Ada kuburan aneh. Lokasinya di kompleks Makam Belanda Peneleh, Surabaya. Kuburan siapakah itu?
Secara fisik kuburannya di kerangkeng oleh pagar besi cor tanpa pintu. Berwarna hitam bermotif gotic seperti aksentuasi gereja tua.
Nisannya besar terbuat dari besi cor dengan susunan huruf-huruf terinskripsi yang terbuat dari cor. Posisinya terlentang menghadap ke langit. Istimewa. Seistimewa orang yang meninggal.
Inskripsinya menggunakan bahasa Belanda. Jika diterjemahkan berbunyi “Paduka Mr. Pieter Merkus, komandan orde Nederlandsche Leeuw, Ksatria Legiun Kehormatan Perancis, Gubernur Jendral Hindia Belanda, Panglima Angkatan Darat dan Angkatan Laut di sebelah timur Tanjung Harapan dan seterusnya, wafat di rumah Simpang tanggal 2 Agustus 1844”
Inilah kuburan tokoh paling penting di Hindia Belanda (Indonesia), Yakni, Gubernur Jenderal Pieter Merkus. Jabatan kelas presiden di negara koloni Nederlands.
Pada nisan tertulis dengan jelas bahwa Pieter Merkus wafat tahun 1844. Sementara, makam Belanda Peneleh ini dibuka tanggal 1 Desember 1847 (G.H. Von Faber: Oud Soerabaia).
Ada selang waktu selama 3 tahun antara kematian Merkus (1844) dan dibukanya pemakaman ini (1847).
Kok bisa?
Pembukaan Makam
Dibukanya Makam Belanda Peneleh ini memang tak luput dari sejarah keberadaan makam-makam Belanda sebelumnya di Kota Lama Surabaya.
Kota lama Soerabaia, yang biasa disebut Benedenstad, adalah kota Belanda yang pernah dipagari oleh tembok. Batas batas ini meliputi: bagian selatan membujur Jalan Romachekatolik Kerk (Jalan Cendrawasih dan Jalan Merak).
Batas barat Oost Krembangan straat (Jalan Krembangan Timur sampai Jalan Elang). Batas utara School straat atau Bank straat (Jalan Garuda). Dan batas timur adalah batas alamiah, yaitu Kalimas.
Awalnya, ketika ada yang meninggal di Kampung Eropa ini, jasadnya dimakamkan di sekitar tempat tinggal atau di sekitar gereja. Gereja Protestan pertama di Benedenstad Soerabaia di bagian ujung gedung international, yakni di Jalan Rajawali, Surabaya.
Namun pada 25 Januari 1793, di era VOC, kepala makam mengumumkan penutupan makam area Gereja. Menurut buku Oud Soerabaia, pemakaman baru di Krembangan di buka di luar batas tembok kota. Lokasinya di luar batas tembok sisi barat.
Saat ini, di bekas lokasi makam, telah berdiri menara PDAM. Tidak ada makam sama sekali. Kecuali menyisahkan nama jalan yang diberi nama Jalan Krembangan Makam.
Setelah 40 tahun (1833), Makam Krembangan penuh karena setiap kuburan berlomba lomba menunjukkan kemewahan dan sosial status. Karenanya setiap kuburan memakan lahan yang luas.
Karenanya, Majelis Gereja pada tahun 1835, meminta kepada Residen Soerabaia mencari lahan baru. Lantas ditawarkanlah lahan di Kupang yang memang merupakan area pemakaman. Pemakaian China.
Sayang lokasi ini dirasa terlalu jauh dari kota, terutama ada kesulitan dalam hal transportasi. Akibatnya rencana itu berhenti dan makam di Krembangan terus dipaksakan untuk menampung orang mati.
Pada 1839, lahan Krembangan benar-benar tidak bisa digunakan. Namun tetap saja dipaksa hingga 1846.
Pada 26 Februari 1846, pemerintah menyediakan dana 10.000 gulden untuk membuka lahan baru, sebagai pengganti pemakaman Krembangan. Akhirnya didapatlah lahan pemakaman di Peneleh yang sekarang dinamakan Makam Belanda Peneleh.
Karena lahan Makam Belanda Peneleh masih terdapat cekungan-cekungan tanah, maka dibutuhkan dana untuk pengurukan lahan dan pembuatan pembuangan air serta pembangunan akses jalan. Yaitu, jalan yang menghubungkan sungai dan lokasi pemakaman.
Kemudian pada bulan Agustus 1847 lahan telah siap dan tepat pada 1 Desember 1847 pemakaman Eropa di Peneleh dibuka.
Sejak itu, banyak makam orang penting dipindah dari Krembangan ke Peneleh. Salah satunya adalah jasad Gubernur Jendral Pieter Merkus, yang meninggal tahun 1844.
Tapi Merkus tidak dimakamkan di Krembangan. Lantas di manakah selama ini Pieter Merkus dimakamkan?
Menurut informasi koran Indisch Courant yang terbit pada 21 Agustus 1844 bahwa Pieter Merkus, yang wafat di Huiz van Simpang (sekarang Grahadi) pada 2 Agustus 1844, selama ini dimakamkan di kompleks Benteng (Citadel) Surabaya pada 5 Agustus.
Dia dimakamkan tiga hari setelah kematian. Dia dimakamkan di lingkungan Citadel, yaitu di kawasan Benteng Prins Hendrik dekat Jembatan Petekan.
Karena, di desa Peneleh telah dibuka kompleks pemakaman baru pada 1 Desember 1847, maka petinggi ini dipindah ke Penelah.
Maka jelaslah bahwa Pieter Merkus, yang meninggal tahun 1844, kemudian dimakamkan di Makam Belanda Peneleh pada 1847 setelah pembukaan makam ini.
Resident Pietermaat
Selain Pieter Merkus, ada nama pejabat pemerintah Hindia Belanda yang bertugas di Surabaya, sebagai Residen Surabaya. Namanya Daniel Francois Willem Pietermaat.
Ia menjabat sebagai Residen Surabaya pada periode 1839-1848 dan meninggal pada 1848.
Menurut GH von Faber dalam buku Oud Soerabaia, selama menjabat hampir 10 tahun Pietermaat mengeluarkan banyak kebijakan yang menyelamatkan nasib pribumi. Hal yang tidak populer di mata pemerintah kolonial.
Selain itu, dia tercatat berhasil menghapuskan sistem penyetoran wajib tenaga kerja untuk membangun proyek pertahanan. Kerja rodi di Surabaya dilarang di zamannya.
Ada lagi catatan penting ketika ia menjabat sebagai residen. Ia bersama Gubernur Jenderal Jan Jacob Ruchussen dan Bupati Kromodjoyodirono mendirikan masjid Raudhatul Musyawarah atau Masjid Kemayoran pada 1844 -1848 M atau 1772-1776 tahun Jawa.
Hingga sekarang, sebuah prasasti beraksara Jawa yang menandai pembangunan masih tertempel di dinding dalam masjid.
Dalam perayaan 25 tahun perkawinannya pada 28 Oktober 1848, sebelum kematiannya, secara terbuka dia berterima kasih setelah menerima vas perak yang indah. Empat minggu kemudian, 30 November 1848, dia meninggal dalam usia 58 tahun.
Posisi makam Pietermaat cukup spesial karena berdiri di salah satu lorong jalan makam.
Sayangnya, sekarang makam Pietermaat di Makam Belanda Peneleh kondisinya rusak parah. Pagar kelilingnya hancur. Marmer prasasti di makam raib. Padahal 2010 lalu, marmer tetenger itu masih tertempel utuh.
Kiranya perlu melakukan sesuatu untuk menjadikan Makam Belanda Peneleh sebagai media edukasi sejarah di Kota Surabaya. Juga untuk mendukung sektor pariwisata yang berbasis sejarah. (nanang purwono)
Apakah ada dana dari Pemerintah untuk merawat komplek makam peneleh?