Begandring.com: Surabaya (21/11/23) – Bulan Agustus 2003 adalah momen penting dalam perjalanan ꦧꦲꦱ Bahasa Jawa di Surabaya. Pada bulan itu lahir program Televisi yang menggunakan Bahasa Jawa sub dialek Surabaya atau yang umum disebut dengan Bahasa Suroboyoan. Ada dua program, yang dikelola oleh stasiun televisi lokal di Surabaya, Jawa Pos Media Televisi (JTV), yaitu Berita Pojok Kampung dan Talkshow ꦕꦁꦏꦿꦸ’ꦄꦤ꧀ Cangkruan. Berikutnya pada 2009 lahir lagi program feature sejarah dan budaya, ꦧ꧀ꦭꦏꦿꦄꦤ꧀ Blakraan.
Sebagaimana layaknya program televisi, ketiganya: Pojok Kampung, ꦕꦁꦏꦿꦸ’ꦄꦤ꧀ Cangkruan (2003) dan ꦧ꧀ꦭꦏꦿꦄꦤ꧀ Blakraan (2009) bersifat audio visual. Yaitu berbasis gambar dan suara. Ketika didengarkan, ketiga program televisi ini sangat kental Kesurabayaannya, bukan Jawa Jogja ataupun Jawa Jawa Tengahan atau secara umum lazim disebut Jawa Mataraman.
Sementara ꦧꦲꦱꦗꦮ bahasa Jawa yang dipakai oleh JTV adalah Jawa Suroboyoan (Bahasa Jawa subdialek Surabaya). Secara audio, ketika disuarakan, terdengar kesurabayaannya baik dari sisi penekanan (stressing), pengucapan (pronunciation), lagu (intonation), aksentuasi (accentuation) dan bahkan kosa katanya (words).
Semua itu, yang ketika didengarkan, tampak perbedaannya antara ꦗꦮꦱꦸꦫꦧꦪ Jawa Surabaya dan ꦗꦮꦩꦠꦫꦩꦤ꧀ Jawa Mataraman. Bagi program televisi JTV, itu tidak jadi masalah karena bisa memperlihatkan antara Jawa Surabaya (Arek) dan Jawa Mataraman. Tetapi ketika ada unsur penulisan dari ketiga program TV itu, yang berbasis bahasa Jawa ini, baru terasa adanya persoalan.
Persoalan itu ada pada ꦠꦠꦠꦸꦭꦶꦱ꧀ tata tulis ketika ada penulisan judul atau tema tentang materi berita yang dibawakan. Salah satunya adalah penulisan diakritik pada kata yang menggunakan suara “o”. Misal kata “Surabaya”. Ada dua versi. Yaitu dituliskan menggunakan “A” dan “O” untuk menuliskan kata Surabaya: “Surabaya” atau “Suroboyo”. Masih ada lagi lainnya, misalnya pada kata “mata”. Ini dituliskan “mata” atau “moto”?
Sebetulnya dasar penulisan naskah di ꦉꦣꦏ꧀ꦱꦶ redaksi pemberitaan JTV adalah berdasarkan fakta ꦭꦥꦔꦤ꧀ lapangan atau kata kata (kosa kata) yang ada di masyarakat. Umumnya kosa kata yang dipakai di masyarakat, lalu kutip dan diangkat dalam bahasa berita di program program berbahasa ꦭꦺꦴꦏꦭ꧀ lokal JTV.
Bagi kebanyakan orang, Bahasa Suroboyoan yang ꦌꦒꦭꦶꦠꦺꦂ egaliter dan sangat ngoko, dianggap kurang pantas untuk bahasa berita televisi yang bersifat formal. Tapi, kenapa tidak? Suatu daerah punya bahasa daerah dan program TV ꦭꦺꦴꦏꦭ꧀ lokal didorong untuk menggunakan lokalitasnya. Maka ketika JTV membuat program berita lokal, bahasa pengantarnya juga bahasa lokal.
JTV dengan program berita ꦥꦺꦴꦗꦺꦴꦏ꧀ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁ Pojok Kampung tampil dengan plus minusnya. Dalam perjalanan itu, muncullah kosa kata baru (invention) yang menunjukkan bahwa bahasa itu ꦣꦶꦤꦩꦶꦱ꧀ dinamis dan berkembang. Seiring dengan keunikan dan dinamika bahasa, program berita Pojok Kampung semakin populer dan menjadi program ber rating tertinggi berdasarkan survey AC Nielson. Program Pojok Kampung banyak ditonton pemirsa.
Alasan paling banyak mengapa ꦣꦶꦠꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀ ditonton dan tetap eksis hingga sekarang (2003-2023) adalah karena bahasa yang digunakan. Oleh karena itu ketika masih ada keraguan dalam hal tata tulis nya, misal untuk penulisan judul dan sub judul serta tema, kiranya perlu ada pembakuan tata tulis untuk bahasa Suroboyoan (Bahasa Jawa sub dialek Surabaya).
Pada akhir bulan ꦤꦺꦴꦮ꦳ꦺꦩ꧀ꦧꦼꦂ November 2023, tepatnya pada 28 – 30 November 2023, akan diselenggarakan Kongres Bahasa Jawa VII di Surakarta Jawa Tengah yang kiranya akan ada pencerahan tentang dinamika bahasa Jawa di Surabaya. Setidaknya setelah Kongres Bahasa Jawa VII ini dapat menginisiasi gagasan sebuah ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦤ꧀ꦱꦸꦱ꧀ konsensus bahasa Jawa di Surabaya.
Dalam catatan pegiat ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ aksara Nusantara, Diaz Nawaksara, Bahasa Jawa Surabaya tergolong Bahasa Arekan di Jawa Timur. Termasuk yang sudah digunakan JTV dalam program program acaranya adalah Bahasa Arekan Surabaya. Seperti apakah Bahasa arekan Surabaya ini? (nanang).