Banjir Jadi Momok, Perusahaan Trem Uap Pertama di Indonesia Pusing Atasinya

Begandring – Banjir adalah sesuatu hal yang bisa dikatakan lumrah terjadi di Indonesia ketika musim penghujan tiba. Hampir semua aspek dalam kehidupan sehari – hari dapat terhambat oleh banjir.

Dari aktivitas pekerjaan yang terganggu, stabilitas ekonomi goyah, penyebaran bibit penyakit hingga mampu mematikan sektor layanan transportasi umum.

Terlepas dari hebatnya visi Belanda dalam membangun infrastruktur pada masa kolonial dulu, kekuatan alam adalah sesuatu hal yang sukar dibendung.

Dalam beberapa kasus banjir terkait kereta api, dahsyatnya luapan banjir bandang bahkan sukses menghancurkan beberapa jalur kereta api.

Contoh kasusnya dapat ditemukan pada kejadian erupsi gunung berapi. Muntahan erupsi gunung Kelud dengan derasnya mengalir via Kali Konto yang menyapu lintasan milik KSM (Kediri Stoomtram Maatschappij) antara Halte Konto dan Stasiun Kandangan tahun 1901 dan imbasnya jalur ini dimatikan kemudian.

Kemudian pada jembatan Kali Mujur di jalur Lumajang – Pasirian pernah terseret hingga roboh akibat terjangan banjir lahar dingin gunung Semeru pada awal dekade 1900.

Yang tragis adalah bagaimana hantaman aliran banjir lahar dingin gunung Merapi mampu menamatkan riwayat jalur KA Yogyakarta – Magelang semasa PJKA. Padahal di era NIS dahulu, jalur ini dipertahankan mati-matian meski realita kerusakan besar berulang pernah mereka alami.

Lantas bagaimana dengan jalur kereta lain yang jauh dari gunung berapi?

Di kawasan pesisir utara Jawa Timur seperti Surabaya, sekali tercatat jika perusahaan OJS (Oost-Java Stoomtram) memilih menutup aktivitasnya beberapa hari selama banjir imbas jebolnya tanggul Kali Porong.

Bergeser ke Jawa Tengah. Nampaknya perusahaan SJS (Semarang – Joana Stoomtram) adalah perusahaan KA yang akrab dengan musibah banjir, lebih-lebih jika banjir tersebut bersifat tahunan.

Baca Juga  Surabaya, Rotterdam nya Jawa. 
Foto: Rangkaian trem SJS membelah banjir di sekitar Juwana,
repro “Gedenkboek 25th SJS; Tramwegen Op Java, 1907”.

Laporan hambatan pertama karena genangan banjir terjadi pada tahun 1883 ketika proyek pengerjaan jalur ke arah timur Semarang (Genuk – Demak) dilakukan. Ketinggian genangan air di jalan dicatatkan mencapai 10 sampai 20 cm.

Ada harapan bahwasanya banjir bisa diminimalisir ketika proyek “Demak Waterwerken” yang digarap pemerintah melalui BOW (Dinas PU-nya pemerintah koloni) selesai. Sayang hal demikian sepenuhnya dilihat tak berguna.

Perkembangan banjir malah makin parah tahun 1885, laporan perusahaan tahun itu mencatat terkadang genangan air sudah naik pada ketinggian 40 – 50 cm di atas rel.

Tahun 1888 SJS mengungkap perihal banjir yang berulang tiap tahunnya akibat jebolnya tanggul sungai Serang yang menyebabkan tutupnya layanan operasi di jalur Guyangan – Juwana selama 6 hari pada bulan Januari tahun itu. Hal ini sesuai prediksi beberapa tahun sebelumnya dari Kepala Departemen Konstruksi SJS yang menjadi kenyataan.

Maju ke dekade selanjutnya, pada 1899 bencana banjir berulang dengan menutup akses pada ruas jalur antara Godong – Purwodadi. Kali ini kereta dari Demak hanya diijinkan sampai Penawangan saja, walau ada usaha menerobos beratnya hadangan banjir dengan kekuatan traksi ganda dengan 2 lokomotif, tetapi usaha tersebut gagal karena gangguan teknis pada lokomotif.

Memang usaha traksi ganda adalah langkah paling terbaik dari perusahaan dan selalu dilakukan seterusnya untuk bagaimana layanan tetap berjalan ketika banjir tidak berdampak serius merusak lintasan. Mungkin saat itu mereka sedang tidak beruntung. Pola kejadian berulang tetap ada di awal – awal dekade 1900.

Laporan banjir menarik lainnya ditemukan dari laporan perusahaan tahun 1920. Dalam “Verslag” tersebut tertulis jika luapan air dari kali Menangen beberapa waktu sering membanjiri ruas jalur Menangen – Sayung di petak lintas antara Semarang – Demak.

Baca Juga  Suroboyo Wani dan Curabhaya

Halaman selanjutnya mencatat banjir beberapa kali merendam jalur di Lekok, Purwodadi, berakibat jalur tersebut rusak parah. Pada saat bersamaan, emplasemen St. Purwodadi dan jalur – jalur yang terhubung pun didera banjir berskala besar.

Penanganan untuk menghadapi dampak banjir selalu dikerjakan SJS secara kontinyu, seperti peninggian dan pelebaran railbed pada titik – titik rawan banjir serta penyesuaian konstruksi jembatan.

Pada sebuah ulasan “65 tahun SJS” di tahun 1947, sang penulis menutup jika kelangsungan perusahaan ini tidaklah selalu mudah karena banjir dari luapan sungai Serang dan Lusi yang sering menerpa tiap tahunnya.

Diluar serangan terhadap teknis perjalanan KA, imbas banjir secara tidak langsung juga cukup merugikan bagi hidup perusahaan-perusahaan kereta api. Menurunnya kemampuan finansial penduduk lokal akibat gagal panen karena sawahnya terendam banjir juga menurunkan minat mereka menggunakan jasa kereta api.

Penulis: Navy Pattirahu, Pegiat Sejarah Perkretaapian

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *