Penulis: Nevy Eka Pattiruhu*
Fenomena Kereta Api Cepat seperti Wuss yang marak dibicarakan dewasa ini sebenarnya bukan hal baru. Hampir sembilan puluh tahun lalu, kereta serupa juga ada di Surabaya, dengan nama Vlugge Vijf.
Pada 1 November 1934, sebuah produk layanan kereta api baru berlabel “Vlugge Vijf” atau “Lima Cepat” rute Surabaya-Malang diluncurkan dengan durasi tempuh 1,5 jam, dari yang awalnya butuh 2,5 jam. Nama Vlugge Vijf diambil dari jadwal keberangkatan yang berjumlah 5 kali sehari pergi-pulang. Kereta ini menjadi kereta terbaik dan tercepat di masanya.
Dari Surabaya Sepur itu Melesat
Kejayaan Surabaya di masa kolonial sebagai kota pelabuhan utama di timur Jawa yang sibuk akan perputaran ekonomi & bisnis dengan barisan gedung-gedung perkantoran yang ada, menjadi sebab kota ini disesaki jumlah manusia yang cukup banyak. Tahun 1925 saja tercatat Surabaya sudah punya populasi 220 ribu jiwa.
Kereta “Vlugge Vijf” di St. Surabaya Gubeng | Foto: Repro “Railroad Magazine”
Rutinitas pekerjaan, suasana kota yang ramai, kepulan asap pabrik menjadi sesuatu yang biasa terlihat saat hari-hari kerja. Tentu aktivitas berulang demikian berdampak pada kejenuhan masyarakatnya, dan untuk mengatasinya warga Surabaya banyak “berlari” keluar dari penatnya rutinitas kerja saat libur akhir pekan menuju kawasan-kawasan yang tidak terlalu jauh dari Surabaya, salah satunya yang kemudian populer adalah Malang. Keindahan alam dan kesejukan hawa dingin khas pegunungan menjadk daya tarik, terlebih bagi para warga golongan kulit putih Surabaya yang kesehariannya menikmati hawa panas nan lembab Surabaya. Cara terbaik dan tercepat menuju Malang di akhir era abad 19 adalah naik kereta api.
Sudah sejak tahun 1879 Surabaya dan Malang terhubung dengan jalur kereta api milik perusahaan KA negara bernama Staatsspoorwegen (SS) yang dimanfaatkan bagi transportasi manusia, selain fungsi utamanya sebagai pengangkutan barang serta kebutuhan militer.
Di masa ini, perjalanan kereta dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya berdurasi 4 jam. Kemudian menjadi 2,5 jam di awal pergantian abad, seiring sarana dan prasarana yang terus berkembang, salah satunya seperti kehadiran lokomotif-lokomotif uap yang lebih berat dan cepat.
Pangsa pasar penumpang kereta kemudian perlahan dihantam oleh pesaing-pesaing transportasi berbasis roda karet seperti bus di dekade 1920-an, ditambah jalur rel Surabaya-Malang diketahui lebih memutar via Bangil ketimbang jalan raya yang melalui Gempol-Pandaan. Perlawanan pertama yang dilakukan SS adalah menurunkan tarif tahun 1929. Puncaknya ketika krisis ekonomi dunia era 1930-an atau malaise mematikan begitu banyak pendapatan dari sektor angkutan barang produk industri, sektor penumpang lalu disasar menjadi sumber pemasukan SS saat itu khususnya di rute-rute ‘gemuk’ milik SS seperti Surabaya-Malang. Untuk ini, racikan formula yang tepat adalah memadukan kecepatan dan kenyamanan dengan tarif terjangkau.
Lahirlah sebuah produk layanan kereta api baru berlabel “Vlugge Vijf” atau “Lima Cepat” pada 1 November 1934 yang memangkas waktu tempuh 2,5 jam menjadi 1,5 jam. Nama ini diambil dari jadwal keberangkatan yang berjumlah 5 kali sehari pergi – pulang (P.P) dengan waktu perjalanan yang cepat.
Kelahiran “Lima Cepat” tentu melalui serangkaian proses pengujian yang matang. Dalam hal kecepatan, saat itu SS berupaya untuk menambah batas kecepatan maksimum antara Surabaya – Bangil dari 75 – 85 km/jam menjadi 90 km/jam dan Bangil – Malang 75 km/jam dari sebelumnya 50 km/jam.
Iklan peluncuran “Vlugge Vijf” di koran De Locomotief, 29/10/1934
Dipilihlah lokomotif SS seri 1300 (dikenal juga; C28) yang paling cocok dengan keperluan menarik rangkaian yang terdiri dari 5 kereta bertonase total 125 ton. Fokus utama diberikan untuk lintas Bangil-Malang yang menanjak cukup terjal dengan kecuraman mencapai 21‰ , dibutuhkan tenaga 1450 dk (daya kuda) untuk membuat 1 rangkaian seberat 200 ton (5 kereta; 125 ton + 1 lokomotif; 75 ton) sanggup menanjak dengan kecepatan 75 km/jam. Ini agaknya berat bagi 1 lokomotif.
Maka pilihan lainnya adalah menggandakan jumlah lokomotif dengan total tenaga 2400 dk, sementara yang diperlukan bagi rangkaian 125 ton + 2 lokomotif berbeban 150 ton adalah 2250 dk. Jadilah traksi ganda lokomotif digunakan reguler untuk lintas pegunungan antara Bangil-Malang.
Lokomotif seri 1300 saat dipamerkan di Bandung sebelum ke Surabaya, 1935. | Foto: KSPI
Salah satu ujicoba dilakukan pada pertengahan oktober 1934 dengan mengundang awak wartawan/ jurnalis surat kabar. Salah satu tamu undangan datang dari surat kabar terkemuka saat itu “Indische Courant”. Sang jurnalis dengan kekagumannya menggambarkan bagaimana kesibukan para staf Staatsspoorwegen fokus memperhatikan kinerja kereta saat berjalan dari berbagai indikator di atas sebuah kereta ukur dinamometer. Ia turut menuliskan keyakinan bahwa layanan baru ini merupakan hal yang baik. Iklan peluncuran pun juga kemudian disebarkan melalui berbagai media cetak sehingga masyarakat dapat mengetahuinya.
Sukses Besar
Si “Lima Cepat” ternyata sukses besar, tidak hanya cepat secara arti harfiah namun juga cepat menjadi “mesin” penghasil keuntungan bagi SS. Di bulan pertamanya beroperasi tercatat 16.138 penumpang dengan pendapatan 10.524 gulden, berselisih jauh dibanding catatan penumpang rute Surabaya-Lawang-Malang sebelum bulan November, bahkan sukses pula menaikan jumlah segmen penumpang bertiket abodemen/langganan. Bulan Agustus; 3716 penumpang (pendapatan; 3243 gulden), September; 5402 penumpang (pendapatan; 3684 gulden), Oktober; 7947 penumpang (pendapatan; 4628 gulden), penyebab kenaikan juga didukung oleh penurunan kembali harga tiket sejak 1 September 1934.
Atas kesuksesan besar yang diraih, tak butuh waktu lama bagi SS menambah frekuensi perjalanan menjadi 6 kali P.P plus 1 jadwal fakultatif berlaku untuk akhir pekan pada 1 Mei 1935 dan “Vlugge Vijf” resmi berganti “Vlugge Zes” atau “Enam Cepat”. Saat gelaran Jaarmarkt (Pasar Malam) ke 21 di Surabaya yang berlangsung 28 September – 13 Oktober 1935, SS berpromosi sampai harus repot ‘menyeret’ keluar lintasan satu lokomotif seri kelas 1300 sebagai barang pajangan ikon bintang kesuksesan “Vlugge Zes” yang terkenal. Lokomotif tersebut lengkap diberi akses tangga di samping kiri dan kanan bagi pengunjung untuk naik menikmati isi interior kabin kemudi lokomotif. Bagian roda – roda lokomotif dibuat dapat berputar dengan tenaga motor listrik agar masyarakat pun juga bisa melihat mekanismenya sama seperti saat berjalan sungguhan.
Selain ramai di akhir pekan, kepadatan penumpang memuncak saat libur nasional contohnya libur hari raya Paskah. Bulan April dan Juli 1935 menyumbangkan pendapatan melebihi biasanya, jumlahnya masing – masing adalah 10.791 & 12.854 Gulden diatas bulan lainnya yang rata – rata ada di angka 8 – 9 ribu Gulden. Jadwal perjalanan yang diterapkan tahun 1935 bertahan selama beberapa tahun kecuali adanya penyesuaian pemberhentian di stasiun transit terkait koneksi dengan kereta malam “Java Nacht Express” sejak 1 November 1936. Kontrak kerjasama juga menyusul diteken oleh SS tanggal 10 Juni 1937 dengan perusahaan otobus swasta “BOM” atau “Batoesche Omnibus Maatschappij” asal Malang untuk menjadi feeder/angkutan terusan dari stasiun Malang ke Batu dan sebaliknya, kemudahan semakin terasa bagi penumpang karena tiket terusan KA & bus dapat dibeli melalui sistem ‘satu pintu’ di loket stasiun – stasiun keberangkatan.
Bus milik PO. BOM jurusan Batu – Malang P.P. | Foto: KSPI
‘Kegilaan’ SS terhadap kecepatan makin menjadi-jadi saat mereka berencana memangkas lagi waktu tempuh Surabaya-Malang yang diterapkan pada November 1938. Percobaan dilakukan saat awal tahun, tepatnya bulan Januari 1938. Jurnalis kembali diundang untuk merasakan dan mewartakan kesuksesan ujicoba SS itu. Percobaan itu sukses memecahkan rekor kecepatan baru yang menembus angka 106 km/jam yang didapat pada petak antara Halte Blimbing – St. Malang dan berhasil pula mempersingkat waktu menjadi 1 jam 15 menit, tetapi dikarenakan menyesuaikan dengan waktu berhenti di stasiun – stasiun maka penerapannya secara nyata di bulan november 1938 adalah 1 jam 20 menit. Sungguh pencapaian yang luar biasa saat itu.
Segala pencapaian ini tidaklah lepas dari berbagai macam usaha yang dilakukan SS bahkan sebelum dan setelah layanan sepur cepat Surabaya – Malang ini ada, seperti penggarapan jalur ganda antara Surabaya-Porong yang dikerjakan tahun 1926 lalu selesai tahun 1930, meski rencana awal jalur ganda akan terus sampai ke Bangil. Lalu penggantian jembatan kali Porong tahun 1937, pembangunan viaduk Gempol yang rampung 1940 sembari melakukan revisi jalur untuk membuat tikungan sisi selatan selepas jembatan kali Porong lebih lurus agar KA dapat dipacu maksimal saat itu.
Pengerjaan viaduk Gempol tahun 1939. Foto: Soerabaijasch Handelsblad
Tidak ketinggalan proyek pengelasan sambungan rel lintas Wonokromo- angil dan pemisahan jalur di Stasiun Bangil tahun 1939 antara Bangil-Banyuwangi dan Bangil-Malang yang telah lama dirasakan SS sebagai hambatan kecil karena kereta harus melakukan susul silang di Bangil. Pemisahan jalur ini kemudian diatur oleh sebuah blok pos dekat kali Larangan yang juga dibangun bersamaan. Sementara di Malang, 2 proyek dikerjakan yakni viaduk Klojen dan pendirian bangunan baru stasiun Malang. Proyek di Malang keseluruhan selesai pada awal 1941.
Layanan luar biasa milik SS ini harus terhenti dan tak pernah kembali lagi setelah kedatangan Jepang tahun 1942 maupun setelah kemerdekaan. Kehadiran KA Tumapel yang secara durasi tempuh pernah persis dengan era SS pun sebenarnya tak relevan bila diperbandingkan dari segi perspektif layanan. Seperti jumlah keberangkatan, progres kecepatan dan layanan intermoda dengan bus ke Batu dari stasiun Malang. Sebab tak ubahnya sepur cepat, era SS adalah sebuah kesatuan yang tidak hanya melulu soal kecepatan, tetapi sesungguhnya adalah jawaban dari bagaimana mengemas perjalanan yang menarik bagi para pengguna dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki oleh jawatan kereta api seperti SS.
*Nevy Eka Pattiruhu. Pegiat Sejarah di Komunitas Begandring, spesialisasi di bidang sejarah perkeretaapian.
Sumber:
- Spoor en tramwegen, 1934 – 1940
- De locomotief, 29/09/1934
- De indische courant, 3/10/1935
- Soerabaijasch handelsblad, 18/10/1934, 12/02/1938, 29/10/1939
- De stoomtractie op java en sumatra, 1982 – j.j.g oegema