Pers sangat tidak bisa dilepaskan dari semangat pergerakan. Karena faktanya, semua tokoh pergerakan nasional adalah para jurnalis yang berdediaksi, berani menyuarakan kepentingan masyarakat, dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
Demikian benang merah diskusi “Sejarah Pers Nasional” yang diadakan dalam rangka 1st Anniversary Begandring.com di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, Kamis (9/2/2023) malam.
Acara ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Imam Syafii (anggota DPRD Kota Surabaya), dan Dwi Eko Lokononto (pemimpin umum Beritajatim.com) dan Kurcarsono Prasetyo (direktur The Begandring Institute). Bertindak sebagai moderator, Agus Wahyudi (jurnalis senior).
Begandring.com adalah portal berita sejarah dan budaya. Portal ini dilaunching pada 9 Februari 2022 lalu, bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN).
Dalam pemaparannya, Kuncarsono Prasetyo menerangkan relasi pers dan spirit pergerakan. Di mana banyak tokoh bangsa yang berjasa punya background sebagai jurnalis. Mereka mampu menuangkan gagasan, ide, dan kritik dalam tulisan.
“Kata kuncinya itu, tokoh-tokoh pergerakan kita dulu semuanya jurnalis,” tegas pria yang meraih dua kali penghargaan Adhiwarta tersebut.
Kuncarsono lalu menyebutkan beberapa nama tokoh pergerakan Indonesia tersebut. Pertama, Soekarno, presiden pertama RI. Sejak umur 15 tahun dia menjadi wartawan Oetoesan Hindia.
“Oetoesan Hindia itu milik HOS Tjokroaminto. Soekarno yang kos di rumah Tjokro ikut membantu menulis di koran tersebut,” jelas Kuncarsono.
Menuru dia, Soekarno makin matang menulis pada usai 19-20. Sedikitnya,500 artikel telah ditulis Soekarno. Tulisan-tulisan Soekarno dikenal kritis, analitis, dan punya karakter tersendiri.
Kedua, Ki Hajar Dewantara. Sebagai akademisi, dia punya kemampuan menulis yang baik. Logikanya runtut. Banyak artikel ilmiah ditulisnya dengan bahasa yang mudah dimengerti.
“Dulu namanya wartawan bisa menulis di banyak koran. Ki Hajar Dewantara salah satunya. Dia menulis di Sediotomo, Midden Java, De Express, Oetosan Hindia, Kaoem Moeda, Tjhaja Timoer, dan Poesara,” jelas Kuncarsono.
Ketiga, Liem Koen Hian dan AR Baswedan. Meski dari etnis berbeda, keduanya berteman akrab. Liem Koen Hian pernah menjabat Pemred Sin Tit Po, sementara AR Baswedan menjadi wartawannya.
“Meski namanya koran, tapi Sin Tit Po tidak terbit harian, tapi mingguan. Jejak sejarahnya ada di Surabaya, di Jalan Bibis. Tapi sekarang sudah beralih fungsi,” ungkap Kuncarsono.
Keempat, dr. Soetomo. Siapa yang tidak kenal tokoh yang satu ini. Dia pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia. Pernah menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia.
“Jarang yang tahu kalau dr. Soetamo ini seorang jurnalis. Dia pendiri surat kabar Boedi Oetomo, Pemimpin Umum Soeloeh Indonesia, pendiri Soera Oemoem, Panjebar Semangat, Pedoman, dan Tempo,” jelas Kuncarsono.
Selain mereka sebut Kuncarsono, masih ada lagi, tokoh pergerakan lain, di antaranya Buya Hamka (Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Suara Muhammadiyah), WR Soepratman (Sin Tit Po), Bung Tomo (Kantor Berita Domei, Kantor Berita Indonesia), Mas Marco Kartodikromo (Doenia Bergerak, Pantjaran Warna, Medan Prija), Alimin (Djawa Moeda, Boedi Oetomo, Modjopahit), H Misbach (Medan Moeslimin, Islam Bergerak), dan dr, Tjipto (Kaoem Moeda, De Express).
Menurut Kuncarsono, dari semua tokoh pergerakan itu, ada RM Tirto Adhi Soerjo. Pria yang lahir di Blora itu namanya kemudian ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers.
“Dialah pendiri surat kabar pertama berbahasa melayu. Dia yang pernah sekolah dokter di Stovia, Batavia. Pernah menjadi wartawan Bintang Betawa, Chabar Hindia Olanda, Pembrita Betawi, mendirikan Soenda Berita 1901, dan mendirikan Medan Prijaji,” beber Kuncarsono.
“Yang sangat disayangkan, akhir hidup Tirto sangat tragis. Dia sempat diasingkan di Lampung, dibuang di Pulau Bacan, tidak punya rumah, hotelnya dirampas temannya, R Goenawan, menjadi tahanan rumah di bekas hotelnya, dan meninggal di kamar hotel di usia 38 tahun karena sakit disentri,” imbuh owner Sawoong Creative ini.
Tantangan Berat
Gambar pers masa lalu dengan keterlibatan para tokoh pergerakan itu diinsyafi benar oleh Imam Syafii dan Dwi Eko Lokononto. Keduanya tersebut pernah merasakan pahit getir menjalani profesi sebagai jurnalis di koran berpengaruh di Jawa Timur.
Imam Syafii menuturkan, kehadiran para tokoh penggerak itu sepatutnya menjadi cerminan bagi para jurnalis sekarang. “Saya baru tahu beberapa nama tokoh tersebut ternyata seorang jurnalis,” ujar pria yang bergabung di Jawa Pos itu.
Imam mengaku merasakan betapa pers dituntut untuk tetap independen dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Tanggung jawab itu sangat melekat karena wartawan memang terikat dengan kode etik.
“Bagi saya, berita bagus itu butuh indeph report, check and recheck, dan cover both side,” katanya.
Kalau sekarang, imbuh Imam, hal itu makin sulit kita temukan. Apalagi di era media sosial, banyak berita serampangan dan tidak mengindahkan kaidah jurnalistik.
“Tentu saya senang ada begandring.com. Karena bisa menyajikan kedalaman berita melalui penelusuran terhadap masalah sejarah dan budaya,” jelas Imam.
Hal senada juga disampaikan Dwi Eko Lokononto. Menurut dia, pers di Indonesia sekarang posisinya sedang tidak baik-baik saja. Banyak guncangan yang sangat mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan pers.
“Kalau zamannya koran dulu, berita bagus akan berdampak kepada oplah. Sekarang, berita ditentukan oleh mesin. Buktinya banyak berita bagus tapi viewer-nya sedikit. Sementara berita receh malah viewer-nya melejit,” tutur pria yang karib disapa Lucky ini.
Dia mengaku memberikan apresiasi kepada begandring.com. Yang berani mengambil positioning dengan menyajikan konten-konten berbau sejarah dan budaya.
Kata Lucky, positioning tersebut sangat diperlukan untuk menguatkan entitas. Apalagi begandring.com menjadi corong dari komunitas pegiat sejarah. Hanya variasi menunya harus lebih banyak.
“Saya jadi kepikiran, betapa banyak sejarah industri yang belum diungkap. Kalau itu bisa disajikan melalui pendekatan sejarah tentu akan sangat menarik,” tutur dia.
Lucky menambahkan, meski pola pers berubah, namun dia yakin konten yang berkualitas masih banyak diminati. Bahkan, ia mengungkapkan kalau peraturan Google sekarang, adsense (iklan) dari berita berkualitas tersebut standar nilainya lebih tinggi dari berita receh.
“Saya tidak paham penilaiannya, tapi hal itu sudah dilakukan Google untuk portal-portal yang dinilai memiliki konten bagus dan orisinal,” pungkas dia. (tim)