Jalan Karet di kawasan Pecinan Surabaya menyimpan banyak cerita. Jalan ini pernah menjadi wajah Pecinan yang berkaca kemilau sungai Surabaya (Kalimas) pada abad 18. Indah dan bersih. Itulah kesannya.
Keindahan Jalan karet dengan pemandangan Kalimas terlihat di lukisan Surabaya karya Johannes Rach (1720– 4 August 1783). Ia seorang pelukis kelahiran Denmark yang kemudian bergabung dengan militer Belanda dan bertugas ke Hindia Belanda.
Johannes Rach tinggal di Batavia. Selain menjalankan tugas kemiliteran, ia juga melukis topografi Jawa, termasuk Surabaya. Karya karya nya menjadi rujukan sejarah budaya dan arsitektur.
Di era abad 18, ketika kawasan ini semakin ramai dengan kedatangan gelombang imigran China, wajah indahnya dapat dipandang dari seberang (barat) sungai. Di sana, di bantaran timur Kalimas, berdiri berpagar rumah rumah arsitektur Tionghoa. Sayang, tidak ada artis yang mengabadikan wajah Kampung Pecinan.
Johannes Rach sempat mengabadikan kampung Eropa di barat sungai, yang dipandang dari timur sungai (kampung Pecinan). Ah, andai ada yang melukis kampung Pecinan kala itu!
Ada seorang sketcher, HP Berlage (1923), sempat melukis salah satu sudut Kampung Pecinan tat kala permukiman Pecinan ini sudah semakin berkembang. Berlage seorang arsitek moderen dari Belanda yang mendesign Gedung Singa (1901), baru sempat datang ke Surabaya pada 1923, (Berlage: Mijn Indische Reis).
Berlage melukis beberapa sudut kota Surabaya. Salah satunya adalah sudut Jalan Karet. Ini karena keindahan kawasan Pecinan.
Dipercaya atau tidak bahwa sebelum abad 18, jalan yang membujur dari selatan ke utara di bantaran timur sungai Kalimas ini sudah menjadi jujugan imigran China.
Ir. Handinoto dalam artikel yang ditulisnya berjudul Lingkungan Pecinan Dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial (1999) mengatakan, imigrasi besar besaran orang China ke Jawa terjadi pada abad 14. Awal terjadinya permukiman China di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk Surabaya ini, sebagai akibat dari aktivitas perdagangan antara pedagang China dan Jawa (Majapahit).
Kehadiran mereka ini juga diketahui ketika rombongan Cheng Ho yang datang di tahun 1433. Di sana mereka mendapati orang orang China telah bermukim di lokasi pendaratan mereka. Di lokasi pendaratan inilah gelombang imigran China berikutnya di abad 18 juga terkonsentrasi. Kawasan ini selanjutnya dikenal dengan konsentrasi etnis Pecinan (Kampung Pecinan).
Arsitektur Tionghoa
Ketika imigran Pecinan sudah semakin settle (menetap) di sana, peradabannya semakin mencengkeram bumi lokal. Bagai peribahasa, “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Mereka pun mulai beradaptasi dengan bumi yang baru. Meski proses adaptasi butuh waktu.
Awalnya, rumah rumah yang mereka bangun tidak jauh berbeda dari gaya arsitektur rumah rumah di negeri asalnya. Tampak simetris di bagian depan, yang umumnya ada satu pintu di tengah dan diapit oleh jendela di kiri kanan pintu. Tampilan atap rumah berbentuk pelana dengan masing masing ujung pelana melengkung meninggi lancip ke atas.
Secara umum bentuk arsitekturnya sama antara rumah-rumah di negeri asalnya dengan rumah-rumah yang dibangun di Surabaya. Secara khusus ada pengunaan material bangunan yang bersifat lokal.
Di era abad 18, secara lokal, pada bagian lantai, trennya mengunakan tegel tegel terakota. Penggunaan tegel terakota ini mengingatkan pada sebuah kompleks permukiman di bekas kota Raja Majapahit, Trowulan, di mana di sana ditemukan tegel-tegel terakota sebagai struktur rumah Mojopahitan.
Tegel terakota ini kemudian umum dalam struktur hunian di era VOC abad 17 dan 18. Tidak hanya di Surabaya, di Jakarta pun demikian, tegel terakota digunakan. Tidak hanya dipakai di rumah dan bangunan tradisional Pecinan, di bangunan gaya kolonial juga trennya menggunakan lantai terakota. Lantai marmer belum digunakan.
Rumah-rumah Pecinan dengan gaya tradisional ternyata juga menggunakan tegel-tegel terakota. Di Jalan Karet sisi selatan misalnya, ada dua persil rumah tradisional Tionghoa yang menggunakan tegel terakota.
Kini, tegel-tegel itu sudah rusak dan bahkan hilang dari tempatnya. Namun pecahan dan kepingan tegel terakota masih bisa disaksikan. Pun demikian dengan bangunan di Rumah Abu Han, tapi bukan unit bangunan yang depan, tapi yang bagian belakang. Tegel terakotanya masih tertata dengan baik.
Di kompleks Rumah Abu Han di Jalan Karet 72, Surabaya memang terdapat dua unit bangunan yang terpisah. Unit bangunan di bagian depan sudah bergaya campuran: kolonial, Jawa dan Tionghoa dari abad 19. Sementara unit bangunan di bagian belakang yang bergaya tradisional Tionghoa masih berdiri terjaga.
Han Siong Kong (1673 – 1743), yang datang ke Lasem, Jawa Tengah pada kisaran awal tahun 1700-an dan meninggal pada 1743, mendirikan rumah yang masih bergaya tradisional seperti rumah rumah pada umumnya di kampung halamannya. Gaya gaya tradisional ini bisa dilihat di Lasem sebagai pusat konsentrasi Pecinan di pantai utara Jawa Tengah. Han Siong Kong memang datang di Lasem.
Dapat diduga bahwa ketika keturunan Han Siong Kong, yang bernama Han Bwee Kong (1727-1778), mulai menetap di Surabaya setelah kematian ayahnya pada 1743, model huniannya tidak berbeda dari rumah-rumah di Lasem dan bahkan di Tianbau, Fujian, China.
Mengamati foto-foto rumah tradisional China dari waktu ke waktu, sesungguhnya selama berabad-abad gaya arsitektur rumah adat Tionghoa tidak memiliki perubahan yang signifikan, hanya terdapat perubahan dan penyesuaian dengan lingkungan di mana rumah itu dibangun. Semisal ketika rumah-rumah itu dibangun di Surabaya, maka ada unsur-unsur lokal yang digunakan karena ketersediaan materialan bangunan.
Menurut literasi 99.co, pendirian suatu banguna dipengaruhi beberapa hal, salah satunya filosofi China. Filosofi China ini sangat kental dengan Feng Shui yang memengaruhi rancang bangunan yang mengikuti arah mata angin, berdasarkan sifatnya seperti menghadap ke arah selatan, utar, barat dan timur. Arah utara (air), timur (kayu), selatan (api) dan arah barat (logam). Pendirian rumah Abu Han juga mengikuti feng sui, yaitu persis menghadap ke arah barat.
Di komplek Rumah Abu Han, jika diamati secara fisik, memang ada dua unit bangunan, yakni bagian depan dan belakang. Kedua unit bangunan ini sama sama berarsitektur Tionghoa. Cuma, unit bagian depan sudah ada pengaruh lokal dan zaman.
Menurut Robert Han, pewaris rumah nenek moyang marga Han di Surabaya bahwa rumah Abu Han di jalan Karet ini menyimpan perpaduan nilai kultural: Tionghoa, Jawa dan Kolonial.
Sifat-sifat etnis itu tampak pada gaya arsitekturnya. Misalnya dengan menampilkan pilar-pilar baik di teras depan maupun di bagian ruang dalam yang bergaya Eropa. Tiang besi cor diimport dari kota Glasgow, Inggris. Pilar beton di teras depan bergaya Indis (Glandeour). Lantai dari batu marmer Italia. Penggunaan kayu untuk risplang bergaya bangunan kraton (Jawa). Ukuran ukiran ornamen kayu adalah sifat China.
Gaya campuran ini memang sesuai dengan masa, kapan bangunan ini dibuat. Menurut Claudia Salmon, bangunan utama Rumah Abu Han dibangun pada 1870-an, di mana gaya arsitektur Indis menjadi tren. Ketika keluarga marga Han pada masa itu bisa menghadirkan gaya arsitektur dan materialan bangunan yang kwalitas super, dapat diduga bagaimana latar belakang sosial dan ekonominya.
Bisa membangun rumah yang kokoh dan bisa langgeng menembus zaman adalah beaya mahal. Namun, berapa pun biayanya, keluarga Han kala itu sudah ingin menancapkan tetenger agar diketahui oleh generasi penerusnya.
Sesungguhnya, tidak hanya keluarga Han saja yang mampu menancapkan tetenger di Jalan Karet. Ada marga lainnya juga, yaitu marga The dan Tjoa.
Pun masih banyak marga lainnya, tapi mereka tidak bisa menancapkan tetenger seperti Han, The dan Tjoa. Salmon dalam sebuah artikelnya menyebut bahwa ada marga lain selain Han, The dan Tjoa, yakni Lim, Lio, Tan, Ong, Oey, Lee, Lauw, Kang, Gouw dan Cia. (nanang purwono)
Semoga dikawasan Jl. Rajawali dan sekitarnya, di Jl. Kembang Jepun dan sekitarnya maupun didaerah Ampel dan sekitarnya harus tetap dipertahankan bentuk bangunan2nya tanpa merubah dari bentuk aslinya. Tetap terjaga keasriannya, kebersihannya karena merupakan heritage kota tua Surabaya.
Hidup kan kota tua yang hampir punah dengan ragam acara yang menarik seperti di kota tua jakarta semakin banyak turis yang tertarik dengan budaya indonesia lampau, dan menghasilkan devisa bagi negara