16 Mei 1875 adalah penanggalan penting bagi sejarah perkeretaapian di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Tanggal itu merupakan tanggal peresmian dibukanya jalur kereta api pertama milik negara, Statspoorwagen (SS) yang menghubungkan Surabaya dan Pasuruan dengan jarak 63 km (GH Von Faber: Oud Soerabaia).
Menurut Von Faber, dibukanya jaringan kereta api ini untuk mendukung percepatan komunikasi dan transportasi barang, yang sebelumnya menggunakan kereta kuda. Hadir dalam peresmian jalur kereta api Surabaya Kota dan Pasuruan adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda J.W. van Lansberg dan istri.
Johan Wilhelm van Lansberge (16 November 1830 – 17 Desember 1903), adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-55. Ia memerintah antara tahun 1875–1881.
Kala itu, stasiun Surabaya Kota bertempat di Bibis, dekat sungai Kalimas. Ketika mulai dibangun, proyek besar itu harus membongkar sistim pertahanan (tembok benteng) Kota Surabaya. Selain membongkar gundukan tanah, juga harus menguruk cekungan tanah yang sebelumnya merupakan model pertahanan kota.
Sebetulnya sebelum pemerintah membuka jalur kereta api Surabaya – Pasuruan sebagai awal untuk mengkoneksikan Surabaya dengan Batavia, ternyata sudah ada perusahaan kereta api swasta, Nederlands Indisch Spoorwegen Maatschappij (NISM) yang membuka jaringan kereta api dengan menghubungkan Semarang dan Kemijen (heritage.kai.id).
Pembukaannya dilakukan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele pada 17 Juni 1864. Ludolph Anne Jan Wilt baron Sloet van de Beele adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-52. Ia memerintah antara tahun 1861 – 1866.
Selanjutnya pada di penghujung abad 19, stasiun Surabaya Kota dikembangkan dan dibangun lagi stasiun baru (1898) di sebelah timurnya stasiun lama (1875). Dengan hadirnya gedung stasiun yang baru (1898), maka stasiun lama (1875) secara bertahap dibongkar.
Sayang sekali pada tahun 2002, stasiun Surabaya Kota itu dibongkar dan nyaris habis jika tidak ketahuan. Awalnya diketahui oleh jurnalis harian Surya, Kuncarsono Prasetyo. Selanjutnya pembongkaran ini viral. Pembongkaran stasiun pun dihentikan dan proses hukum pun sempat dilakukan.
Pembongkaran dan Pemugaran
Dibangunnya jalur kereta api Surabaya ke Pasuruan (hingga ke Malang) ini untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan dari daerah pedalaman Jatim khususnya dari Malang ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Gedung stasiun pertama diresmikan pada tanggal 16 Mei 1878. Ketika dibangun gedung stasiun yang kedua pada 1898, gedung lama dibongkar. Maka tersisalah gedung stasiun yang kedua. Gedung baru ini adalah bangunan gedung yang dapat dilihat hingga sekarang, setelah mengalami renovasi akibat pembongkaran pada 2002.
Pada 2002 Stasiun Semut mengalami pembongkaran karena pada lahan stasiun tersebut telah dikerjasamakan (KSO) dengan PT Senopati Perkasa. Stasiun tersebut merupakan bangunan cagar budaya yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 23/PW007/MKP/2007 tentang Penetapan Stasiun Kereta Api Semut Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dengan begitu pembongkaran tersebut telah melanggar ketentuan hukum sehingga harus dilakukan pemugaran kembali ke bentuk semula.
Setelah melalui proses prosedur cagar budaya yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota Surabaya dan musyawarah dengan para pihak terkait serta dirampungkannya studi teknis pemugaran oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemugaran dimulai.
Pemugaran dimulai setelah dicapai kesepakatan untuk memulai pelaksanaan pemugaran Stasiun Semut pada Jumat, 13 Juli 2012 yang bertempat di lokasi Stasiun Surabaya Kota.
Penandatanganan prasasti pemugaran dilakukan oleh Dewan Komisaris PT KAI Yahya Ombara sebagai tanda dimulainya restorasi Stasiun Semut dengan mengundang Forum Pimpinan Daerah Kota Surabaya.
Pencanangan pemugaran Stasiun Semut juga dihadiri oleh jajaran direksi dan manajemen PT KAI Kantor Pusat; EVP Pusat Pelestarian dan Benda Bersejarah PT. KAI, Ella Ubaidi; Dirjen KA, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; Dinas Cipta Karya; Dinas Perhubungan; BP3 Trowulan; Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya; Bappeko Kota Surabaya; termasuk Polsek dan Polres; Lurah dan Camat Surabaya (Kominfo.jatimprov.go.id: 15 Juli 1012).
Pemugaran selesai pada 2014. Meski telah kembali, khususnya pada tampak depan, restorasi tidak bisa mengembalikan secara utuh karena banyak bagian bagian bangunan stasiun yang sudah lenyap. Pilar pilar penyangga yang terbuat dari besi cor berornamen telah lenyap yang sekaligus melenyapkan bagian kanopi peron stasiun.
Meski dianggap sudah selesai, sampai sejauh ini, April 2023, belum ada tanda tanda dimanfaatkannya kembali bangunan stasiun ini. Bangunan ini seolah hidup, tapi masih mati alias tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dari pengamatan, yang dilakukan oleh perkumpulan pegiat sejarah Begandring Soerabaia pada pertengahan 2022, dua lin spoor yang sebelumnya berada dalam naungan kanopi stasiun, salah satunya dimatikan. Ini adalah jalur Spoor 2. Kondisinya sudah ditutup paving.
Sementara jalur Spoor 1 sengaja diekspos sehingga nampak rel dan bantalan lama yang masih terbuat dari kayu jati. Bekas jalur Spoor 1 ini hanya di ekspos di bagian stasiun. Lainnya sudah mati.
Benteng Pertahanan
Publik dan bahkan stakeholder kota tidak tau akan dipakai apa bekas Stasiun Kota ini. Belum jelas dan bahkan tidak jelas. Yang tau hanyalah pemiliknya, PT. Kereta Api Indonesia.
Sejak 2015 hingga 2023 adalah waktu yang tidak pendek. Sudah delapan tahun bekas stasiun hasil pemugaran ini mangkrak lagi. Pada bagian depan stasiun yang menghadap jalan Stasiun, masih ditutupi seng sehingga keindahaan (the beauty) hasil pemugaran itu tercoreng oleh keburukan (the beast) topeng seng itu.
Pada kisaran 2012, penulis sempat mendatangi kantor divisi Heritage KAI di Stasiun Gambir Jakarta untuk menyampaikan gagasan dan harapan mengenai masa depan stasiun Surabaya Kota ke depan bagi warga Surabaya dan Jawa Timur.
Kedatangan penulis ke Stasiun Gambir seiring dengan telah dijumpainya sebuah gerbong kuno yang informasinya adalah bekas gerbong keluarga kerajaan Madura yang berada di Kamal, Madura.
Gerbong penumpang itu dijumpai di stasiun Sidotopo. Kondisinya jelek, blepotan oli karena dipakai sebagai tempat penyimpanan peralatan perbaikan kereta. Kerangka kereta terbuat dari besi dengan cap SS (Statspoorwegen) dan struktur kabin terbuat dari kayu jati tua.
Secara fisik terlihat sangat bagus dan artistik. Maklum gerbong ini dulunya merupakan tumpangan keluarga kerajaan Madura.
Karena temuan mutiara itulah, penulis pergi ke Jakarta untuk mengamankan gerbong antik itu. Ada pun gagasan dan harapan penulis adalah menyelamatkan gerbong antik untuk selanjutnya dipakai sebagai artefak museum Kereta api dengan menempati dan memanfaatkan Stasiun Surabaya Kota jika stasiun itu selesai direstorasi.
Dari latar belakang itulah kemudian muncul gagasan manfaatkan sebagian gedung Stasiun Surabaya Kota sebagai Museum Kereta Api di Surabaya karena Surabaya merupakan kota pertama di Jawa yang dibangun jaringan perusahaan kereta api milik negara (statspoorwegen). Tentu sebagian gedung lainnya adalah untuk fungsi stasiun sebagaimana mestinya.
Dengan begitu, sebagai fungsi stasiun dan museum, Stasiun Surabaya Kota menjadi wahana yang lebih dari sekedar stasiun. Ada wahana edukasi sejarah dan peradaban.
Apalagi Stasiun Surabaya Kota ini di era Perang Surabaya 1945 menjadi titik vital di mana Angkatan Muda Kereta Api tampil sebagai bagian dari benteng pertahanan Kota Surabaya.
Sambutan Divisi Heritage pun bagai “gayung bersambut”. Gerbong antik diselamatkan. Tapi kok dibawa ke Museum Ambarawa dan diperbaiki di sana. Dan selanjutnya menjadi penghuni museum kereta api di sana, Ambarawa.
Padahal gagasan dan usulan awal mengapa penulis pergi ke Stasiun Gambir Jakarta adalah menyampaikan agar Stasiun Surabaya Kota dimanfaatkan sebagai museum untuk memajang kereta antik dan memohon agar ada satu loko uap yang bisa diangkut ke Surabaya untuk ditempatkan pada jalur Spoor 1 yang masih utuh dan asli.
Jangan Dibiarkan Mangkrak
Surabaya adalah Kota Museum. Tidak kurang dari 15 museum telah tersebar di Kota Surabaya baik yang dimiliki pemerintah maupun atas partisipasi swasta.
Surabaya adalah Kota penting di Jawa. Tidak hanya flash back ke era perjuangan 1945, tapi lebih jauh membentang ke belakang di era peradaban Surabaya. Mulai era Majapahit Surabaya sudah tercatat sebagai titik penting. Bahkan menjadi bandar lalu lintas perdagangan internasional.
Lintas perdagangan dan jaringan internasional itu lebih dikenal lagi di era kolonial. Kantor-kantor dagang pusat yang bertempat di Kota Amsterdam dan Rotterdam membuka cabang cabangnya di Surabaya. Komoditas dagangnya kala itu adalah hasil bumi.
Di eranya jaringan kereta api dari pedalaman Jawa terkoneksi dengan Surabaya hingga ke pelabuhan laut. Sarana angkutnya adalah kereta api. Kota Surabaya terhubung dengan sumber sumber alam mulai dari Bangil, Pasuruan hingga Malang.
Karenanya, Stasiun Surabaya Kota yang hingga kini (2023) ternyata masih mangkrak meski sudah dipugar. Perlu kesadaran kolektif akan sejarah penting Stasiun Kereta Api Surabaya Kota dan peran penting Stasiun Surabaya Kota pascapemugaran.
Sehingga, Stasiun Surabaya Kota ini lebih memberi makna dan manfaat bagi publik baik di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan, pariwisata hingga perekonomian sesuai dengan Undang Undang Nomor11/2010 tentang Cagar Budaya dan Undang Undang Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Mengapa Stasiun Surabaya Kota masih dibiarkan bagai The Beauty and The Beast?
Sungguh, kita sangat pantas mengelus dada. Ironis! (nanang purwono)