Penulis:
‘Om’ TP Wijoyo*
R.A.A Nitiadiningrat VI merupakan salah satu Bupati Surabaya di era masa kolonial. Mungkin banyak masyarakat khususnya Kota Surabaya kini yang tidak mengenal beliau. Berikut riwayat dari R.A.A Nitiadiningrat VI, yang saya ambil dari beberapa sumber sejarah.
R.A.A Nitiadingrat VI lahir pada 12 Juli 1870, terlahir dengan nama kecil Raden Bagoes Mahmoedoen (baca : Bagus Mahmudun), dan nama ningrat “Raden Ario Soerioadipoetro”. Beliau merupakan putra dari “Raden Toemenggoeng Ario Soerjoningrat” (Bupati Probolinggo).
R.A.A Nitiadiningrat pada tahun 1884 hingga1887 mengenyam pendidikan di Hoofdenschool Probolinggo. Setelah lulus pendidikan pada tanggal 14 Juni 1887, berdasarkan Besluit Resident Pasuruan No:3442/2, beliau yang saat itu berusia 17 tahun mulai menjabat sebagai “Juru Tulis” Regent Pasuruan.
R.A.A Nitiadingrat VI. Foto: KITLV
Selama setahun beliau menjabat sebagai Juru Tulis Regent Pasuruan, kemudian pada tanggal 2 Oktober 1888, berdasarkan Besluit No:5121/2, beliau menjabat sebagai “Mantri Ulu-Ulu” di Winongan Pasuruan.
Kemudian pada tanggal 5 Februari 1890, berdasarkan Besluit No. 755/2, beliau dipindah menjabat sebagai “Mantri Ulu-Ulu” di District Gempeng (Bangil), bertempat di desa Oro-Oro Ombo.
Pada tanggal 22 October 1891, berdasarkan Besluit No. 6229/2, beliau kemudian menjabat sebagai “Mantri Kopi” di Wagir (Kotta Malang). Dan kurang lebih 6 bulan beliau tinggal di Bedali (dekat Lawang, Malang).
Pada tanggal 22 Februari 1893, berdasarkan Besluit No:747/2, beliau menjabat sebagai “Assistent Wedono” Klas 2 di Karangplosso (Malang).
Pada tanggal 5 Mei 1894, pada hari Sabtu, beliau melangsungkan pernikahan dengan Putri dari Bupati Surabaya “R.A.A Tjokro Negoro” (baca : Cokronegoro).
Pada tanggal 31 Mei 1897, berdasarkan Besluit No. 1949/2, beliau menjabat sebagai “Assistent Wedono” Klas 1 di Karangploso (Malang).
Kemudian setahun berikutnya pada tanggal 13 Mei 1898, berdasarkan Besluit No. 1918/2, beliau menjabat sebagai “Assistent Wedono” di Soemberpoetjoeng (Malang).
Pada tanggal 18 September 1901, berdasarkan Besluit Gouvernement No:17, beliau menjabat sebagai “Wedono” di Gondanglegi (Malang).
Pada tanggal 29 Maret 1905, berdasarkan Besluit 29 Maart 1905 No. 5, beliau menjabat sebagai “Patih” di Bangil.
Lima tahun kemudian pada tanggal 28 Januari 1910, berdasarkan Besluit 28 Januari 1910 No:26, beliau menjabat sebagai “Zelfstandig Patih” di Afdeeling Kraksaan (Probolinggo). Sekaligus dalam menjabat beliau sering dijadikan “wakil-wakil Assistent Wedono” dan “Wedono” serta sering mendapatkan “gandjaran” uang gratificatie dari wakil-wakil di wilayah itu.
Pada tanggal 6 September 1912, berdasarkan Besluit dari Kangdjeng Gouvernement, 6 September 1912 No:3, beliau diangkat menjadi “Bupati Surabaya”. Serta berdasarkan Besluit 19 Maart 1913 No. 3353, beliau mengganti nama gelarnya menjadi “Raden Toemenggoeng Ario Nitiadiningrat VI”, (karena beliau merupakan keturunan ke-6 dari Keluarga Nitiadiningrat).
Beliau juga pernah dua kali menjabat sebagai Bupati Sidoardjo, yakni pada tahun 1925 dan terakhir tahun 1932.
Raden Tumenggung Ario (R.T.A) Nitiadiningrat VI menjabat sebagai Bupati Surabaya pada tahun 1912 hingga 1934 , berkisah dari catatannya :
“Bahwa, pada tahun 1880an dan 1890an, pada abad-19, Surabaya telah jauh berbeda. Belum lama berselang, “Benteng-Benteng” dirobohkan, parit-parit di sekitarnya terisi, alun-alun (sekarang Passer Besar) diluncurkan, dan eksodus orang-orang kaya dimulai.”
“Kota mulai bergerak ke arah selatan ke daerah : Tunjungan, Genteng, Embong Malang dan Simpang menjadi kawasan pemukiman.”
“Toko-toko pindah dari “Heerenstraat – Boomstraat – Komedieplein” ke “Sociëteitstraat” dan “Passer Besar.” Lambat laun ada pembicaraan tentang “Kota Bawah” dan “Kota Atas”. Tetapi perubahan besar dalam aspek perkotaan dimulai setelah tahun 1900, kemudian ketika “Stadsgemeente” (kotamadya) didirikan dan berjalan lancar.
“Perubahan terbesar di kota Surabaya, diamati oleh Bupati Nitiadinigrat VI selama menjabat Bupati Surabaya, Kabupaten kota baru yang luas (Gubeng, Sawahan, Ngagel, Darmo, Kupang dan Ketabang), ditambahkan ke dalam rencana kota yang ada.”
“Kota tumbuh dengan pesat dalam populasi, terutama pada periode 1910 hingga 1923. Rumah-rumah modern yang bagus sangat dibutuhkan. Backlog harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tak perlu dikatakan bahwa kesalahan telah dibuat.”
Dikarenakan banyaknya pengalaman yang pernah beliau jabat serta kemampuan beliau dalam memerintah, pemerintah kolonial saat itu memberikan anugerah penghargaan kepada R.A.A. Nitiadiningrat berupa sertifikat kepuasan pada tahun 1918.
Lima tahun kemudian R.A.A Nitiadingrat terpilih sebagai predikat “Adipati / Bupati” yang baik dan cakap dalam kinerjanya, dan berhak untuk membawakan “Payung Kuning”. Pada bulan Agustus 1927 beliau mendapat penghargaan “Bintang Jasa Emas Besar”. Dan pada bulan Agustus 1932, beliau diangkat sebagai “Perwira Ordo Oranye-Nassau” oleh pemerintah kolonial.
Pada saat menjabat sebagai Bupati Surabaya, R.A.A. Nitiadi Ningrat VI, sempat menulis buku : “SEDJARAH PORO LELOEHOER DIE PASOEROEWAN”, yaitu sebuah buku tentang sejarah Pasuruan dan keluarga Nitiadiningrat dengan cukup detail.
Pada tahun 1926, dilaporkan R.A.A. Nitiadiningrat VI berniat serius untuk pensiun sebagai Jabata Bupati pada bulan Juni 1927. Saat itu beliau berusia 57 tahun, dan sudah mengabdi sebagai pejabat pemerintahan selama 40 tahun, dan sudah 15 tahun menjabat sebagai Bupati Surabaya.
Namun, niat beliau ditolak oleh pemerintah kolonial saat itu. Dan beliau tetap dipertahankan menjabat sebagai Bupati di Surabaya. Bahkan pada bulan Desember 1927, beliau menerima “Bintang Jasa Emas dari Residen Hardeman. Dan di tahun 1932, selain menjabat Bupati Surabaya, beliau juga diberi kepercayaan, menjabat sekaligus sebagai Bupati Sidoarjo. Pengangkatan yang kedua setelah yang pertama di tahun 1925.
Dan akhirnya di tahun 1934, saat usia beliau menginjak 64 tahun, pemerintah kolonial mengabulkan permohonannya untuk pensiun. Beliau resmi pensiun sebagai Bupati pada tanggal 31 Mei 1934. Pemerintah kolonial memberikan hormat serta ucapan terima kasih atas pengabdian R.A.A Nitiadiningrat VI. Beliau menjabat sebagai Bupati Surabaya selama selama 22 tahun. Pengganti R.A.A Nitiadingrat VI sebagai Bupati Surabaya adalah R.A.A. Soeriowinoto (Bupati Gresik).
R.A.A. Nitiadiningrat VI, wafat pada 12 Januari 1959, dalam usia 89 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di belakang Masjid Jami Kota Pasuruan. Beliau menyaksikan sejarah rakyat Indonesia pada masa kolonial, pendudukan Jepang, serta masa-masa di awal kemerdekaan.
Sumber:
Dirangkum dari berbagai artikel koran lama delper.nl”.
De Indische Courant”, 11 April 1934.
*‘Om’ TP Wijoyo. Pegiat sejarah di Komunitas Begandring Soerabaia, spesialis sejarah klasik.