Jejak rempah di Surabaya menjadi magnet. Rempah tidak sekedar barang dan komoditas dagang yang ekonomis, tetapi secara diplomatis rempah menjelma menjadi nilai-nilai berkearifan lokal. Secara historis, rempah pernah tercatat sebagai emas hijau. Karenanya, keberadaannya begitu diburu oleh berbagai bangsa dari Eropa.
Sejak dari dulu kala, keberadaan rempah juga telah dikenal oleh nenek moyang. Di era Majapahit, rempah telah menjadi komoditas eksport ke mancanegara. Panglima Angkatan Laut Kerajaan Majapahit, Laksamana Mpu Nala, dalam buku Jayaning Majapahit: Kisah Para Kesatria Penjaga Samudra yang ditulis Agus S. Serono, menceritakan bahwa salah satu gugus armada laut yang berjaga di laut Jawa hingga ke wilayah Timur di Kepulauan Maluku, juga mengawal lalu lintas air berupa sungai.
Surabaya memang bukan kota penghasil rempah-rempah. Tapi keberadaannya menjadi kota Bandar yang menjadi simpul perdagangan komoditas rempah rempah dari zaman ke zaman. Hingga sekarang.
Sayang peradaban baru kurang mengenal rempah-rempah. Hanya sebagian pihak tertentu saja yang kenal. Pemanfaatan rempah rempah tidak lah semassal dulu. Padahal produk rempah rempah masih ada di pasar.
Kini, keberadaan rempah rempah tidak semata mata komoditas berbentuk cengkih, kayu manis, lada dan pala sebagai bahan mentah. Tetapi rempah rempah sudah menjadi produk lain sebagai alat diplomasi. Sebagaimana diketahui, bahwa rempah rempah bertransformasi ke dalam lima pilar. Kelima pilar ini meliputi karya seni, kuliner, ramuan, historia, dan fashion. Melalui lima pilar inilah hubungan yang bersifat bilateral maupun multilateral bisa terbina.
Ketika Surabaya dengan jejak dan komoditas rempah rempahnya yang masih ada, maka sesungguhnya kota ini lebih mampu berinteraksi secara global melalui diplomasi lima pilar rempah. Salah satu dari lima pilar rempah ini adalah historia.
Historia
Jelajah Sejarah dalam program Surabaya Urban Track (Subtrack) dengan tema jalur rempah adalah salah satu wujud diplomasi rempah rempah, upaya memperkenalkan rempah rempah. Lima pilar rempah adalah seni, budaya, kuliner, ramuan dan fashion.
Minggu pagi, 17 Juli 2022, sebanyak 50 peserta jelajah sejarah Subtrak dengan didampingi 15 orang panitia melacak dan sekaligus merasakan cita rasa kuliner dan ramuan, yang berbahan rempah.
Kuncarsono Prasetyo, salah satu pemandu sejarah dari Begandring Soerabaia, mengatakan bahwa jelajah sejarah yang bertemakan jalur rempah ini sengaja mengajak peserta untuk mengetahui jejak jejak historis perdagangan rempah di Surabaya.
“Selain itu, mereka juga diajak berinteraksi dalam diplomasi rempah. Misalnya makan makanan yang bumbunya mengandung rempah, termasuk minum minuman yang berisi rempah rempah.”, jelas Kuncarsono.
Jelajah Sejarah Subtrack ini diawali dari titik menara syahbandar sungai Kalimas di Kampung Baru. Kemudian jelajah sejarah, yang diikuti oleh ragam usia dan etnis ini, menyusuri kampung kampung padat penduduk di Kampung Pabean.
Dalam perjalanan rombongan diajak melihat langgar Gipo di jalan Kalimas Udik yang dimiliki oleh keluarga saudagar Sagippodin yang di eranya pada abad 19 juga berdagang rempah rempah.
Di gang Margi, rombongan dijamu tokoh masyarakat setempat beretnis Arab dengan minuman beraroma rempah. Bahkan di tempat ini, peserta jelajah sejarah bisa membeli kopi rempah.
Tidak cukup ramuan kopi rempah, kegiatan jelajah sejarah, yang di dokumentasikan oleh CNN Indonesia ini, juga dijamu makan oleh warga setempat lainnya di Kampung Pabean Sayangan. Mereka diberi hidangan Nasi Madura.
Seiring dengan perubahan jaman, rempah rempah yang awalnya terdiri dari cengkeh, kayu manis, pala dan lada, selanjutnya jenis rempah bermacam macam, semakin banyak. Menurut pedagang rempah-rempah di Jalan Panggung, Koming, jenis rempah sudah ratusan. Komoditasnya tidak hanya datang dari Maluku, tetapi dari belahan Nusantara, termasuk pedalaman Jawa.
Bawang merah dan bawang putih juga sudah masuk ke dalam rumpun rempah-rempah. Keragaman rempah ini menjadi perhatian salah seorang peserta, Listia Masruroh, mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Surabaya saat masuk ke dalam rumah di mana terdapat para pekerja pembersih bawang.
“Ketika berinteraksi dengan para perempuan pembersih bawang, saya merasa melebur dengan mereka untuk beberapa saat. Saya bertanya dengan bahasa Indonesia, sebab meski berada dalam satu kota, nyatanya bahasa yang saya pahami dengan mereka berbeda. Mereka berbahasa Madura, sedangkan saya Jawa. Saat itulah saya bersyukur adanya bahasa persatuan, dan terlebih lagi ada Indonesia sendiri. Kita yang berbeda dapat disatukan dan dipahamkan dengan bahasa persatuan tersebut, “ jelas Listia yang merasa mendapatkan nilai tambah dalam jelajah sejarah ini.
Multikulturalisme
Rempah adalah Surabaya. Multikulturalisme juga Surabaya. Maka Surabaya adalah rempah dan multikultural.
Rempah hanya satu kata. Pun demikian dengan multikulturalisme, juga satu kata. Tetapi masing masing kata terdiri dari keberagaman.
Rempah terdiri dari banyak komoditas. Ada cengkeh, kayu manis, lada, pala, merica, ketumbar, adas, kunir, jahe, kapulaga, bunga lawang, secang dan masih banyak lagi.
Multikulturalisme juga beragam. Ada etnis Jawa, Madura, Arab, Tionghoa, Melayu, Sunda, Bugis, Batak, Dayak dan masih banyak lagi.
Itu semua dapat dilihat di Surabaya sebagai kota multikultural dan sebagai kota Rempah. Hanya dengan menelusuri salah satu sudut kota Surabaya, di kawasan Pabean, kedua sifat itu tersajikan.
Nilai-nilai multikultural itulah yang bisa didapatkan oleh peserta jelajah sejarah Subtrack pada Minggu pagi. Mereka tidak hanya memperoleh narasi kesejarahan terkait dengan jalur rempah, tetapi mereka juga belajar tentang nilai nilai keberagaman di kampung Pabean.
Bahkan interaksi keberagaman ini menjadi bentuk kegiatan sosial dan kultural yang alami di sana (kawasan Kota tua). Bahwa sejak dulu, interaksi sosial dan budaya di Surabaya berjalan begitu harmonis. Antar etnis saling terikat dalam satu aksi perdagangan dan ekonomi yang mutual, saling menguntungkan.
Karenanya, meskipun di era kolonial, mereka tersekat sekat secara teritorial oleh kebijakan Wiekenstelsel, tapi secara sosial mereka masih dalam satu kepentingan yang sama. Yaitu perdagangan. Bahkan secara fisik ada warga etnis Tionghoa yang tinggal di kawasan etnis lainnya. Pembauran inilah yang menjadi sifat Surabaya. Sebagai contoh, dalam budaya Tionghoa, misalnya seni Barongsay, pemainnya adalah warga etnis Jawa dan Madura.
Nilai-nilai inilah yang didapat peserta. Mereka belajar nilai nilai sosial budaya disela sela belajar jejak jalur rempah. Peserta yang belum pernah melihat dan merasakan bau asing dapat menciumnya. Mereka melihat rona kehidupan. Mereka mengecap kuliner lokal. Mereka mendengar ragam bahasa yang dipakai oleh masyarakat setempat. Mereka menyaksikan rumah rumah tua dengan ragam arsitektur yang unik unik. Rumah berarsitektur kolonial tapi penghuninya adalah warga lokal, bukan Eropa.
Jelajah sejarah Subtrak berjalan selama dua setengah jam dan berakhir di titik lokasi pemberangkatan. (*)