Pengarungan Ekspedisi Bengawan Solo 2022 Dimulai

Senin (18 /8/2022), pengarungan Bengawan Solo dalam misi Ekspedisi Bengawan Solo 2022, sudah memasuki hari kelima. Diawali dari outlet Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah pada 14 Juli lalu, Minggu (17/6/2022), sudah memasuki wilayah Sragen.

Sehari berikutnya, pengarungan dilanjutkan untuk menuju tempat tempat berikutnya hingga di hilir Bengawan di kabupaten Gresik. Jarak total yang ditempuh mulai hulu hingga hilir 462 km.

Pengarungan Bengawan dalam misi Ekspedisi Bengawan Solo 2022 ini adalah untuk meneliti ekologi lingkungan, sejarah budaya dan sosial ekonomi. Pengamatan langsung terhadap kondisi ekologi dan lingkungan akan menjadi temuan temuan dalam Ekspedisi ini, baik itu temuan yang berupa ancaman terhadap lingkungan maupun temuan temuan yang berupa potensi lingkungan yang dapat dikembangkan. Semuanya akan menjadi rekomendasi untuk selanjutnya disikapi bersama secara kolaboratif antar lembaga agar ke depan Bengawan Solo tetap terjaga dan memberi manfaat.

Selain itu, pengarungan Bengawan Solo ini juga membawa misi eksplorasi sejarah dan budaya. Adapun yang menjadi dasar eksplorasi ini adalah sumber prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Yaitu Prasasti Canggu (1358 M).

Prasasti ini secara lileral menyebut desa desa di tepian Bengawan yang berjasa menyediakan jasa tambangan (penyeberangan sungai). Ada sekitar 44 desa penyedia jasa tambangan (naditira pradeca) di sepanjang Bengawan Solo. Desa paling hulu adalah Wulayu (Surakarta) dan desa paling hilir adalah Bedanten (Gresik).

Selain prasasti Canggu, dasar penelitian lainnya adalah sebuah Babad. Yakni Babad Madura yang ditulis pada 1833. Babad ini menceritakan perjalanan keluarga Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuju pulau Madura untuk meminang Puteri kerajaan Madura. Dalam perjalanan itu, mereka singgah di beberapa desa sebagaimana tersebut dalam prasasti Canggu. Salah satu desa itu adalah Bedanten di hilir Bengawan sebelum menyeberang selat Madura.

Dalam pengarungan Bengawan ini, mereka menumpangi perahu yang bernama Baita Kiai Rajamala. Perahu ini dibuat oleh calon Pakubuwono V di masa pemerintahan Pakubuwono IV. Dimasanya perahu Rajamala ini termasuk perahu besar untuk transportasi sungai. Panjang perahu mencapai 70 meter dengan lebar 21 meter. Di dalamnya dilengkapi dengan kamar kamar, termasuk kamar persenjataan dan amunisi. Perahu dilengkapi dengan meriam meriam.

Baca Juga  Benteng Budaya dan Kearifan Lokal yang Makin Terkikis

Ilustrasi spesifikasi perahu ini disampaikan oleh dosen dan ahli keris Surakarta, Joko Suryono dalam sebuah sarasehan budaya di Pesanggrahan Langenharjo, Sukoharjo pada Jumat, 15 Juli 2022. Perahu Rajamala menjadi bagian sejarah penting bagi kerajaan Kasunanan Surakarta. Karenanya hiasan perahu yang umumnya dipasang dibagian depan dan buritan perahu, yang disebut “canthik” disimpan di Keraton Surakarta dan museum Radya Pustaka Solo sebagai Pusaka keraton.

Canthik Rajalama, begitu pusaka ini disebut. Rajamala adalah nama tokoh pewayangan yang sakti dan kuat. Replika canthik Rajamala ini disimpan di Pesanggrahan Langenharjo.

Pesanggrahan Langenharjo adalah istana alit yang menjadi tempat peristirahatan keluarga raja dan bangsawan di luar keraton. Jarak antara keraton Surakarta dan Pesanggrahan Langenharjo sekitar 10 kilometer. Letaknya di selatan Surakarta dan berdiri menghadap Bengawan Solo. Antara bangunan Pesanggrahan dan bibir Bengawan pernah berfungsi sebagai alun alun. Dari tempat ini lah keluarga kerajaan anjangsana ke luar negeri dengan menggunakan perahu Rajamala.

Taman Apem Sewu, lintasan yang dilewati Ekspedisi Bengawan Solo 2022.foto:begandring

Sarasehan Budaya

Sarasehan menjadi salah satu rangkaian kegiatan darat dalam misi Ekspedisi Bengawan Solo 2022 ini. Selain menjadi wadah untuk berbagi temuan selama pengarungan air, sarasehan menjadi media untuk berbagi kisah dan cerita terkait dengan sejarah dan budaya yang terkait dengan Bengawan.

Bengawan Solo memiliki sejarah peradaban panjang yang usianya sudah jutaan tahun. Sementara melalui prasasti Canggu (1358) dan Babad Madura (1833) kebesaran masa lalu yang terkait pada masa masa itu kiranya dapat digali untuk membangun kebesaran di masa depan.

Profesor Prabang Setyono dari Universitas Sebelas Maret Solo dalam sarasehan budaya di Pesanggrahan Langenharjo pada 15 Juli 2022 mengatakan bahwa dalam menyikapi Bengawan Solo hendaknya memiliki tiga orientasi masa. Yakni masa lalu, sekarang dan mendatang. Masa lalu menjadi cerminan masa kini untuk menatap masa depan.

Sementara PIC Bidang Sejarah dan Budaya, Ekspedisi Bengawan Solo, N. Purwono, mengatakan bahwa dengan mengacu pada sumber premier (prasasti Canggu dan Babad Madura) sudah dapat diketahui adanya peradapan maritim di sepanjang Bengawan Solo. Namun sayang, peradaban itu kini semakin luntur. Padahal negeri ini, terutama Jawa, masih memiliki sarana maritim sungai yang bisa dimanfaatkan sebagai jalur transportasi.

Baca Juga  Konsep Fisolofi Jawa Sebagai Tuntunan Hidup

Dibandingkan dengan sungai sungai yang ada di tempat lain, seperti: Sungai Parramatta di Sydney, Australia; sungai Thames di London, Inggris; sungai Amstel di kota Amsterdam, Belanda dan sungai Suriname di kota Paramaribo, Suriname, sungai Bengawan Solo terhitung sungai yang mulai memudar peradaban airnya. Yakni air sebagai sarana transportasi.

Di era Majapahit (abad 13 – 15) dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (18 -19) Bengawan Solo menjadi sarana transportasi air dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Sementara kini pada abad 21, tidak ada lagi transportasi air seperti masa lalu. Padahal potensinya masih dapat digunakan sebagai modal transportasi air untuk masa sekarang dan mendatang. Ketika sungai di Kalimantan dan di negara negara lain bisa, mengapa Bengawan Solo dan Brantas tidak bisa?

Sejatinya sarasehan yang menyajikan temuan temuan lapangan inilah yang bisa menjadi pemikiran bersama dalam memuliakan Bengawan Solo sebagai bagian dari alam yang bisa dimanfaatkan secara arif lingkungan dan budaya.

Perahu Kiai Rajamala memang menjadi tema utama yang disajikan oleh pembicara dalam sarasehan budaya di Pesanggrahan Langenharjo. Ada Joko Suryono, dosen dan peneliti keris Surakarta; ada Nunung, pegiat sejarah lokal Solo yang tergabung dalam Solo Mini Trip; ada Gusti Nino, keluarga Dalem Keraton Kasunanan Surakarta; serta Nanang Purwono, PIC Bidang Sejarah Budaya Ekspedisi Bengawan Solo 2022.

Dari keempat narasumber sarasehan sejarah dan Budaya ini diketahui bahwa Perahu Rajamala menjadi simbol alat transportasi di Bengawan Solo. Jika pada masa lalu Bengawan Solo sudah menjadi sarana transportasi, maka sekarang dan mendatang, kiranya transportasi Bengawan Solo bisa menjadi alternatif moda transportasi di pulau Jawa. Dengan demikian desa desa di tepian

Bengawan yang pernah jaya di era Majapahit dan Kasunanan Surakarta dapat hidup dan lebih memberi manfaat sebagaimana diamanahkan dalam Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya dan Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Replika tombak Baita Kiai Rajamala karya Joko Suryono.foto:begandring

 

Wulayu

Nama Wulayu adalah salah satu nama naditira pradeca yang tersebut dalam prasasti Canggu (1358). Wulayu adalah naditira pradeca paling hulu. Letaknya di  Surakarta, Jawa Tengah.

Baca Juga  Mengenal Kadipaten dan Kabupaten Surabaya

Wulayu pernah menjadi nama Bengawan, sebelum dikenal sebagai Bengawan Solo. Diyakini bermula dari Bengawan Wulayu, lalu dikenal sebagai Bengawan Semanggi dan akhirnya Bengawan Solo. Nama Solo sendiri berawal dari Desa Sala, yang berada tidak jauh dari bengawan dan berdekatan dengan desa Wulayu yang disebut dalam Prasasti Canggu.

Desa Wulayu dan Desa Sala terhubung  dengan sungai yang bermuara dari bengawan Solo. Sungai ini bernama sungai Pepe. Melalui sungai Pepe inilah lalu lintas air dari wilayah keraton ke Bengawan Solo terkoneksi.

Lokasi kraton di desa Sala (Solo) dipilih karena terkoneksi dengan adanya pertemuan Bengawan Solo dan keli Pepe yang airnya mengalir hingga desa Sala. Warga setempat meyakini bahwa tempuran sungai (Bengawan Solo dan kali Pepe) memiliki kekuatan magis. Secara logis, tempuran kali merupakan jalur perdagangan penting kala itu. Ternyata Kali Pepe menjadi urat nadi perdagangan di Pasar Gedhe.

Kali Pepe sendiri diyakini telah ada semenjak zaman Kerajaan Majapahit dan terkait dengan desa di tepian sungai yang bernama Wulayu. Naditira pradeca Wulayu ini menghubungkan ke desa lain di seberang sungai, sebagaimana ditulis dalam prasasti Canggu. Sementara di sepanjang bengawan Solo ini terdapat 44 tempat atau bandar penyeberangan sungai. Bandar paling hulu adalah bandar Wulayu, bandar besar yang menjadi tumpuan lapak perdagangan dari desa desa di sepanjang Bengawan dan dari pedalaman Sala.

Persis di dekat tempuran sungai, yang masih dalam area Taman Apem Sewu dan kawasan pintu air Demangan, Sewu, Jebres, Surakarta, masih ditemukan jasa penyeberangan sungai. Karena jasa penyeberangan seperti inilah pada tahun 1358 M, raja Majapahit Hayam Wuruk mencatat nama Wulayu dalam sebuah prasasti yang disebut prasasti Canggu.

Karena perkembangan jaman, perubahan pun terjadi, termasuk perubahan nama. Misalnya nama Ci Wulayu (Bengawan Wulayu) berubah menjadi Bengawan Semanggi dan terakhir menjadi Bengawan Solo. Tambangan di Beton, Surakarta ini, adalah wujud peninggalan maritim kerajaan Majapahit yang selanjutnya diteruskan di era kerajaan Kasunanan Surakarta mulai dari era Pakubuwono V hingga VII dengan menggunakan Baita Kiai Rajamala. (*).

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x