak kota. Djohan sendiri akhirnya bekerja di BPM Wonokromo (Pertamina MOR V sekarang) dan membangun jaringan gerakan buruh minyak disana, yang didalamnya ada Soemarsono dan Des Alwi. Soemarsono lalu memperluas jaringan bawah tanah ini dengan membangun sel-sel di buruh-buruh pabrik lain dan pegawai pemerintahan.

Soemarsono memiliki basis di kawasan Maspati, “Di masa ini Soemarsono berhasil membangun 30 sel jaringan, yang siap digerakkan untuk merebut kekuasaan dari  Jepang.” kata Kuncar.

Baca Juga  Giatkan Profil Pelajar Pancasila, SMA Kr. Masa Depan Cerah Gelar Pagelaran Budaya

Noer Sidik dan Kusno Wibowo adalah anggota dalam salah satu dari 30 sel jaringan ini. Bahkan pada Maret 1945, markas jaringan Soemarsono, berpindah dari Maspati ke rumah Noer Sidik di jalan Kebangsren III. “Aktivitas para tokoh dalam jaringan yang dibangun Djohan, Atmaji dan Soemarsono memperlihatkan jaringan bawah tanah Amir tetap bergerak meski Amir dipenjara Jepang.” ujar Kuncar.

Pada pagi tanggal 19 September 1945, jaringan Soemarsono berkumpul di rumah kontrkannya di jalan Peneleh VII, termasuk diantaranya Kusno Wibowo. Tiba-tiba tersiar kabar bahwa bendera Belanda dikibarkan di Hotel Oranje. Soemarsono dan seorang kawan satu jaringan bernama Ruslan Widjasastra, pergi bersepeda berkeliling mengontak sel-sel jaringannya.

Noer Sidik, yang mendengar kabar dari jaringannya, langsung keluar dari rumahnya dan berkonsolidasi bersama kawan-kawan jaringan yang lain, seperti Kusno Wibowo, di ujung jalan Embong Malang (dekat Toko Nam) yang kemudian bergerak ke Hotel Oranje. “Para anggota jaringan bersama tokoh-tokoh dan massa yang mengikuti mereka datang, karena sikap bersama jaringan ini. Mereka semua solid bergerak bersama.” kata Kuncar.

Menurut Kuncar keberhasilan pengorganisasian masyarakat di peristiwa perobekan bendera Hotel Oranje hingga Pertempuran Surabaya terjadi karena adanya satu sikap antara kekuatan politik di Surabaya.

Bagaimana bisa kesatuan sikap ini terbangun diantara kekuatan-kekuatan yang berbeda ideologi ini ? “Itulah peran jaringan bawah tanah Amir Sjarifuddin dan Djohan Sjahroezah, jaringan mereka menjadi kekuatan politik perlawanan yang dominan di Surabaya, sehingga mempengaruhi kekuatan politik lain yang justru memiliki ideologi yang berbeda,” tegas Kuncar.

Beberapa peserta diskusi Merah Putih di Langit Surabaya. Banyak anak muda dari kalangan mahasiswa Unair dan Unesa turut meramaikan diskusi. Foto: Begandring.com

Jaringan Amir Sjarifuddin (yang kemudian sempat menjadi Perdana Menteri RI) dan Djohan Sjahroezah menjadi hegemoni politik yang tak hanya melakukan konsolidasi kedalam dengan anggota-anggota seperti Kusno Wibowo dan Noer Sidik, tapi juga konsolidasi ke luar dengan jaringan lain. Sikap perlawanan tanpa kompromi yang menjadi ikon perjuangan kemerdekaan di Surabaya hingga saat ini, ternyata dibangun dari jejaring gerakan bawah tanah yang sangat terorganisir (*).

 

 

*M. Firman.Pemerhati sejarah dan budaya.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x