Prasasti Canggu (1358 M) adalah satu satunya prasasti yang dengan jelas menyebut nama Surabaya. Dituliskan Çurabhaya sebagai naditira pradeca (desa di tepian sungai).
Selain Çurabhaya (kini Surabaya), ada juga naditira pradeca lainnya yang berada di wilayah administrasi Kota Surabaya, yaitu Gsang (Pagesangan) dan Bkul (Bungkul).
Nama-nama naditira pradeca itu berturut-turut ditulis dari selatan ke utara adalah Gsang (Pagesangan), Bkul (Bungkul) dan Çurabhaya (Surabaya).
Çurabhaya berada di paling hilir dari aliran sungai yang dalam catatan dan peta lama bernama Kali Surabaya. Nama sungai (kali) yang memakai kata Surabaya ini diduga kuat karena keberadaan naditira pradeca Çurabhaya di hilir (muara) sungai.
Çurabhaya menjadi penanda sungai yang merupakan anak sungai Brantas. Nama Çurabhaya yang berada di hilir sungai dipakai sebagai nama sungai. Maka jadilah nama Kali Surabaya.
Model penamaan seperti ini cukuplah wajar karena siapa pun akan mudah mengingat jalur sungai yang menjadi penghubung antara lautan dan pedalaman Jawa.
“Kali” adalah istilah lokal. Dalam catatan para sejarawan Eropa (Belanda, Portugis dan Inggris), mereka menuliskan “Kali” untuk menjelaskan sungai (river atau rivier). Makanya, ada Kali Surabaya, Kali Ampel, Kali Butu, Kali Anak, Kali Pegirian, Kali Maas dan lain lain.
Sementara “Sungai” adalah bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari kata “Kali”. Salah satu contoh adalah Kali Pegirian menjadi Sungai Pegirian.
Nama Çurabhaya ini diabadikan oleh Raja Hayam Wuruk pada sebuah prasasti, yang dikenal dengan nama Prasasti Canggu. Pencatatan pada prasasti itu diduga dilakukan oleh sang raja ketika ia anjangsana menyisir Sungai Brantas dan Bengawan Solo.
Nama Çurabhaya dicatat dan diberi status sima karena berjasa atas penyeberangan (penambangan) sungai, menyeberangkan orang dari satu tepian sungai ke tepian sungai lainnya. Berikut petikan prasasti yang menyebut nama Surabaya dan penambangan.
“.. i Çurabhaya, muwah prakāraning naditira pradeça sthānaning anāmbangi”.
Artinya : “… di Surabaya, oleh karena desa desa tepian sungai itu berjasa atas penambangan”.
Secara geografis, Çurabhaya memang berada pada bagian hilir sungai. Ketika sang Raja menuliskan nama nama naditira pradeca pada sebuah prasasti, seperti nama Çurabhaya, tentu ada proses yang mengawalinya.
Sang Raja, Hayam Wuruk yang memerintah kerajaan Majapahit mulai 1350-1389, secara logika tentu bertanya kepada warga setempat yang ia temui sebagai bagian dari proses pengumpulan data.
Raja : “Wahai ki sanak, apa nama naditira pradeca ini? “.
Penambangan: “Yang mulia, naditira pradeca ini namanya Çurabhaya”.
Itulah dugaan bebas percakapan antara sang raja dengan kawula. Selanjutnya dicatatlah nama naditira pradeca itu dalam prasasti. Tertulislah Çurabhaya.
Angka tahun dikeluarkannya prasasti Canggu itu adalah 1358 M. Diduga keberadaan Çurabhaya sebagai sebuah desa sudah ada sebelum 1358. Sayang tidak ada catatan kapan naditira pradeca Çurabhaya itu mulai ada. Yang jelas, sebelum Raja Hayam Wuruk singgah di Çurabhaya, desa Çurabhaya ini sudah ada.
Dalam catatan GH Von Faber di buku Er Werd Een Stad Geboren yang artinya Sebuah Kota Telah Lahir, dituliskan bahwa Raja Kertanegara (1268-1292) dari Kerajaan Singosari membuka lahan permukiman baru di antara dua sungai (Kali Surabaya dan Kali Pegirian) yang dinamakan Surabaya pada 1275 M.
Jika dikaitkan dengan Prasasti Canggu 1358, diketahui bahwa letak Çurabhaya berada di utara Bkul (Bungkul). Letak ini sesuai dengan ilustrasi Von Faber. Yakni, di kawasan di antara dua sungai, yang kini dikenal dengan Kampung Peneleh, Pengampon dan Jagalan.
Untuk mendukung pernah adanya peradaban kuno di tempat itu, sebuah bukti otentik ditemukan di Kampung Pandean. Yaitu, sumur kuno yang umum disebut Sumur Jobong.
Sumur Jobong adalah jenis dinding sumur yang berbentuk silinder dan terbuat dari terakota, yang umum ditemukan di Trowulan sebagai bekas ibukota Majapahit.
Tidak hanya sumur, di sekitar dan di dalam sumur juga ditemukan fragmentasi tulang tulang manusia. Diketahui ada 29 fragmen tulang dari beragam bentuk dan ukuran. Kondisi tulang belulang ini, ada yang tertutup lempung kering dan ada pula tulang-tulang dengan matriks sejenis semen.
Dari penelitian uji karbon yang dilakukan di Australian National University di Canberra, Australia pada 2019, diketahui bahwa ada 5 manusia Pandean (4 dewasa, 1 bayi). Manusia Pandean yang mati tertua adalah pada 1430. Sementara Sumur Jobong, yang menjadi bagian dari ritual kubur, sudah ada sebelum 1430.
Diduga kuat berdasarkan artefak dan sumber sumber literasi yang ada bahwa kawasan Pandean, Peneleh dan Pengampon adalah bukti peradaban kuno Surabaya.
Dibuka Raja Kertanegara
GH Von Faber dalam bukunya Er Werd Een Stad Geboren mendeskripsikan adanya desa di tepian sungai Surabaya yang dibuka oleh Raja Kertanegara pada 1275 M.
Lokasi desa Surabaya ini berada di antara dua sungai, yakni Kalimas dan Kali Pegirian. Sekarang lokasi itu dikenal dengan kawasan Peneleh dan Pengampon.
Dalam ilustrasi itu, Surabaya digambarkan sebuah permukiman yang tertata dan terstruktur. Surabaya adalah sebuah desa yang tidak hanya berada di tepian sungai (naditira pradeca), tapi sebuah desa yang dikelilingi air.
Di sebelah barat ada Kali Surabaya (Kalimas), di timur ada Kali Pegirian, di selatan ada kanal yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian, pun demikian di bagian utara yang juga ada kanal penghubung dua sungai. Surabaya bagaikan desa terapung (floating village).
Di tengah-tengah desa terdapat pelabuhan yang terkoneksi dengan Kalimas. Koneksi ini berupa kanal yang sekaligus sebagai gerbang pelabuhan. Pelabuhan ini hanya bisa dijangkau dengan melalui Kalimas.
Sementara di Kali Pegirian sendiri terdapat pelabuhan sungai tersendiri. Faber dalam ilustrasinya memberi simbol jangkar sebagai petunjuk adanya sebuah pelabuhan.
Batas air (sungai dan kanal) membedakan adanya kawasan inti (utama) desa Surabaya dan kawasan penyanggah (luar). Kawasan penyanggah ini berupa kampung kampung yang berdiri mengelilingi kawasan inti.
Di dalam kawasan inti ini terdapat blok-blok. Masing-masing blok dihuni kelompok masyarakat sesuai golongan. Ada golongan perempuan, ada golongan guru dan ada golongan pengayom serta golongan tokoh spiritualis. Blok-blok permukiman tersebut diberi nama Kebon Oerang, Poengaran, Pengampon, Kalianjar, Pandean dan dermaga Semoet.
Blok-blok serupa juga tertata di luar batas sungai. Blok blok itu dikenal dengan Kampung Gembong, Patjendolan, Kalisarie, Palimboengan, Padjagalan, Tambak Bajan, Boetoelan, Soeloeng, Kawidjilan dan Wonokoesoemo. Yang tinggal di kampung-kampung ini kebanyakan para jawara yang bertugas sebagai pelindungnya desa Surabaya.
Selain Çurabhaya, masih ada naditira radeca di Surabaya. Yaitu Gsang dan Bkul. Sesuai dengan berita prasasti Canggu (1358) bahwa Çurabhaya (Surabaya), Bkul (Bungkul) dan Gsang (Pagesangan) adalah desa desa di tepian sungai yang berbeda beda. Çurabhaya berada di posisi paling hilir.
Di selatan Çurabhaya ada Bkul dan di selatan Bkul ada Gsang. Masing-masing memiliki teritori yang independen dan bahkan memiliki sistem administrasi yang otonom. Dari ketiga desa ini, semuanya hanya karena jasa tambangan yang menjadikan namanya dicatat oleh Raja Hayam Wuruk.
Kini, masih adakah jasa tambangan di Surabaya yang menjadikan nama Çurabhaya dicatat oleh raja? (nanang purwono)
Bagus mas, memperkaya catatan sejarah yg mulanya klo liat surabaya tu ya kota besar, kota kolonial, kota dgn pelabuhan dsb, ni jdi ada sejarah dri era kerajaan 🙏🙏
Soerabaja ooh Soerabaja jejak petilasan peradaban kota kuno ada di dalamnya ..
Saya jadi teringat masih ada perahu tambangan di aliran sungai sekitar Ngagel, mungkin salah satu potret masa lampau yang masih terekam kuat dalam keseharian warga
Dengan info ini jadi percaya bahwa Surabaya sfslah kota yang usianya cukup tua. Namun, itu tidsk menghslangi kiprah Sby.menjadi kota Indamardi. Dan yg terpenting I love you Surabaya