Surabaya adalah kota industri terbesar dengan potensi warisan budaya dan sejarah yang kuat. Namun, Surabaya belum menjadi Kota Kreatif versi Kemenparekraf. Kota kreatif merujuk pada kota yang mampu menciptakan ruang serta mengakomodasi kreativitas dari warganya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi ekosistem kreatif di Surabaya?
Kesan yang mengemuka adalah belum kuatnya relasi pentahelix (akademisi, industri, pelaku/komunitas, pemerintah, dan media) secara sistematis dan berkesinambungan. Bukan berarti relasi itu tidak ada sama sekali. Relasi itu ada, namun perlu dipertegas keberadaannya.
Ada tiga hal yang dapat diajukan sebagai tawaran terhadap penguatan pentahelix tersebut.
Pertama, literasi. Throsby (2008) dalam concentric circles models menyebutkan literasi sebagai inti dari segala kreativitas, yang mendasari praktik-praktik industri kreatif seperti film, museum, warisan cagar budaya, dan lain-lain. Penyusunan ensiklopedia kearifan lokal objek pemajuan kebudayaan yang dilakukan FIB Unair bekerja sama dengan Dispusip Surabaya serta beberapa komunitas adalah ikhtiar konkret penguatan literasi kebudayaan dan kewargaan. Pemahaman terhadap potensi warisan budaya memunculkan sikap apresiatif yang mempermudah proses selanjutnya.
Kedua, kolaborasi. Kerja sama antara Pemkot Surabaya dengan komunitas Roodeburg Soerabaia dan Front Kolosal Soerabaja dalam pentas teaterikal pertempuran Surabaya di Tugu Pahlawan, atau Surabaya Art and Culture Festival 2021, patut diapresiasi. Namun, agak sulit menghilangkan kesan seremonial atau “atraksi dalam rangka” terhadap acara-acara itu. Seremoni penting, namun pemerintah kota selayaknya membangun sistem yang secara esensial mengakselerasi tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif.
Pemkot Surabaya perlu mempertimbangkan perubahan paradigma konsep atraksi atau pertunjukan dari seremonial menjadi esensial serta dari performatif menjadi interaktif. Performatif artinya seni yang dimainkan di atas panggung di mana penonton harus datang untuk menikmatinya. Pengalaman estetik yang didapat penonton tentu berbeda apabila mereka dapat menjadi bagian dari pertunjukan itu, lalu mengalami sensasi sebagai kreator sekaligus penonton di saat yang sama.
Pemkot Surabaya dapat mencoba seni-interaktif tersebut dalam program Tunjungan Romansa, di mana makna heritage dan street art menemukan signifikansinya: bersifat timbal-balik, natural, kadang-kadang agak nakal atau subversif, namun justru di situlah esensi maknanya. Tunjungan Romansa bukan sekadar public space, melainkan juga public sphere. Di kawasan itu, warisan budaya diaktualisasikan, di sana pula ruang persemaian gagasan dan ekspresi artistik dihadirkan.
Ketiga, resiliensi. Dibutuhkan strategi agar komunitas-komunitas kreatif tetap menemukan cara bangkit dan berkembang meski masih pandemi. Militansi Komunitas Begandring Soerabaia, contohnya. Sempat vakum, komunitas yang mengusung Surabaya Urban Track (Subtrack) tersebut kini aktif kembali. Di sektor film, Surabaya Film Associates (Surface) kini sedang memproduksi film layar lebar berlatar Surabaya.
Media dan industri turut berperan. Pada dekade 1990an hingga 2000an, Jawa Pos bersama seniman-seniman di Balai Pemuda rutin menggelar Festival Seni Surabaya (FSS), serta mempromosikan agenda-agenda seni di Galeri Surabaya. Media massa cetak memiliki kewibawaan dan kemampuan mengakselerasi program publik. Dengan menjadikan warisan budaya sebagai tema, best practice tersebut dapat diulang sebagai faktor kebangkitan kembali seni dan warisan budaya sebagai daya ungkit ekonomi kreatif di Surabaya.
Apabila relasi pentahelix terwujud dan berkembang, ekosistem kreatif di Surabaya akan produktif. Itulah prasyarat terciptanya apa yang Richard Florida (2002) katakan dalam buku The Rise of Creative Class sebagai kelas kreatif. Yakni, sekelompok profesi yang fokus pada kemampuan menciptakan makna baru dalam setiap produk dan praktiknya. (*)
Ditulis Oleh : Kukuh Yudha Karnanta, Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga