Kramat Gantung dan Kisah Memilukan

Kali ini Om TP Wijoyo akan berkisah tentang sebuah wilayah di Surabaya, Ya kali ini Om TP Wijoyo akan berkisah tentang Kramat Gantung, apa dan bagaimana Kramat Gantung itu, yuk kita simak bersama.

Kramat Gantung merupakan nama jalan di Surabaya, yang secara administrasi wilayah termasuk dalam Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Kotamadya Surabaya.

Menurut beberapa informasi nama “Kramat Gantung” memiliki sejarah terkait dengan hukuman gantung yang dilakukan di tempat tersebut pada masa lalu. Nama ini merujuk pada tempat di mana para pelaku kriminal, termasuk mereka yang melawan pemerintah kolonial Belanda, dihukum mati dengan cara digantung. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera kepada masyarakat.

Kalo menurut saya, kata “Kramat” merupakan kosakata Jawa yang memiliki arti dan makna “Makam”. Orang Jawa dulu kalo menyebut sebuah Makam dengan istilah Jawa :

Kramat, Setro, Sentono, Pesarean, dan Pakuburan.

Berdasarkan arti kata “Kramat” yang merujuk pada Makam, saya menduga dulunya di kawasan tersebut memang terdapat komplek Makam yang luas. Hal ini terbukti, dengan adanya sebuah Komplek Makam yang kini disebut dengan “Makam Kiai Sedo Masjid” di Jalan Tembaan, yang secara lokasi tidak jauh dari Jalan Kramat Gantung. Menurut keterangan warga sekitar, dulu Komplek Makam Kiai Sedo Masjid terhampar hingga ke arah timur, yang mana kini telah banyak berdiri toko-toko dan beberapa hunian baru warga.

Sedangkan kata “Gantung” memang merujuk pada sesuatu yang digantung. Memang secara dugaan bisa dihubungkan dengan tempat hukuman gantung pada masa lalu. Karena lokasinya sangat berdekatan dengan lokasi “Kraton” Surabaya pada masa klasik, yang diduga kuat berlokasi di tempat yang kini berdiri Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur.

Baca Juga  Kawasan Jembatan Merah Awal Abad 20

Dugaan yang bisa dihubungkan lagi dengan kata “Kramat Gantung” adalah adanya dulunya mungkin terdapat sebuah Makam yang digantung. Seperti halnya “Makam Gantung Djoyodigdo” di daerah Blitar. Makam Gantung yang berada di Jalan Melati 43 Kelurahan Kepanjen Kidul, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar ini merupakan Makam dari seorang tokoh bernama “Mas Ngabehi Bawadiman Djojodigdo”, seorang Patih Blitar. Dan kenapa Makamnya haris digantung ? Menurut pitutur masyarakat sekitar, karena dulunya beliau memiliki ilmu “Pancasona”, yang bisa hidup kembali ketika jenazahnya menyentuh tanah.

Nah, apakah toponimi nama “Kramat Gantung” di Surabaya juga merujuk pada hal yang sama dengan “Makam Gantung” di Blitar ?

Untuk menjawab pertanyaan itu memang tidak mudah. Karena tidak ada data sumber sejarah yang menyebut dengan jelas hal tersebut.

Sebuah informasi menarik, yang saya dapatkan dalam tulisan “Willem Remmelink”, yang menyebutkan :

“Pada tahun 1735, sebuah komplotan di Surabaya terbongkar. Berdasarkan catatan VOC nomor 2358, tertanggal 16 Agustus 1735, Ngabehi Secadirana (Bupati Surabaya) dan Sumadireja (putra dari Bupati Surabaya pertama) datang menghadap Residen di Kartasura. Saat itu Ngabehi Secadirana melaporkan bahwa ada seorang “Pendeta” Jawa bernama “Mangunwijaya” yang tinggal di Gunung Sari sebelah barat Surabaya, berkomplot untuk merebut tahta dan membunuh semua orang Eropa.”

“Otak dari komplotan ini adalah seorang “Pendeta” Muslim yang tinggal di Gunung Mahameru dekat Blambangan. Orang ini menyebut dirinya “Susuhunan Ratu”, dan dianggap suci oleh banyak orang Jawa. Bahkan dianggap suci juga oleh orang Bali.”

“Setelah Ngabehi Secadirana mengunjungi beberapa kali, Mangunwijaya menerima surat dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab (Pegon), yang menyatakan bahwa Mangunwijaya diangkat menjadi raja di Gunung Sari dengan gelar yang megah seperti “Prabu Ratu Panatagama”. Semua Menteri di Jawa diperintahkan untuk melepas hubungan dengan orang Belanda, dan harus tunduk hanya kepada perintah dari orang suci dari Gunung Mahameru dan saudaranya di Gunung Jaran dan raja di Gunung Sari (Mangunwijaya). Mangunwijaya menganggap dirinya sebagai raja Surabaya, dan telah melengkapi dirinya dengan ornamen upacara seperti bendera dan payung kebesaran.”

Baca Juga  Gedung Pengadilan Tinggi

“Kemudian tanggal 19 Juli 1735 Mangunwijaya mengirim utusan kepada Sumadirejo, untuk meminta menyerah dan membicarakan bagaimana cara membereskan semua orang Eropa di Surabaya, yang dianggap tidak sulit karena Mangunwijaya sudah menerima wangsit bahwa mereka akan dibantu oleh “enam puluh arwah yang menyamar sebagai manusia.”

“Sumadirejo menjawab bahwa beliau memerlukan waktu dua ,tiga hari untuk memikirkannya. Tapi atas nasehat salah seorang bawahannya, Sumadirejo melaporkan semua rencana itu melalui surat yang disampaikan kepada Bupati Surabaya Secadirana. Kemudian Bupati Secadirana melaporkan kepada Residen, yang menyarankan agar semua anggota komplotan itu ditangkap hidup atau mati.”

“Dengan kekuatan pasukan sebanyak sembilan ratus orang, Bupati Secadirana menyerang raja di Gunung Sari itu. Dalam serangan itu raja di Gunung Sari bersama enam pengikutnya mati terbunuh. Dan untuk memastikan kematiannya, jenazah raja Gunung Sari itu ditusuk seratus kali, dan digantung di tiang gantungan yang kebetulan masih tegak berdiri di Surabaya sebagai peringatan dari perang sebelumnya. Kuil dan semua tempat tinggal di Gunung Sari dibakar, dan Bupati Secadirana memerintahkan bahwa di Gunung Sari tidak boleh lagi didirikan kuil. Bersamaan peristiwa itu, menurut laporan VOC tertanggal 8 Agustus 1735 Gunung Merapi seolah bereaksi dengan meletus hebat, meskipun tidak terdengar di Surabaya pada malam tanggal 21 Juli 1735.”

Nah, berdasarkan informasi menarik diatas, ada dugaan kuat, bahwa jenazah Mangunwijaya (seorang raja di Gunung Sari) yang dianggap orang suci itu, digantung di sebuah tiang di Surabaya yang mana lokasinya menjadi “unen-unen” dan tetenger masyarakat kelak disebut “Kramat Gantung”. Terkait lokasi Surabaya yang pada saat masa Kadipaten berada di sekitar area Tugu Pahlawan dan sekitarnya kini. Sehingga nama “Kramat Gantung” bisa disimpulkan dulu merupakan lokasi tempat eksekusi orang yang dihukum, sekaligus tempat Makam. Dugaan lain, nama Kramat Gantung dihubungkan dengan Makam Mangunwijaya, yang karena dianggap orang suci dan memiliki kelebihan ilmu, sehingga bisa jadi dimakamkan secara gantung, karena memiliki ilmu Pancasona.

Baca Juga  Jalan Gemblongan

Sumber Pustaka :

“Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725 – 1743”, Willem Remmelink, Leiden, 1994.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *