Danyang Peneleh Menyelamatkan Oerip

Pasca pertempuran Surabaya sekitar bulan Januari 1946 di Jombang, Wakil Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat Jawa Timur Hario Kecik sedang beristirahat disebuah warung, karena baru datang maka beliau mengambil posisi duduk yang agak jauh dari para pelanggan sebelumnya, saat itu ada seorang pemuda yang menceritakan pengalamannya selama pertempuran Surabaya.

Mayor Haryo Kecik, sekitar tahun 1950 – 1951. Sumber : Detikcom

Perawakan pemuda itu kerempeng, tubuhnya lebih pendek dari senapan Arisaka berbayonet yang sedang ia bawa, ditambah pistol Luger di dalam holster yang menggantung dipinggangnya menambah kesan besar di pemuda kecil itu, ia kelihatan lebih tua dari pada pemuda-pemuda yang lain, namun lamat-lamat beliau ingat bahwa pemuda itu bernama Oerip arek Plampitan Gang 3 teman lamanya saat kecil sebelum pindah ke tempat lain, Hario Kecik ingat bahwa ia sering bermain bersama dan telinganya agak tuli karena sakit, “Iki lak Oerip!” guman Wadan PTKR Jawa Timur saat itu.

“Bung mau percaya apa tidak, jika saya cerita apa yang pernah saya alami, di waktu pertempuran Surabaya ?” tiba-tiba Oerip melontarkan pertanyaan kepada Hario Kecil sambil memandang, mereka berdua saling beradu mata, tiba-tiba Oerip bersuara keras sambil berkata “Wah, jancuk!!. Su, Bei Penthol!!, hampir lupa saya!. Koen Opsir yo, aduh rek sombong!!, aku sik kerucuk ae!” dengan “makian” itu Oerip mendekat dan memeluk Hario Kecik erat-erat, rupanya Oerip ingat dengan teman masa kecilnya itu, “Jancuk! Wes ojok kesuwen!, ayo kebatan ndongengo Rip, aku percoyo-percoyo!!” timpal Hario Kecik.

Oerip lalu bercerita, begini :

Pada malam ketujuh saat pertempuran Surabaya, saya berada seorang diri di pos pertahanan kampung Pandean Peneleh. Pertahanan dua kampung itu seperti yang kita tahu, bergandengan dengan pertahanan kampung Plampitan. Di antara dua pertahanan kampung itu ada kuburan Belanda (Makam Eropa Peneleh) yang sangat luas.

Baca Juga  Jalan Gemblongan

Dari jauh terdengar tembakan mitraliur berat Inggris dan tembakan senapan serta Keiki (Keikikanju, senapan mesin ringan Jepang) dari arek-arek. Letusan granat tangan kedengaran. Kedudukan Inggris di Semut sedang diganggu. Langit di arah itu merah, sudah tiga hari pabrik gas itu terbakar. Saya merasa sangat lelah, padahal hari itu pesawat-pesawat Inggris tambah mengganas. Saya sangat ngantuk, teman-teman tidak kunjung datang karena mereka pergi mencari makan, salah satu dari mereka punya Budhe di Peneleh tidak jauh dari tempat saya. Tapi mereka kok belum datang juga ? “Oww, arek-arek mangan disik bek’e, Jancuuuk!!” pikirku. Saya hampir-hampir tidak bisa menahan kantuk. Tembakan yang kedengarannya ramai di seberang sungai di sekitar Kramat Gantung tidak jauh dari tempat saya, memaksa saya tetap membuka mata, harus waspada terhadap musuh yang datang dari Kalianyar.

Ilustrasi kisah Oerip yang diperkirakan terjadi pada 17 November 1945 malam hari.

Rupanya saya toh tertidur, namun saat itu saya seperti berada di tengah-tengah orang banyak.  Aneh, orang-orang itu berbicara dalam bahasa yang saya tidak mengerti. Kalau saya tidur berati saya mimpi, tapi semua rasanya seperti nyata, saya mulai takut.

Orang-orang aneh itu mendorong saya untuk meninggalkan stelling. Saya terpaksa mengikuti kemauan mereka. Saya disorong terus sampai pertigaan jalan Peneleh Kerkhoflaan di depan Hotel Slamet. Di situ saya hampir ditubruk oleh dua teman saya yang kembali dari mencari makan. Mereka ngos-ngosan membawa senapan mesin dengan pelurunya dan bontotan makanan dalam taplak meja. Mereka berteriak “Awas Rip, Inggris!!, kenapa kamu itu? mabuk ya? Kenapa kamu meninggalkan posmu?”

Saya binggung, kemana orang-orang banyak tadi itu ?

Dari arah datangnya teman-teman dari Jembatan Peneleh Inggris menembak dengan senapan mesin, peluru mendesing-desing lewat atas kepala kami. Matrawi tiarap hendak membalas tembakan Inggris dengan senapan mesinya. Tapi dari arah Inggris memuntahkan pelurunya terdengar juga suara Tank dari arah itu. Untung gelap, malam-malam kok ada Tank bergerak, pasti diikuti pasukan. Kami dalam bahaya besar, bisa dijepit.

Baca Juga  Kilang Minyak Wonokromo Diserang Sekutu.

Saya saat itu sadar kembali, lalu memberi perintah “Mundur ke Kuburan!!”

Kami berlari secepat mungkin. Persis waktu masuk kuburan Belanda untuk berlindung, Tank kedengaran datang, mereka mendekat, lampu senter besar dinyalakan. Kami was-was takut kalau dimeriam. Tapi Tank tetap membisu, barangkali masih menghormati kuburan. Untung kuburan itu kuburan Belanda, jika kuburan Jawa barangkali lain perkara!. Tapi kami tidak hormat pada Tank!.

“Mat, suklih”e tembaken” bisik saya.

Matrawi memberikan brondongan pendek, lampu Tank mati seketika, Matrawi puas.

Kita memutuskan untuk mundur melewati kuburan ke kampung Plampitan untuk lapor ke pos komando Batalyon yang ada disana.

Di belakang kami tiba-tiba lampu Tank menyala lagi. Matrawi memaki-maki. Saat lari, kami dikagetkan oleh patung-patung marmer yang banyak terdapat di kuburan itu. Sesampai di pos komando saya tidak komplit lapor tentang apa yang saya alami tadi, takut dimarahi dan ditertawakan.

Oerip mengarahkan pandangan ke Hario Kecik, “Su, kamu percaya dongengan saya apa tidak?”, “Saya percaya kamu Rip”, jawab beliau singkat.

Salah satu pemuda bertanya, “Orang-orang yang banyak itu siapa dan dari mana datangnya?”

Oerip menjawab, “Saya sudah bilang, saya itu mimpi!, tapi semua itu seperti sungguhan. Ahh!, mungkin mereka itu roh-roh orang jaman dulu, nenek moyang saya. Kamu tahu?, saya lahir di Peneleh!”

“Rip, kamu diselamatkan oleh nenek moyangmu. Kamu boleh bangga” ujar Hario Kecik.

Oerip kelihatan senang.

Sekeluit dari sekian banyak kisah-kisah “unik” pertempuran Surabaya yang saya ceritakan kembali dari buku Pertempuran Surabaya yang ditulis oleh  pak Hario Kecik dan diterbitkan oleh Abhiseka Dipantara tahun 2012 halaman 252 – 256.

Pak Haryo Kecik memiliki nama lengkap Soehario Padmodiwirio anak dari  R.M. Koesnendar Padmodiwirio ini lahir di Surabaya pada 12 Mei 1921, menjabat Wakil Komandan PTKR Jawa Timur diusia 24 tahun pensiun dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.

Baca Juga  Rumah Sakit Militer Simpang

Kawasan Peneleh memang unik dengan segala kisahnya.

Ingatlah, Indonesia dimulai dari sini, dari Peneleh!.

Oleh : Achmad Zaki Yamani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *