Surabaya Jadi Ring Pertarungan Urban Development vs Heritage Management

Ketika urban development dalam satu ruang dengan heritage management, maka yang terjadi adalah gontok-gontokan. Suasananya bak di dalam ring Oktagon UFC. Salah satu di antara keduanya ingin menang dan mengalahkan.

Di kota-kota besar, yang bermula dari desa kecil, kerap menghadapi persoalan ini. Itulah perubahan suatu peradaban. Hasil karya manusia memang terus berganti dan berevolusi. Ini bagaikan evolusi teknologi.

Semakin canggih teknologi, maka teknologi itu memang semakin membantu manusia. Akibatnya, teknologi lama pun ditinggalkan. Tidak ada yang menyesal atas perubahan itu. Tapi bagi sebagian kecil manusia, teknologi lama justru kian dicari.

Proses perubahan teknologi adalah ilmu. Di sana ada pola pikir manusia. Hasil karya teknologi adalah pancaran pikir, karya, dan karsa manusia dari suatu masa.

Karenanya, bagi mereka yang mencermati proses perubahan sesuatu dalam suatu masa akan memberinya wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat sebagai dasar pembangunan masa depan.

Sayang, tidak banyak orang mau melihat dan mempelajari hasil karya manusia masa lalu. Mungkin mereka berpikir masa lalu tidak bermanfaat karena manusia hidup untuk masa depan.

Maka, masa depan lah yang menjadi pusat perhatian dan tujuan. Mereka tidak lagi memperhatikan masa lalu.

Undang Undang Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan justru mengajak warga negara Indonesia tidak melupakan masa lalu. Baik yang merupakan bendawi maupun yang tidak bendawi. Seperti tradisi dan cara cara hidup manusia. Soekarno berpesan melalui “Jas Merah” (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah).

Benda-benda itu, bendawi dan non bendawi, sungguhlah bersifat heritage. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. (Kamus Oxford hal:202).

Sementara UNESCO memberikan definisi heritage sebagai warisan (budaya) masa lalu yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur.

Dalam buku Heritege Management Interpretation Identity karya Peter Howord memberikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.

Baca Juga  Halte Trem Listrik Surabaya,1930 (*)

Sedangkan menurut Hall & McArther (1996:5) dalam bukunya Heritage Management memberikan definisi heritage sebagai warisan budaya dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monumen, arsitektur bangunan, tempat peribadatan, peralatan, kerajinan tangan, dan warisan budaya yang tidak berwujud kebendaan (intangible) berupa berbagi atribut kelompok atau masyarakat, seperti cara hidup, folklor, norma dan tata nilai.

Sehingga produk-produk peradaban masa lalu, baik yang bendawi maupun non bendawi, layak menjadi perhatian dan pertimbangan untuk dikaji yang selanjutnya ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi benda cagar budaya (heritage).

Ketika struktur, benda, bangunan dan bahkan kawasan telah ditetapkan sebagai cagar budaya (heritage), maka ada tanggung jawab terhadapnya. Di Indonesia lahir undang undang tentang cagar budaya dan pemajuan kebudayaan sebagai dasar hukum pelestarian banda dan nilai nilai.

Undang-undang ini mengamanahkan kepada warga negara akan adanya penyelamatan, pelestarian, perlindungan, pengelolaan hingga pemanfaatan.

Ketika cagar budaya (heritage) berada di tengah tengah peradaban yang berkemajuan, di sanalah lahir gaya tarik menarik antara kebutuhan pembangunan perkotaan (urban development) dan pengelolaan cagar budaya (heritage management).

Tiga Kelas

Kota Surabaya bak ring Oktagon UFC, di mana urban development bertarung melawan heritage management. Mereka saling bergelut hingga berdarah-darah. Di atas ring itu, jika tidak ada wasit, maka salah satu bisa berujung kamatian.

Di atas ring Oktagon Surabaya berlagalah kedua belah pihak dalam kelas yang berbeda beda: Kelas Menengah, Kelas Menengah Super, dan Kelas Berat.

Peringkat kelas ini menggambarkan variasi bobot persoalan yang dipertarungkan antara urban development dan heritage management.

Di Kelas Menengah ada persoalan perubahan nama jalan. Di Kelas Menengah super ada persoalan pemasangan papan reklame pada titik cagar budaya. Dan, Kelas Berat ada persoalan pembongkaran cagar budaya.

Surabaya jadi Ring Pertarungan Urban Development vs Heritage Management
Jalan Bubutan, etalase sejarah Kampung Bubutan. foto: ist

1. Kelas Menengah

Saat ini yang sedang naik ring di Kelas Menengah adalah isu perubahan nama Jalan Bubutan yang diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Camelia Habibah.

Baca Juga  Susur Kalimas sambil Nonton Teatrikal Pertempuran Simpangsche Ziekenhuis

Bubutan tidak hanya sebuah kawasan, tapi sekaligus nama jalan yang menjadi etalase kawasan dan Kampung Bubutan. Dalam peta Surabaya yang berangka 1825, nama Jalan Bubutan sudah tercantum. Usianya hampir 200 tahun pada 2025.

Nama Jalan Bubutan adalah hasil karya cipta manusia, yang sudah ada di tahun 1825. Diduga bahwa sebelum 1825, nama Jalan Bubutan sudah ada.

Selain sebagai etalase kawasan dan Kampung Bubutan, di dalamnya adalah etalase kesejarahan Bubutan. Secara klasik jalan Bubutan adalah benteng yang bernama Butotan. Di era kolonial, jalan Bubutan adalah jalur penting yang menjadi jalur utama perkembangan kawasan Bubutan.

Di sepanjang Jalan Bubutan terdapat eks Penjara Koblen, gereja Kristen, kompleks gedung GNI, kantor Polisi, gedung Panti Asuhan yang berikutnya menjadi rumah sakit serta di kenal dimana rumah tokoh yang membuat logo organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatoel Oelama (NO).

Jika masing-masing entitas itu dibedah, maka banyak sekali percikan sejarah yang menjadi latar belakangnya dan Jalan Bubutan bagai urat nadi arteri yang menjadi jalur hidup dan kehidupan. Jalan Bubutan sendiri menjadi sebuah entitas peradaban kota Surabaya.

Kini, entitas yang sudah menjadi kearifan lokal Surabaya itu ada yang mengusik untuk diganti namanya menjadi nama lain. Nama lain yang diusulkan itu dianggap memiliki sejarah.

Padahal sejarah yang dimaksud itu adalah bagian sejarah baru, yang baru mulai tumbuh di 1920-an di kawasan yang sudah ada di era klasik Surabaya, 1677.

Usulan perubahan nama itu adalah hasil pola pikir manusia modern yang justru kurang mengetahui sejarah Kota Surabaya.

Surabaya jadi Ring Pertarungan Urban Development vs Heritage Management
Pemasangan reklame di Viaduct Gubeng. foto: begandring

2. Kelas Menengah Super

Kelas ini kerap tergelar dan masih sangat berpotensi menyajikan laga-laga berikutnya. Seru. Ini adalah pertarungan pemasangan reklame di titik dan objek cagar budaya.

Sekarang yang lagi naik ring adalah pemasangan reklame di titik cagar budaya viaduct Gubeng. Anggota DPRD Surabaya memprotes kebijakan pemasangan di titik cagar budaya itu. Pemkot Surabaya meloloskan pemasangan meski pun melanggar peraturan, yaitu Perda 5/2005 tentang Cagar Budaya dan PP 56/2009 tentang Perkereta-apian.

Baca Juga  Makam Belanda Peneleh jadi Taman Kepustakaan Sejarah

Isu pemasangan reklame di titik cagar budaya ini adalah dampak pertarungan antara urban development melawan heritage management.

Hal serupa pernah terjadi di titik yang sama pada 2015. Di masanya, dengan alasan menjaga estetika dan pelestarian cagar budaya, reklame-reklame yang menjadi topeng di persil-persil di koridor Jalan Tunjungan Surabaya dibersihkan. Kini, Jalan Tunjungan telah bersolek dengan gaun Tunjungan Romansa.

Ketika isu pemasangan reklame di titik cagar budaya masih terjadi pada saat ini, bukan tidak mungkin hal serupa masih akan terjadi pada masa mendatang. Inilah persoalan perkotaan yang memiliki warisan budaya (heritage).

Karenanya dalam ajang pertarungan ini, perlu ada wasit yang mumpuni. Siapakah wasit itu?

Siapa pun wasitnya adalah mereka yang bisa dengan bijak menjadi penengah agar kepentingan urban development tidak terhenti karena kepentingan heritage management. Pun sebaliknya Kepentingan heritage management tidak terganggu oleh urban development.

Surabaya jadi Ring Pertarungan Urban Development vs Heritage Management
Emplasemen Stasiun Kota (Semut). foto: begandring

3. Kelas Berat

Pada kelas ini yang terjadi adalah pembongkaran bangunan cagar budaya. Demi dan alasan perkembangan kota, maka bangunan cagar budaya menjadi korban. Contohnya adalah Stasiun Surabaya Kota (Semut), Rumah Radio Bung Tomo dan Sinagoge.

Ancaman serupa masih menghantui beberapa bangunan cagar budaya (BCB) dan objek diduga cagar budaya (ODCB). Selama ini banyak ODCB yang telah rata dengan tanah karena statusnya yang belum ada penetapan cagar budaya.

Jika urban development sering memenangkan pertarungan dalam melawan heritage management, maka cepat atau lambat lanskap kota Surabaya bisa berubah.

Perubahan lanskap ini sangat dimungkinkan akan menghilangkan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Maka, ke depan, Surabaya akan tumbuh menjadi sebuah kota masa depan yang kehilangan jati dirinya.

Surabaya akan tetap seperti Surabaya, tapi bukan Surabaya. Nah, bingung kan? (nanang purwono)

Artikel Terkait

One thought on “Surabaya Jadi Ring Pertarungan Urban Development vs Heritage Management

  1. Sayang sekali klo nama bubutan diganti krn nama itu legend dan sy pribadi banyak menyimpan
    kenangan masa kecil , apalagi ortu pernah tinggal di jl. Bubutan gg 2 sebelah barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *