Desak Wali Kota segera Ganti Nama Alun-Alun Surabaya

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi harus segera merespons suara publik terkait kontroversi keberadaan Alun-Alun Surabaya di Kompleks Balai Pemuda. Hal itu dibutuhkan agar isu ini tidak jadi bola liar yang justru akan merugikan Pemerintah Kota Surabaya.

Hal itu ditegaskan Wakil Ketua DPRD Surabaya A Hermas Thony MSi kepada Begandring.com, Kamis (20/1/2022). “Reaksi publik sudah jelas. Termasuk rekomendasi Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur yang minta agar nama Alun-Alun Surabaya diganti dengan nama yang lebih sesuai dan ramah kearifan lokal (local wisdom friendly),” jelas Thony.

Thony mengatakan, sejak awal dia tidak sepakat kalau Alun-Alun. Karedna menyebut penamaan kompleks bangunan yang dulu bernama Balai Pemuda kini beralih menjadi Alun-Alun Surabaya itu ahistoris.

“Saya sampai bertanya-tanya, pertimbangan dari mana sehingga saat itu dipakai nama Alun-Alun Surabaya. Untuk itu, saya mendorong Wali Kota Eri Cahyadi untuk meluruskan. Karena wali kota saat itu mendapat rekomendasi dari orang yang kurang tepat,” ujar Thony.

Kata dia, Balai Pemuda sebagai bangunan cagar budaya itu menyimpan sejarah panjang. Nama Balai Pemuda pertama kali disematkan sejak 1957. Namun jauh sebelum itu, kompleks gedung yang dibangun pada 1907 tersebut, sempat dikuasai para pemuda Surabaya, dipakai untuk berperang melawan penjajah.

“Sewaktu melihat papan nama Alun-alun Surabaya sudah terpasang di kompleks Balai Pemuda. Saya sempat gumun (heran). Sampai pada saat berkendara saya reflek berhenti di depannya. Dalam benak saya bertanya, yang mengusulkan nama Balai Pemuda berubah jadi Alun-Alun Surabaya itu dulu dukun dari mana, kok bisa sehebat itu mengubah sejarah,” kata Thony

“Sebab awalnya saya mengira, rencana pemkot era Tri Rismaharini membuat Alun-Alun Surabaya di seberang Balai Pemuda, yang status lahannya masih dalam sengketa,” imbuh dia.

Baca Juga  Jejak Alun-Alun Surabaya di Krembangan

Thony melanjutkan, kasus pengaburan sejarah yang mencuat akibat penggunaan nama Alun-Alun Surabaya di kompleks Balai Pemuda adalah bentuk kontradiksi terhadap nilai-nilai lokal yang ada. Bertentangan dengan upaya pelestarian dan pemajuan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan.

Berkaitan hal itu, Thony menyatakan perlu ada regulasi yang jelas dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam objek-objek pemajuan kebudayaan. Ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang RI Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Ia mengungkapkan, saat ini DPRD Surabaya sedang menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya. Tujuannya adalah melestarikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebudayaan, kejuangan dan kepahlawanan di Surabaya.

“Jika selama ini publik bersuara hingga berbusa-busa namun tidak ada hasilnya, maka melalui peraturan perundang-undangan akan ada upaya pelurusan sebagaimana mestinya,” beber dia.

Hal senada disampaikan Imam Syafi’i SH MH. anggota Komisi A DPRD Surabaya. Politisi Nasdem itu juuga tidak setuju dengan nama Alun-Alun Surabaya.

“Nama Alun Alun Surabaya di Komplek Balai Pemuda itu sangat berpotensi membuat publik tidak mengenal nama awalnya,” tandas pria yang pernah menjabat sebagai redaktur koran Jawa Pos dan pemimpin redaksi JTV itu.

Keprihatinan Akademisi

Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, berpendapat jika nama Alun-Alun Surabaya bukan hanya problematik secara konsep “alun-alun” sebagai public space dan public sphere, melainkan juga nama “Surabaya”.

“Mengajukan keberatan bukan berarti tidak kooperatif atau menolak keniscayaan zaman. Sebaliknya, dibutuhkan konsep yang matang dan mendalam agar alun-alun tidak kehilangan makna pentingnya sebagai ruang filosofis sekaligus ruang publik yang menjalankan fungsi kritis dan menghadirkan memori yangg sudah lama terekam di wilayahnya, yaitu perjuangan pemuda,” tambah pria yang meraih penghargaan dalam Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021.

Baca Juga  Peneleh Studieclub (2023) Penerus Soerabaiasche Studieclub (1924). 

Sementara Adrian Perkasa, sejarawan Unair yang saat ini tengah menempuh gelar S3 di Universitas Leiden, Belanda, meminta agar nama Balai Pemuda tetap digunakan untuk menamai kawasan yang bersejarah.

“Sebetulnya ketika proyek revitalisasi Balai Pemuda sedang berlangsung dan proses penamaan sedang dicari, saya sudah mengkritisi bahwa nama Alun-Alun Surabaya untuk kompleka Balai Pemuda tidak cocok. Yang cocok adalah dengan menggunakan nama Balai Pemuda,” tutur Adrian. (*)

 

Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior dan ketua Begandring Soerabaia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *