Begandring.com–Semakin tua peristiwa, semakin besar kemungkinan dia terlupa. Namun seperti cahaya, pahlawan dan sejarah menemukan jalannya sendiri.
Kesan itu mengemuka ketika empat anak muda usia awal dua puluhan berbicara dalam diskusi bertajuk Hari Pahlawan di Mata Gen-Z: Kisah Sejarah dari yang Membosankan jadi Mengasyikkan. Bertempat di venue pameran Surabaya Heroes Virtue di Basement Balai Pemuda (12/11), puluhan peserta dari berbagai kalangan mengikuti diskusi dengan antusias. Serangkaian diskusi publik bertema kepahlawanan dihadirkan dalam acara hasil kerjasama Pemerintah Kota, Komunitas Begandring Soerabaia, dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dalam rangka Hari Pahlawan.
Meski menjadi bagian dari generasi yang terlahir lebih dari setengah abad pascapertempuran 10 November 1945, mereka punya cara sendiri untuk lebih dari sekadar tahu, namun mengeksperesikan sejarah dan nilai kepahlawanan.
“Sejarah itu selalu up to date,” ujar Fajar Kurniawan.
Pemuda asal Bangil yang banyak bergiat sebagai reenactor (pereka-ulang) di Surabaya. “Dalam peringatan Hari Pahlawan tiap tahun, selalu ada saja fakta-fakta baru yang kita tahu dari peristiwa itu. Fakta-fakta itu lalu kita telusuri dan pelajari, lalu ya kita ekspresikan lagi. Jadi teatrikal reka ulang, salah satunya,” lanjut Fajar.
Dari kiri: Baskoro (moderator), Jihan, Rizma, Farell, dan Fajar. Foto: Begandring.com
Sejak 2014 saat masih duduk di bangku SMP, Fajar sudah bergabung dengan komunitas-komunitas sejarah. Meski berdomisili di Bangil Pasuruhan, dia tak segan ke Surabaya demi kegemaranya bermain reka-ulang/teatrikal. “Namanya saja teatrikal pejuang, ya harus ada perjuangan untuk melakukannya,” tukas Fajar yang malam itu mengenakan baju Polisi Istimewa lengkap. Fajar ikut ambil bagian dalam banyak kegiatan sejarah. Di antaranya, film dokudrama Jalan Sunyi Dr. Soebandi (2021) dan Soera Ing Baja (2022).
Lain Fajar, lain pula Farell Hamzah. Mahasiswa Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu mengenakan seragam tentara Dai Nippon. “Awalnya saya bermain game Call of Duty. Nah dari situ secara tidak langsung kita belajar sejarah, dan tiap detil seragam, senjata, maupun atribut-atribut lain. Itu awal mulanya,” ujar Farell.
Lambat laun, dari awalnya ketertarikan, membuat Farell melebur lebih dalam mempelajari kisah dan makna setiap detil hal yang ia jumpai. “Diajak main film Soera Ing Baja, akhirnya jadi tahu, oh seperti ini peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato saat itu,” jelasnya.
Tidak hanya menampilkan narasumber lelaki muda, diskusi juga menampilkan Rizma Pujatirta dan Jihan Rafifah. Dua dara berparas jelita itu juga berbagi pandangan dan pengalamannya seputar sejarah dan kepahlawanan.
Farell, Jihan, dan Rizma saat merespon pertanyaan audiens. Foto: Begandring.com
“Sejak SMP saya suka pelajaran sejarah. Setiap kali guru sejarah menerangkan, itu kayak membuat saya berkhayal gitu, membayangkan peristiwa yang dialami para pejuang dan pahlawan itu seperti apa,” ujar Rizma yang menempuh studi di Manajemen Perhotelan Universitas Airlangga.
Gadis berusia dua puluh tahun itu lantas bertutur, melalui Komunitas Begandring Soerabaia, dia berkesempatan mewujudkan apa yang dulu sering ia bayangkan. Rizma turut andil dalam film dokudrama Koesno: Jati Diri Soekarno, garapan TVRI Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung, dia memerankan Siti Oetari, putri H.O.S Tjokroaminoto. Oetari adalah istri pertama Koesno alias Soekarno.
“Wah saya beneran ndak pernah nyangka untuk bisa datang ke acara sekeren Festival Film Indonesia. Tapi gara-gara film itu dan Komunitas Begandring, saya dan teman-teman bisa datang sebagai nomine dan itu keren banget,” ujar Rizma berbinar.
Hal senada diungkapkan Jihan. Tak hanya ikut berperan dalam film Soera Ing Baja (2022) dan Fatmawati (2023), dara asal Lamongan itu kerap terlibat dalam kegiatan-kegiatan festival bertema sejarah yang diadakan Begandring Soerabaia.
“Buat saya yang paling berharga adalah pengalaman-pengalamannya. Saya jadi bisa belajar sejarah secara mengasyikkan dengan langsung mempraktikannya. Jadi tidak hanya baca buku atau mendengarkan saja. Ngantuk kalau begitu,” ujarnya.
Jihan mengatakan, banyak perilaku para pejuang yang layak diteladani hingga kini. “Meski kita sekarang nggak lagi dalam kondisi perang, tapi gimana mereka gigih berjuang, berani, itu relate banget sampai kini,” lanjutnya.
Untuk mendalaminya, Jihan bahkan sedang menyusun proposal tugas akhir yang membahas komunitas reenactor di Surabaya. “Mereka selalu punya cara dan gaya untuk memperingati sejarah khususnya para pejuang,” pungkas Jihan yang juga mahasiswi Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
Dipandu oleh Baskoro sebagai moderator, diskusi berjalan gayeng dan interaktif. Lima audiens dari kalangan mahasiswa turut berbagi pandangan dan kesan tentang kontribusi yang sebaiknya Gen-Z berikan bagi publik, khususnya dalam hal kepahlawanan. Bahkan isu perang Palestina-Israel, Rusia-Ukraina, serta spekulasi bakal adanya perang dunia yang disampaikan audiens juga tak luput dibahas.
“Saya kira kita anak Gen-Z lebih suka damai daripada perang, ya kan. Namun jika pada akhirnya benar terjadi perang dunia ketiga, ya mau tak mau harus siap. Belajar dari sejarah kita sendiri dan meneladani para pahlawan adalah bagian dari mempersiapkan diri itu,” pungkas Farell.
Pose bersama di akhir diskusi bersama penonton dan kru pameran. Foto: Begandring.com
Pameran Surabaya Heroes Virtue berlangsung 3-15 November 2023 di Basement Balai Pemuda Surabaya. Serangkaian diskusi publik bertema kepahlawanan dihadirkan dalam acara hasil kerjasama Pemerintah Kota dengan Komunitas Begandring Soerabaia dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. (red).
One thought on “Hari Pahlawan ala Gen-Z: Dari Bicara Film, Teatrikal, hingga Spekulasi Perang Dunia Ketiga”