Pagi tadi, Surabaya Urban Track (SubTrack) kembali bikin jalan-jalan. Ini entah sudah berapa kali lini bisnis wisata di Perkumpulan Begandring Soerabaia ini menggelar kegiatan seperti ini.
Kadang saya juga heran, kok mau-maunya, kita orang-orang Surabaya, diajak jalan-jalan di Surabaya, (kebanyakan di kampung2 padat bin kumuh), disuruh jalan kaki, dan disuruh membayar. Seratus ribu lagi.
Kok mau-maunya…?
Herannya lagi, tiap flayer event Subtrack dishare, wuzzz… kuota 35 orang selalu penuh tidak pernah lebih dari satu hari. Pagi tadi bahkan pesertanya tembus 50 orang. Ini gara-gara panitia ‘tidak kuat iman’ akibat masih banyak DM meskipun kuota penuh.
Apa yang menarik dari Pabean? daerah yang saban hari ruwet, bau amis ikan, stigma tidak aman, kampung kotor, padat penduduk.
Bahkan orang tidak mungkin sudi ke sini kalau tidak perlu-perlu amat. jangankan berbayar, dibayari saja ogah.
***
Saya sebenarnya ingin mengatakan jika sejak awal bisnis Subtrack dirancang memang tidak menjual produk. Tetapi menjual nilai. Ada banyak teori nilai dalam ilmu pemasaran, tapi saya tidak hendak mengajak saudara berteori yang muluk-muluk. Saya terangkan saja dengan sederhana.
Pabean dan semua gambaran negetif di atas adalah produk. Nilainya? banyak banget. Ada sejarah di setiap perjalanannya, ada interaksi hangat dengan warga-warganya, ada layanan yang berkesan. Ada pengetahuan baru.
Mungkin orang Surabaya tahu Pabean, tapi biro wisata jika suruh memilih, pasti mengajak tamunya trip ke Bali atau Bromo. Karena sampai kapanpun jika melihat Pabean sebagai sebuah produk, tidak akan pernah menarik dibanding dua destinasi di atas.
Bahkan Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya pun tidak pernah PD ‘menjual’ Pabean.
Kalau tohpun ada yang ‘nekat’ ke Pabean, itu karena jenis wisatawan minat khusus. Orang-orang yang suka sejarah, atau traveler pecinta fotografi. nah peserta kemarin itu bukan kategori ini.
Jika kita menjual produk, orientasi kita tidak akan jauh-jauh dengan persaingan harga. Jika demikian, kembali lagi, Pabean tidak akan laku dijual jika saingannya Bali atau Batu.
Fokus terhadap produk memang tidak salah, namun jika Anda fokus dengan produk maka ada kemungkinan pesaing Anda juga melakukan hal yang sama.
Akibatnya, bisa terjadi perang harga. Calon pelanggan pun fokus pada harga, mereka akan membeli yang termurah. Dan seringkali metode ini berakhir dengan ketidakpuasan pelanggan.
Mengapa? Karena dengan harga yang terlampau murah, ada yang dikorbankan. Dan memang ini sudah hukum pasar. bisnis mati tidak berkelanjutan.
***
Value = Nilai Lebih
Karena kemungkinan masalah di atas, maka banyak praktisi menyarankan pelaku bisnis fokus pada value atau nilai lebih dari produk. Maka perang harga bisa dihindari dan usaha ini bisa memberikan layanan maksimal pada pelanggan.
Meskipun dilahirkan dari rahim komunitas, Subtrack sejak awal nawaitunya dirancang serius sebagai bisnis startup wisata berbasis sejarah. Saya memeng menyuntikkan energi berdikari, menginisiasi apa yang dinamakan Historypreneur.
Kami mengidentifikasi banyak indikator sebelum membuat produk Subtrack, awal tahun lalu.
Mulai brand, kemudian turuannya yaitu target market, destinasi, keunikan konten setiap destinasi, layanannya, metode pelibatan warga di tiap destinasi, hingga hal teknis seperti itinerary atau waktu perjalanan.
Dari dasar ini kemudian ditentukan channel distribusi promosinya, jadwalnya, kuotanya, dan harga jualnya. Memang kami ada tim survei, perijinan, dan Riset & Development. Karena itu kelebihan kami.
Kami bukan sekadar kumpulan pecinta sejarah, namun juga ada arsitek, jurnalis, business development. Semua melengkapi. Kami sedang mengoptimalkan ‘nilai’ yang dimaksud itu.
Sungguh, kami tidak ada yang punya latar belakang sekolah wisata.
***
Tadi pagi, saya memandu 50 peserta. Kami menyuguhkan nilai sejarah dari produk bernama Pabean. Sejarah bukan tentang masa lalu. Namun kami menceritakan hal baru, sebab sesungguhnya masa lalu selalu aktual.
Kami tidak sekadar memamerkan bangunan mati. Seperti pasar, gudang-gudang, atau rumah-rumah tua, dan tempat ibadah lama. Namun ‘meniup ruh’ dari bangunan mati dan kawasan itu.
Tadi, para peserta baru sadar, di titik mereka berdiri, sejatinya adalah titik yang sama di mana Surabaya sebagai sebagai kota lahir pada 1748 silam. Ada kanal buatan sepanjang 4,8 km yang dibangun abad 18.
Mereka membayangkan bagaimana membuat sungai ketika tenologi traktor belum ditemukan.
Saya ajak menyambangi satu ruas jalan pergudangan tempat satu saudagar pribumi paling tersohor, yaitu keluarga bermarga Sagipodin.
Tokoh yang anak cucunya di kemudian hari jadi dua tokoh besar awal abad 20. Yaitu Ketua Umum pertama NU, Hasan Gipo. dan sepupunya Ketua umum ke tiga Muhammadiyah KH Mas Mansyur.
Nilai-lain adalah kehangatan warga-warga yang dilalui. Saat masuk ke kampung Margi, kampung komunitas India muslim tertua di Surabaya, para peserta mampir disuguhi minuman kopi rempah dan kudapan dengan bahan yang sama, dilengkapi wejangan seorang pemuka Arab turunan ke 28 Rasullulah Muhammad SAW.
Peserta juga didaulat masuk di rumah keluarga India lainnya dari fam Surati. melihat foto leluhurnya, diceritakan riwayat hidupnya, ditunjukkan model bangunannya.
Di tengah perjalanan berikutnya, peserta kembali didaulat mampir oleh tokoh warga Pabean Sayangan. Disuguhi makan nasi Madura Buk Moa yang viral itu, dilengkapi lemper bakar, es cao, dan banyak kudapan lain.
Inilah ‘nilai’ yang saya maksud itu. Subtrack memang tidak sedang menjual tempat bernama Pabean, namun menawarkan nilai lebihnya. Bahkan mungkin hingga kompetitor tidak sanggup melakukannya.
Jika harga Rp 100.000 per trip masih dianggap mahal untuk mendapatkan semua ini. Bisa jadi, bukan harganya yang terlalu mahal, namun karena dia bukan target pasarnya. (*)