Lotere sebagai instrumen ekonomi telah menjadi perdebatan panjang dalam sejarah kebijakan publik. Meski kontroversial, mekanisme ini terbukti mampu mendorong pendapatan daerah dan menggerakkan perekonomian, tergantung pada regulasi yang mengaturnya. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan Ali Sadikin yang melegalkan perjudian selama menjabat sebagai Gubernur Jakarta pada 1966-1977. Keputusannya menuai pro dan kontra, tetapi secara ekonomi berdampak besar—APBD Jakarta meningkat drastis dari Rp 66 juta pada 1966 menjadi Rp 122 miliar pada 1977. Seiring perkembangan zaman, lotere terus berevolusi, bertransformasi menjadi perjudian daring dengan nilai transaksi yang mencapai Rp 900 triliun per tahun, sebagaimana diungkapkan Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Maman Abdurrahman berdasarkan temuan BPKP yang dikutip Tempo. Fakta ini menunjukkan bahwa lotere dapat menjadi pedang bermata dua—dapat menjadi alat pembangunan ekonomi atau justru menciptakan tantangan sosial, bergantung pada regulasi, target pasar, tingkat pengawasan, serta pemanfaatan keuntungan yang dihasilkan.
Namun, jauh sebelum era Ali Sadikin dan maraknya perjudian daring, lotere sudah berperan penting dalam menopang berbagai sektor ekonomi di Hindia Belanda, termasuk dalam ajang Pekan Raya Surabaya sejak awal abad ke-20. Sebagai pameran dagang utama di kota ini, Pekan Raya bukan hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga menjadi pusat aktivitas ekonomi yang menghubungkan pedagang, produsen, dan masyarakat luas. Lotere barang menjadi instrumen finansial utama yang tidak hanya mendukung keberlangsungan acara, tetapi juga memberikan manfaat bagi peserta pameran. Sayangnya, intervensi pemerintah dalam bentuk pembatasan regulasi sejak 1926 mulai mengancam mekanisme ini, memunculkan tantangan baru yang mengguncang stabilitas Pekan Raya.
Dukungan Awal dan Manfaat Lotere Barang
Pemerintah Hindia Belanda awalnya memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan lotere barang. Keputusan Direktur Pendidikan dan Agama tertanggal 28 April 1923 No. 19275/V mengizinkan asosiasi penyelenggara Pekan Raya untuk mengadakan lotere dengan nilai f 100.000. Model lotere ini sangat menguntungkan karena hadiah-hadiahnya dibeli dari calon peserta pameran, sehingga secara langsung membantu mereka dalam menutupi biaya keikutsertaan di Pekan Raya. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi lokal serta memberikan kesempatan bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk berpartisipasi dalam ajang bergengsi tersebut.
Berdasarkan De Indische courant diketahui bahwa pembelian lotere undian dapat dibeli di beberapa tempat berbeda, contohnya pada tahun 1934 untuk lotere pekan raya tahun tersebut dapat di beli di de Nederl Indische Handelsbank dengan harga f 2,50 per lotre atau dapat juga dibeli di Toko Mascotte dengan harga f 2.75 dengan iklan hadiah ketiganya adalah motor 600 c.c.
Pembatasan Regulasi dan Dampaknya
Sayangnya, keberhasilan finansial ini mulai mendapat hambatan ketika Direktur Kehakiman melalui surat tertanggal 7 Januari 1926 menyatakan bahwa lotere barang tahunan tidak lagi diperbolehkan atau hanya dapat dilaksanakan dengan syarat yang jauh lebih ketat. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan penyelenggara Pekan Raya yang kemudian mengajukan audiensi dengan Gubernur Jenderal Mr. D. Fock. Dalam audiensi tersebut, perwakilan asosiasi menegaskan bahwa dana dari lotere barang sangat diperlukan untuk melunasi utang penyelenggaraan Pekan Raya sejak reorganisasi pada tahun 1923, serta untuk memenuhi kewajiban sosial sesuai dengan anggaran dasar asosiasi.
Namun, Gubernur Jenderal justru lebih mendukung konsep lotere uang berskala besar yang akhirnya mengakhiri lotere barang dalam skala besar. Sebagai kompensasi, ia mengusulkan agar S.J.V. (asosiasi penyelenggara Pekan Raya) dapat mengadakan lotere uang dengan syarat Pemerintah Kota Surabaya menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan Pekan Raya. Pemerintah Kota kemudian memberikan subsidi f 10.000 pada tahun 1926 sebagai dukungan, sementara sebagai langkah transisi, pemerintah mengizinkan lotere barang senilai f 50.000, tetapi dengan ketentuan bahwa tidak boleh ada keuntungan yang dihasilkan. Meskipun jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan pemasukan yang sebelumnya.
Tantangan Keuangan dan Kompromi Pemerintah
Wali Kota Dijkerman kemudian mengadakan diskusi dengan pemerintah di Batavia pada tahun 1926 untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Pemerintah tetap menegaskan bahwa lotere barang perlu dibatasi karena dianggap merugikan Perum Perumnas. Sebagai jalan tengah, pemerintah mengizinkan penyelenggaraan lotere barang dengan syarat tidak ada keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut dan hasilnya digunakan untuk kepentingan amal serta publik.
Tantangan semakin bertambah ketika komunitas Tionghoa di Surabaya menunjukkan ketidaktertarikan terhadap Pekan Raya pada tahun 1927. Hal ini berdampak signifikan pada pendapatan acara, terutama karena penyelenggaraan Passer Malem yang berlangsung sebelum Pekan Raya turut mengurangi jumlah pengunjung. Upaya negosiasi antara pengurus Pekan Raya dan tokoh-tokoh Tionghoa pun menemui jalan buntu karena tuntutan yang diajukan dianggap terlalu tinggi. Sebagai langkah preventif, pemerintah akhirnya menetapkan bahwa tidak boleh ada pasar malam dalam tiga bulan sebelum maupun setelah Pekan Raya, guna mengurangi dampak negatif pada pemasukan acara tersebut.
Penurunan Popularitas
Pasang surut lotere terus berlanjut yang sangat terlihat dalam data kunjungan pameran tahunan. Pada tahun 1933, jumlah pengunjung menurun drastis dari 296.264 orang pada tahun sebelumnya menjadi 256.122 orang. Penerimaan keuangan pun merosot sebesar f 13.790,45 dari f 93.378,75 pada tahun 1932 menjadi f 79.588,30 pada 1933. Hal ini menunjukkan bahwa turunnya minat masyarakat terhadap lotere.
Lotere di Luar Pekan Raya Surabaya
Meskipun lotere dibatasi di Pekan Raya, inisiatif serupa tetap berlangsung di berbagai organisasi sosial yang menggunakan lotere barang untuk tujuan amal, seperti upaya pemberantasan TBC di Surabaya. Pada tahun 1940, organisasi lokal mengadakan lotere barang dengan 1.000 tiket seharga f 1 per lembar dan 24 hadiah menarik yang pengundiannya dipercepat dari 30 September menjadi 2 September. Pada tahun berikutnya masih dengan upaya pemberantasan TBC Yayasan Provinsi Jawa Timur dan Yayasan Sosial Surabaya SCVT juga menyelenggarakan lotere berhadiah sembako di Gedung Panti Asuhan Putra. Pemenang hadiah yang beruntung dapat mengambil hadiah mereka dari bendahara organisasi lokal Soerabaia dari SCVT dengan Bapak JH Scholten, di jalan Embong Malang 29.
Kesimpulan
Dari berbagai peristiwa ini, jelas bahwa lotere memiliki peran krusial dalam mendukung Pekan Raya Surabaya, baik dari segi finansial maupun partisipasi masyarakat. Namun, perubahan kebijakan yang membatasi praktik ini memberikan dampak negatif yang signifikan, baik bagi asosiasi penyelenggara, para pedagang, maupun pemerintah kota. Meskipun upaya kompromi telah dilakukan, larangan lotere barang pada akhirnya berkontribusi terhadap merosotnya popularitas Pekan Raya. Sejarah lotere ini menunjukkan bahwa regulasi yang berubah-ubah tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara pemasukan ekonomi dan kontrol sosial dapat mengganggu dinamika ekonomi perkotaan. Dengan kata lain pengalaman dapat menjadi patokan regulasi kebijakan baik sebagai tindakan preventif maupun inovatif dalam menangani kasus lotere yang tengah marak menjarah minat masyarakat.
Sumber
Koran
De Indische courant 22-01-1926
Jurnal perdagangan umum untuk Hindia Belanda 04-03-1927
De Indische courant 16-10-1933
De Indische courant 16-05-1934
De Indische courant 30-06-1934
Jurnal perdagangan Surabaya 22-08-1940
Jurnal perdagangan Surabaya 02-04-1941
Artikel Berita Digital
Fika, Dian Rahma, Dede Leni Mardianti dan Ade Ridwan, 3 April 2025, Menteri UMKM Singgung Judi Online jadi Faktor Daya Beli Masyarakat Melemah, Tempo (Diakses 3 April 2025)
Buku
Faber, G.H. von, 1935, Nieuw Soerabaia, Perpustakaan Universitas Leiden
Video
KOMPASTV, Judi Sempat Legal Zaman Gubernur Jakarta Ali Sadikin, Kok Bisa? – DULU KALA EPS 6, 25 Nov 2024
Biografi Singkat
Anggita adalah mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Airlangga yang gemar menelusuri jejak waktu dan merangkai narasi sejarah. Sebagai penunggu setia Lore Archon Cryo, ia menemukan kesamaan antara sejarah dan lore—keduanya penuh kisah yang menanti untuk diceritakan kembali.