Peneleh Jadi Ibu Kota Di Era Raja Singasari

Kontroversi penetapan Hari Jadi Kota Surabaya masih menyisakan pertanyaan besar. Hari Jadi Kota Surabaya yang ditetapkan pada 31 Mei 1293 itu,  juga sempat digugat kelompok pegiat sejarah.

Diskursus tersebut juga merembet pada pertayaan penting, dimanakah Surabaya bermula?

Hingga saat ini, tidak ada pihak yang menanyakan letak awal Surabaya, sebelum kota ini menjadi sebesar dan seluas sekarang dengan ukuran 326,8 km2.

Sejatinya, pertanyaan itu sudah pernah terlintas dalam diskusi di Forum Begandring Soerabaia. Akan tetapi belum sempat tersaji secara khusus.

 

Prasasti Canggu 1358 M

Sesungguhnya Prasasti Canggu tahun 1358 Masehi telah mengidentifikasi letak Surabaya. Surabaya sebagaimana terinskripsi pada prasasti tersebut tertulis kan  “Churabhaya” dan digambarkan sebagai sebuah desa di tepian sungai (Kalimas, anak Sungai Brantas) yang melayani jasa penyeberangan (naditira pradeca).

Churabhaya terletak di utara “Bkul” (=sekarang Bungkul), yang sama-sama berada di tepian sungai. Sedangkan “Bkul” terletak di utara “Gsang” (=sekarang Pagesangan). Jika diurut dari selatan ke utara sesuai dengan arah aliran sungai, maka berjajar Gsang, Bkul dan paling utara Churabhaya.

Jika nama Gsang teridentifikasi dengan Pagesangan, Bkul dengan nama Bungkul, lantas dimanakah Churabhaya atau Surabaya? Jelas, kala itu Churabhaya (1358) tidak seluas Surabaya (2022).

Jika kembali menyimak prasasti Canggu yang dibuat Raja Hayam Wuruk pada 1358 M, di mana Hayam Wuruk mengenali bahwa di ujung utara sungai terdapat naditira pradeca Churabhaya, berarti sebelum 1358 Churabhaya telah ada.

Tidak hanya ada secara fisik dan kewilayahan, tetapi di Churabhaya juga sudah ada pranata kehidupan baik sosial maupun budaya. Lagi-lagi pertanyaannya, dimanakah letak Churabhaya yang sekarang menjelma menjadi Surabaya?

 

Temuan Sumur Jobong

Sebuah sumur kuno, Jobong, ditemukan di Kampung Pandean Gang I, Kelurahan Peneleh, Surabaya pada Oktober 2018. Posisinya tertanam sedalam satu meter di bawah permukaan tanah. Temuan arkeologi ini didapat ketika ada proyek galian gorong gorong.

Sumur jobong adalah sumur yang  berbentuk silinder dan terbuat dari terakota yang umumnya terdiri dari beberapa silinder tersusun (ditumpuk) ke bawah yang banyaknya sesuai dengan kedalaman sumur. Sumur jobong ini banyak ditemukan di Trowulan, Mojokerto. Sedangkan temuan sumur jobong di Pandean adalah satu satunya di Surabaya.

Ketika ditemukan, di sekitar dan di dalam sumur terdapat fragmentasi tulang tulang manusia. Setelah dilakukan uji karbon terhadap tulang tulang tersebut, diketahui bahwa tulang tertua adalah dari kematian tahun 1430 M. Jika sumur dijadikan media untuk penempatan tulang, maka usia Sumur Jobong Pandean jelas lebih tua daripada usia tulang tertua (1430).

Sebetulnya usia tulang bukanlah fokus di sini. Melainkan adanya peradaban di kawasan Pandean inilah yang menjadi perhatian. Artinya pada kisaran tahun 1430 dan bahkan sebelum itu sudah ada peradaban di Pandean.

Baca Juga  Abah Khotib dan Impian Pendirian Museum Sunan Ampel

Secara alamiah Pandean dan Peneleh adalah kawasan yang secara geografis berada di sebuah Delta Sungai atau di antara dua Sungai (Kalimas dan Pegirian). Lahan Delta terkenal subur. Di manapun itu. Alasan inilah yang menyebabkan kawasan Delta menjadi jujugan peradaban nenek moyang. Tak terkecuali kawasan Delta Pandean Peneleh yang ada diantara Kalimas dan Kali Pegirian.

Dengan diketemukan sumur jobong dan fragmentasi tulang tulang manusia, berarti kawasan Pandean telah lama dihuni manusia. Kawasan ini bisa diduga sebagai Churabhaya sebagaimana terinskripsi pada prasasti Canggu 1358. Secara geografis Pandean Peneleh terletak di tepian sungai, dekat dengan bagian hilir sungai dan berada di utara Bungkul.

Meski temuan sumur jobong adalah bukti nyata temuan arkeologis di Surabaya dan terhitung temuan benda kuno tertua di Surabaya, nampaknya masih perlu data lain untuk mengatakan bahwa Naditira Pradeca Churabhaya itu di Pandean-Peneleh.

Glagah Arum

Glagah Arum tentu nama yang sangat asing bagi warga Surabaya. Dapat dipastikan mereka tidak tau apa itu Glagah Arum.

Menurut GH von Faber dalam bukunya “Er Werd Een Stad Geboren”, Glagah Arum adalah sebuah pusat peradaban yang dibuka oleh Ranggawuni (Wisnuwardhana), Raja Singasari ke empat yang memerintah dari 1248 – 1268. Pusat peradaban ini merupakan pindahan dari dataran gunung Kembang Kuning. Di tempat yang baru, Glagah Arum, Ranggawuni membangun benteng pertahanan Grogol.

Glagah Arum adalah tempat istimewa dengan lokasi yang strategis dan subur. Apalagi Glagah Arum dilengkapi dengan benteng pertahanan Grogol. Selain ada benteng Grogol, Ranggawuni masih membangun benteng pertahanan yang ideal jauh di selatan yang tidak jauh dari aliran Brantas yang menjadi urat nadi perhubungan di jamannya.

Glagah Arum sengaja dipersiapkan untuk salah satu putera Ranggawuni yang tertua dari istri selir. Sedangkan satu putera lainnya, putera bungsu, dari istri permaisuri. Ia adalah Kertanegara. Konon kedua saudara ini tidak akur.

Di masa jayanya Wisnuwardhana sempat mengangkat putra sulungnya, Kertanegara, sebagai raja muda pada 1254. Pada saat itu Kertanegara masih sangat muda. Kemudian sesaat sebelum Wisnuwardhana wafat 1268, ia sempat memanggil putera tuanya dan memberi jabatan Kanuruhan (=Letnan Gubernur / Gezaghebber) untuk memimpin di Glagah Arum.

 

Naik Tahta

Sikap yang diambil Wisnuwardhana ini amat bijak dan adil. Sebelum ia wafat, ia sudah sudah sempat mewariskan jabatan kepada kedua puteranya, meski masing-masing dari ibu yang berbeda.

Kertanegara dari ibu permaisuri bertahta di Kerajaan Singasari. Sementara putra tuanya dari ibu selir bertahta di Glagah Arum. Singasari berada di pedalaman Jawa. Glagah Arum ada di daerah pesisir Jawa. Kedua saudara ini akhirnya terpisah jauh.

Kejayaan Singasari tertoreh di bawah kepemimpinan Kertanegara (1268-1292). Ia raja yang bijak. Di masanya, ia sempat melakukan perombakan kabinet yang ternyata mengakibatkan ketidakpuasan terhadap sebagian jajarannya.

Baca Juga  Menyusun Kepingan Peta Sejarah yang Berserak

Kesempatan itu dimanfaatkan saudaranya di Glagah Arum,  Kalana Bhayangkara (Kalana Bhaya) untuk melakukan pemberontakan pada 1270. Pemberontakan ini dikenal dengan Pemberontakan Kanuruhan, yang oleh GH von Faber dalam buku “Er Werd Eenstad Geboren” disebut “De Opstandige Gezaghebber”.

Di masa Kertanegara, tercatat terdapat 3 pemberontakan. Dua adalah Pemberontakan Kanuruhan (1270) dan Pemberontakan Mahisa Rangkah (1280). Kedua pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Kertanegara.

Namun, satu pemberontakan lagi yang pada akhirnya menyebabkan ia tewas. Yaitu, pemberontakan Jayakatwang. Bupati Gelang-Gelang yang menewaskan Kertanagara pada tahun 1292.

 

Peneleh Ibu Kota Glagah Arum

Adalah Ranggawuni (Wisnuwardhana), raja keempat Singasari, yang memiliki peran dalam struktur dan kontruksi awal di wilayah yang sekarang dikenal dengan Surabaya.

Kala itu, pusat kekuasaan Ranggawuni di luar Tumapel adalah Canggu Lor di Kawasan Gunungsari sekarang. Di sana terdapat perbentengan, seperti di Ngasem, Kota, Madoeran, Jagalaga dan Jajarsanga.

Selain itu, terdapat pelabuhan pelabuhan sungai besar seperti Karang Poh, Katintang, Karah dan Ambeng Ambeng. (FG von Faber: Er Werd Eenstad Geboren)

Agak ke sebelah barat dari Canggu Lor, terdapat Kembang Kuning yang termasuk lokasi administrasi Ranggawuni. Lokasi ini dinilai kurang strategis secara geografis, kemudian pusat kekuasaan Kembang Kuning dipindahkan ke kawasan Delta Sungai, yakni Glagah Arum (= Peneleh Pandean).

Di tempat itulah, Ranggawuni menyiapkan pusat kekuasaan baru untuk salah satu anaknya, saudara tiri Kertanegara, yang selanjutnya berjuluk Kanuruhan.

Dari literasi baik yang berupa prasasti (Canggu), literasi (GF von Faber: Er Werd Eenstad Geboren) dan temuan faktual (sumur jobong pandean) sudah merujuk pada satu titik twntang awal mula Surabaya.

Bahwa Surabaya bermula dari Peneleh-Pandean, yang jika dilihat dari sudut pandang waktu, maka secara resmi adalah 1270 sejak padamkannya Pemberontakan Kanuruhan oleh Kertanegara.

 

Joko Dolog dan GH. Von Faber

Arca Joko Dolog menjadi bagian dari lansekap taman, yang dulu di era pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan nama Cruisenpark. Kini Taman Apsari. Letaknya di selatan taman di bawah rerimbunan pohon dan di atas gundukan tanah kecil. Di situlah arca Joko Dolog berada beserta fragmentasi batu dan arca arca candi lainnya.

Ketika serpihan fragmen candi dikenali bersifat Hindu, maka arca Joko Dolog berupa patung Budha yang sifat Budha. Arca Joko Dolog adalah perwujudan Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari yang wafat karena dibunuh Jayakatwang pada 1292.

Semasa hidupnya ia pemeluk ajaran Siwa-Budha. Kertanegara diperabukan di Candi Jawi, Pandaan yang secara fisik menjadi perpaduan Siwa Budha. Candinya bersifat Hindu dan mahkotanya berupa stupa Budha.

Arca ini berasal dari sebuah kandang gajah di desa Bejijong, Trowulan kabupaten Mojokerto, yang dibawa oleh residen de Salls pada 1817. Tujuannya hendak dibawa ke Belanda tapi gagal dan pada akhirnya menjadi koleksi museum kota, Stefelijk Museum Soerabaia, yang letaknya di samping istana Simpang (Huiz van Simpang). Sekarang menjadi gedung negara Grahadi.

Baca Juga  Sisa Struktur Toko Nam Perlu Ditinjau Ulang. Mangapa? 

Adalah GH von Faber yang mengoleksi benda benda bersejarah di museum yang ia dirikan di samping Huiz van Simpang. Sekarang menjadi sekolah Trimurti.

Arca Joko Dolog menjadi benda otentik, yang mendukung tulisan tulisannya tentang sejarah lahirnya sebuah kota. Buku itu bernama Er Werd Eenstad Geboren  (1953). Buku ini berbahasa Belanda dan belum banyak diketahui oleh berbagai kalangan, termasuk oleh pemerintah Kota Surabaya.

Padahal, buku ini sangat penting  yang isinya menyajikan sejarah awal mula peradaban Surabaya. Sayang buku yang merupakan salah satu dari trilogi karya von Faber ini pernah dicibir oleh seorang profesor senior yang ahli di bidang tata kota.

Menurutnya, buku tersebut sekadar imajinasi penulisnya. Penulis adalah wartawan, budayawan dan sejarawan. Dia adalah GH von Faber. Ia lahir di Surabaya pada 1899 dan meninggal di Surabaya pada 1955 dan dimakamkan di Kembang Kuning.

Von Faber adalah arek Surabaya blasteran Belanda Jerman dari ayah dan murni berdarah Belanda dari ibu. Ia bekerja di beberapa surat kabar dan mendapat tugas dari pemerintah Kota Surabaya untuk menulis buku buku tentang Surabaya. Trilogi bukunya yang terkenal adalah Oud Soerabaia, Nieuw Soerabaja, dan Er Werd Eenstad Geboren.

Buku yang terakhir Er Werd Eenstad Geboren  (1953) justru menceritakan awal mula Surabaya. Buku inilah yang dianggap sebagai khayalan von Faber sebagai seorang wartawan, budayawan, dan sejarawan oleh sang profesor tata kota. Buku ini dianggap tidak memiliki referensi sejarah dalam proses penulisan.

Padahal jika dibuka, buku ini masuk dalam kategori karya ilmiah karena di setiap halaman terdapat catatan kaki (footnote) yang menunjukkan sumber sumber sejarah yang ia pakai dalam proses penulisan. Salah satu bentuk sumber adalah Negarakertagama dan Pararaton.

Dalam buku Er Werd Eenstad Geboren ini, von Faber menyajikan tokoh Ranggawuni (Raja Wisnuwardhana) dan Raja Kertanegara. Adalah Kertanegara yang berhasil menumpas Pemberontakan Kanuruhan pada 1270 M yang kemudian resmi menjadikan lahirnya sebuah kota.

Er Werd Eenstad Geboren berarti Lahirnya Sebuah Kota. Kota yang dimaksud adalah Glagah Arum (=Peneleh-Pandean) atau Churabhaya pada 1270.

Selanjutnya pada 1275, Kertanegara membuka permukiman baru di utara Penelah, yakni di lingkungan Pengampon. Jadi Peneleh pernah menjadi sebuah ibu kota, ibu kota Glagah Arum.

Karuan saja ketika Raja Majapahit, Hayam Wuruk pada 1358 anjangsana di wilayah kekuasaannya dan memberikan sima pada daerah daerah naditira pradeca, ia menyebut nama Churabhaya. Ia jelas tidak akan bisa menyebut dan menulis kata “Churabhaya “ jika ia tidak menemukan desa yang sudah bernama itu Churabhaya. (*)

Ditulis Oleh : Nanang Purwono, ketua Begandring Soerabaia 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *