Mengoreksi Hari Jadi Kota Surabaya, Mengapa Tidak?

Kota Surabaya semakin metropolis dan bahkan kosmopolis karena sudah menjadi tempat hunian warga manca negara. Dengan semakin beragamnya komunitas manca dan nusantara di Surabaya, maka akan bijak bila jati diri kota bisa tetap terjaga dan tidak punah.

Karenanya, perlu ada upaya pelestarian kearifan lokal dan jejak sejarahnya sebagai bekal agar perkembangan dan pertumbuhannya tidak lepas dari akarnya. Akar suatu daerah, bisa berupa benda (artefak) dan nilai-nilai (values).

Kota Surabaya masih memiliki akar akar itu. Tapi semua bergantung pada warganya apakah mereka mau merawat, memupuk, dan menyirami agar tetap dan bisa tumbuh menjadi pohon yang tak lepas dari akarnya.

Dalam bahasa Jawa sendiri ada ungkapan yang berbunyi “kacang ora ninggal lanjaran“, yang berarti kebiasaan anak selalu meniru dari orang tuanya.

Ada identitas atau ciri dari tumbuhnya seseorang dan suatu daerah dari pendahulunya. Pun demikian dengan Kota Surabaya, bahwa ada ciri dan sifat yang dimiliki Surabaya meski Surabaya Berkembang menjadi kota yang besar dan kosmopolis.

Kita tahu bahwa sifat Surabaya itu “berani”, sebagaimana sesanti Surabaya sedari dulu. Yaitu, Sura ing Baya. Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya atau tantangan.

Sekarang, Pemerintah Kota Surabaya pun menggunakan jargon “Surabaya Wani”. Wani adalah nilai dasar yang secara natural dan kultural telah dimiliki rakyat Surabaya dari zaman ke zaman.

Surabaya lahir dengan membawa sifat berani. Surabaya lahir dari lingkungan yang dihuni oleh orang orang yang berani atau lazim disebut pendekar. Umumnya, pendekar telah hidup tidak jauh dari aliran sungai. Karena sungai, secara historis, menjadi tumpuan hidup suatu peradaban.

Begitu pula dengan Surabaya, yang telah menjadi wadah suatu peradaban. Dalam Prasasti Canggu (1358) sudah disebutkan bahwa Curabhaya adalah salah satu desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang letaknya di hilir sungai.

Mengoreksi Hari Jadi Kota Surabaya, Mengapa Tidak?
Pengurus Begandring Soerabaia menyerahan gugatan Hari Jadi Kota Surabaya kepada Wawali Armuji.

Melek Sejarah

Kota Surabaya boleh semakin modern, tapi jangan sampai lupa akar dan bahkan tercabut dari akarnya. Ini semua tergantung dari warganya.

Kita sungguh beruntung, warga kota Surabaya semakin hari semakin melek sejarah. Ini bisa dibuktikan dengan adanya jalur akademik yang membuka jurusan jurusan ilmu sejarah. Seperti di Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Baca Juga  Menelisik Gresik: Diskusi Jurnalistik Asyik di UISI

Belum lagi warga, yang secara mandiri mau belajar sejarah. Adalah komunitas sejarah yang semakin banyak jumlahnya. Mereka secara mandiri berburu data dan sumber-sumber sejarah untuk memperkaya pemahaman mereka di bidang sejarah.

Kiprah mereka menjadi praktisi dan pegiat-pegiat di bidang kesejarahan. Bahkan, mereka terlihat bagai sejarawan karena memiliki keluasan pengetahuan tentang sejarah.

Lainnya adalah penikmat sejarah, artefak, gedung dan tempat tempat yang menyimpan jejak sejarah. Itu semua menjadi latar (background) untuk dunia fotografi yang instagramable untuk dinikmati. Setting itu menjadi identitas lokal ketika karya fotografi itu menembus batas ruang dan waktu.

Ringkasnya, mereka semakin pintar dan paham sejarah daerahnya. Kemudahan mendapatkan sumber sumber mengasah rasa keingintahuan mereka, yang menjadi salah satu dari 18 nilai pendidikan karakter nasional.

Apalagi jika ada kelompok atau komunitas yang memang benar-benar fokus membidangi sejarah. Mereka tentu akan mengawal lestarinya nilai-nilai sejarah itu melalui kegiatan kegiatan yang mereka kreasi dengan tujuan edukasi.

Berikut Pendapat Sejarawan dan intelektual tentang Sejarah Hari Jadi Surabaya:

Adrian Perkasa (sejarawan Unair, Kandidat Doktor Universitas Leiden)

Sebaiknya memang kajian sejarah harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan perspektif maupun temuan-temuan termutakhir. Jadi, penulisan sejarah yang merupakan muara dari kajian atau penelitian itu ibarat tanda koma (,) bukan (.) kalau dalam sebuah kalimat.

Prof. Purnawan Basundoro (Dekan FIB Unair dan Ketua MSI Jawa Timur)

Kota Surabaya adalah kota yang sangat tua. Memiliki perjalanan sejarah panjang. Namun belum banyak informasi atau sumber sejarah tertulis yang ditemukan. Utamanya untuk periode pra Islam.

Akibatnya, masyarakat menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak-nebak tentang sejarah masa lalu tersebut.

Ini adalah tantangan bagi sejarawan dan pegiat sejarah untuk menemukan sumber-sumber sejarah tertulis yang lebih valid, yang bisa dijadikan bahan untuk menarasikan ulang sejarah Kota Surabaya.

foto: lensa indonesia

A. Hermas Thony (Wakil Ketua DPRD Surabaya dan Tokoh Kebudayaan)

Penulisan tentang hubungan Hujung Galuh dan Surabaya, di mana Hujung Galuh dianggap sebagai cikal bakal Kota Surabaya oleh tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yang melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975, adalah hasil dari penelitian yang kurang memiliki referensi masa lalu (sejarah) yang cukup. Apalagi penelitian itu mendasarkan pada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai toponimi Hujung Galuh.

Baca Juga  PTPN XI Terima Penghargaan Cagar Budaya

Sekali pun salah, keberadaanya telah mengilhami banyak hal yang bernilai positif. Sebagai warga yang baik, semua wajib menghormati karya mereka karena telah memiliki kesadaran awal dan spirit untuk mengisi ruang kosong sejarah surabaya yang lebih positif dalam rangka penyelamatan.

Soal ternyata yang ditulis dinilai kurang tepat dan Begandring Soerabaia menemukan bukti yang lebih kuat, saya rasa semua pihak tidak akan keberatan bila sejarah Surabaya terkait dengan Hujung Galuh dikoreksi, dan ini tradisi yang baik.

Begandring Soerabaia melalui karya film Koesno, Jati Diri Soekarno yang digarap secara kolaboratif dengan pihak akademik, media dan pemerintah dalam rangka meluruskan sejarah tempat lahirnya Bung Karno adalah metode yang baik dalam upaya pelurusan sejarah. Film itu dibuat berdasarkan kajian dengan sumber sumber sejarah yang valid.

Abimardha Kurniawan (dosen FIB Unair)

Terkait dengan prasasti Kamalagyan yang menuliskan Hujunggaluh dan atas pembacannya bahwa letak Hujung Galuh tidak di Kota Surabaya.  Untuk permasalahan Hari Jadi Kota Surabaya perlu kajian ulang, termasuk toponimi Pacekan yang menarik disimak.

Saya berharap agar kebenaran sejarah Hari Jadi Kota Surabaya terus disuarakan agar generasi muda bisa benar, benar mengenal sejarah yang sebenarnya.

foto: kabar gresik

Dukut Imam Widodo (penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe)

Sebenarnya sudah mempertanyakan sejarah Hari Jadi Kota Surabaya sebagaimana tertulis dalam salah satu bab di buku itu “Sudah Benarkah Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya?”.

Baru-baru ini ketika Begandring Soerabaia menemukan data dan fakta yang mutakhir, saya berani menyatakan kembali keraguannya mengenai Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293.

Menurut saya, para peneliti yang dibentuk Wali Kota Surabaya kala itu (1973), dalam menjalankan kerjanya telah memiliki orientasi pemikiran (framing) yang mengkaitkan Hari Jadi Kota Surabaya dengan nilai kepahlawanan 10 November 1945.

Karena framing itulah maka dicarilah peristiwa yang mengandung nilai-nilai kepahlawanan sesuai dengan peristiwa 10 November 1945.

Nilai kepahlawanan itu memang ada pada peristiwa kemenangan Raden Wijaya melawan Mongol pada 31 Mei 1293, sebagaimana ditulis dalam jurnal Archipelago Research In Asia yang berjudul “Mongol Fleet on the Way to Java: First Archeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia” yang ditulis oleh Hsiao-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arif Ma’rifat dan Truman Simanjuntak.

Baca Juga  Menata Kebesaran Bedanten

Tapi, laporan itu tidak menyebut bahwa Monggol meninggalkan Jawa melalui Surabaya pada 31 Mei 1293, sebagaimana ditulis dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (Humas Pemkot:1975).

Apalagi buku itu menuliskan bahwa keluarnya Monggol melalui kali Jagir, yang ada di wilayah Kota Surabaya. Dasar ini yang kemudian dipakai oleh tim peneliti menggunakan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Padahal ada kontradiksi informasi dari kedua sumber itu.

Kontradiksi itu semakin dipertajam oleh penulisan dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya bahwa Mongol meninggalkan Jawa melalui Kali Jagir. Secara alami, menurut peta Kota Surabaya tahun 1706 yang dikeluarkan Grote Atlas van de Verenigging Ost Indisch Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company, kali Jagir belum ada.

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Mongol keluar dari Jawa dengan malalui kali Jagir pada 1293?

Masalahnya kota ini sudah terlanjur dikenal sebagai Kota Pahlawan. Seandainya saja  tidak pernah terjadi peristiwa 10 November 1945, dan Surabaya sudah dikenal sebagai kota pelabuhan dengan Curabhaya-nya sebagaimana tersebut pada Prasasti Canggu ( 7 Juli 1358), mungkin arah pencarian atau framing akan berbeda.

Pencarian Hari Jadi Kota Surabaya hendaknya berdasarkan fakta dan temuan historis yang ada dengan didukung literasi yang cukup. Bukan dicari berdasarkan kepentingan dan framing, meski framing itu adalah baik. Semisal dicari dan disesuaikan dengan makna peristiwa kepahlawanan pada 10 November 1945. Jika sudah ada framing seperti itu, maka akan mengesampingkan temuan historis yang ada.

Framing dalam penentuan Hari Jadi ini diperkuat dengan kesaksian wartawan senior, Yousri Raja Agam. Menurut dia, bulan Mei pada penanggalan 31 Mei 1293 dipilih agar tidak berdekatan dengan peringatan hari hari besar lainnya yang sudah ada seperti bulan Agustus (17 Agustus) dan November (10 November). Hal itu disampaikan Yousri dalam sebuah diskusi publik bertema “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” pada 31 Mei 2021.

So, apakah kita berani melangkah untuk mengoreksi Hari Jadi Kota Surabaya? (nanang purwono)

 

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x