PUNDEN BUYUT JATI TETENGER CIKAL BAKAL KAMPUNG WIYUNG
Oleh : “Om” TP Wijoyo.
BERCERITA SURABAYA, Secara administrasi “Wiyung” merupakan sebuah Kecamatan di Kota Surabaya, yang terdiri dari 4 (empat) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Babatan, Kelurahan Balasklumprik, Kelurahan Jajar Tunggal, dan Kelurahan Wiyung. Setidaknya keberadaan kawasan Wiyung sudah tergambar pada peta lama tahun 1892 dan 1915. Pada peta lama tersebut teridentifikasi sebelah selatan Wiyung saat itu merupakan kawasan basah, berair semacam rawa dan pertanian. Namun kini kawasan tersebut sudah banyak digunakan sebagai pemukiman, terutama banyak bermunculan perumahan baru di kawasan itu.
Pada peta lama tersebut ada 2 nama terkait “Wiyung”, yaitu : Karangan Wioeng (baca : Wiyung) dan Wioeng (Wiyung). Hingga kini kedua nama tersebut masih ada. Di dalam Kampung Wiyung terdapat sebuah “Punden” yang dikeramatkan masyarakat sekitar. Lokasi Punden berada di sebuah pemakaman umum kampung, yang secara administrasi terletak di Wiyung IV Gang Tengah, Kelurahan Wiyung, Kecamatan Wiyung, Kota Surabaya.
Masyarakat sekitar menyebutnya dengan “Punden Buyut Jati” atau juga disebut “Ki Ageng Selo”. Menurut pitutur masyarakat sekitar, sosik Mbah Buyut Jati / Ki Ageng Selo diyakini sebagai tokoh penyebar agama Islam di wilayah tersebut. Ada versi lain yang menyebut bahwa nama lain Ki Ageng Selo adalah “Syeikh Abdurrochman”. Tapi sepertinya kedua nama itu muncul belakangan. Sedangkan masyarakat lebih mengenalnya dengan “Punden Mbah Buyut Jati”. Dikarenakan menurut pitutur tokoh masyarakat Wiyung, dulu di sekitar Punden itu terdapat sebuah Pohon Jati yang sangat tua dan dikeramatkan. Dan di area sekitar Punden terdapat Bata Kuno berukuran besar, dan juga benda-benda peninggalan purbakala lainnya seperti Batu Lumpang dan Batu Pipisan.
Keberadaan Bata Kuno yang berukuran besar masih bisa dijumpai di dalam Cungkup Punden Mbah Buyut Jati. Bahkan menurut pitutur Juru Kunci Punden, dulu banyak Bata Kuno berukuran besar di area tersebut. Namun sayangnya banyak yang diambil dan kini tinggal sedikit keberadaannya.
Di dalam cungkup Punden Mbah Buyut Jati, terdapat satu buah makam panjang, terpagar teralis besi, dan kondisi makam sudah direnovasi dengan baik.
Di dalam kijingan makam terdapat kekunoan berupa fragmen Bata Kuno. Sementara di area luar cungkup makam juga terdapat beberapa kekunoan seperti fragmen Batu Lumpang, Batu Pipisan dan beberapa fragmen Bata Kuno yang tersebar di area Makam Umum.
Terkait toponimi nama “Wiyung”, ada yang berpendapat, bahwa nama “Wiyung” berasal dari kata “Dewi” dan “Wuyung”, yang memiliki makna arti Dewi yang dicintai.
Jadi terdapat sebuah cerita dongeng bahwa pada zaman dahulu di sebuah desa yang masih berupa rawa-rawa, tinggalah seorang pemuda dari desa itu, yang dikenal sebagai pemuda yang rajin bekerja. Pemuda itu bernama “Ki Sukmo Jati”. Pemuda itu jatuh cinta (kasmaran) pada seorang gadis cantik berparas jelita yang bernama “Dewi Sekar Arum”. Tapi sangat disesalkan, kisah cinta mereka tidak sebahagia yang mereka harapkan. Hal itu disebabkan karena ada orang ketiga yang tidak ingin hubungan mereka bersatu. Banyak orang memberi sebutan kepada orang ketiga dengan sebutan “Lempung” (tanah becek yang pekat).
Singkat cerita, kisah cinta Ki Sulmo Jati dan Dewi Sekar Arum tidak bisa berjalan dengan baik. Lama kelamaan sang Dewi jatuh sakit dan meninggal dunia. Sedangkan Ki Sukmo Jati hanya bisa meratapi kepergian kekasihnya itu. Dalam keadaan sakit, Ki Sukmo Jati memikirkan Sang Dewi. Akhirnya Ki Sukmo Jati yang kelak disebut “Mbah Sukmo Jati” menamakan desa itu dengan nama ” WIYUNG” yang diambil dari dua kata yakni “Dewi” dan “Wuyung”. Arti kata Wiyung adalah Dewi yang dikasmarani atau Dewi yang dicintai. Itulah singkat cerita asal usul nama Wiyung.
Namun saya pribadi mencoba mencari dasar lain dari toponimi “Wiyung”, yang saya duga berasal dari nama Tumbuhan, yaitu “Pohon Wiyu”. Berdasarkan toponimi, saya menduga dulunya di wilayah tersebut banyak tumbuh Pohon Wiyu, sehingga menjadi tetenger atau penanda wilayah bagi warga sekitar. Pohon Wiyu atau Wiu bernama latin “Garuga floribunda”, merupakan tumbuhan Indonesia. Menurut Karel Heyne tumbuhan ini disebut juga “Kayu Kambing”, dan juga disebut “kĕtul dan tul”.
Wiu (Wiyu) merupakan tumbuhan yang tingginya bisa mencapai 45 meter, dan di referensi lain menyebut bahwa tumbuhan ini memang berukuran sedang dan bertinggi antara 30 hingga 40 meter. Daunnya ini berbentuk spiral, dan berdaun sewaktu di ujung percabangan. Sekilas Pohon Wiyu mirip dengan Pohon Jati. Maka itu menurut pitutur masyarakat sekitar dulu terdapat Pohon Jati tua,nyang akhirnya merujuk pada penamaan “Mbah Buyut Jati”.
Jadi toponimi Wiyung berasal dari nama Pohon “Wiyu dan ditambahi akhiran -ng, itu menunjukkan keberadaan dan bentuk jamak (dari Pohon Wiyu yang banyak tumbuh di wilayah tersebut). Hal ini dibuktikan pada peta 1915 terdapat nama “Karanganwioeng”, yang bermakna pekarangan yang banyak tumbuh Pohon Wiyu. Dikarenakan banyak, akhirnya membentuk suatu sebutan, Wiyung yang artinya pohon wiyu yang banyak. Di daerah Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Pacet, terdapat nama Desa Wiyu, yang berasal dari tetenger “Pohon Wiyu”. Kemudian di daerah Dusun Genting, Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Mojokerto juga terdapat Makam Keramat yang dinamai “Makam Mbah Wiyu” karena makam tersebut berada di bawah pohon Wiyu.