Saya meyakini ada invisble hand yang menjadi penunjuk jalan. Ada tangan-tangan tak terlihat yang menuntun. Begitulah yang saya rasakan selama proses riset buku biografi berjudul Letkol dr. RM. Soebandi, Jejak Kepahlawanan Dokter Pejuang yang saya tulis bersama Mas Priyo Suwarno. Buku itu kemudian diangkat menjadi film dokumenter oleh TVRI dengan judul Jalan Sunyi Letkol dr. Soebandi.
Ketika saya di depan komputer dan tengah asyik mengetik, saya sering berhenti dan tercenung. Saya seakan tak percaya, bagaimana mungkin saya bisa menemukan orang seperti Bu Srinem, Bu Misjeni, juga Pak Syaiful Akbar, seorang tokoh kunci yang ceritanya menjadi ruh dalam buku yang saya susun.
Tetangga rumah termasuk Kades setempat saja tidak tahu kalau dua orang kakak beradik itu adalah saksi pertempuran yang menewaskan belasan orang korban dari sipil dan militer. Saya berhasil menemui dua orang narasumber istimewa tak lain berkat bantuan Mas Mukhlis, warga yang tinggal di dusun berbeda dengan Bu Srinem.
Yang menakjubkan, Bu Srinem, Misjeni dan serta Pak Syaiful, meski sudah senja dengan usia di atas 80 tahuh tapi memori jangka panjangnya luar biasa bagus. Bu Srinem maupun Bu Misjeni yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Madura itu dapat menceritakan secara runut bagaimana sosok dr. Soebandi.
Ketika tiba di rumahnya yang berada di tepi hutan, dr. Soebandi dan Pak Sroedji bersama sekitar 100 orang pasukannya dalam kondisi lelah dan lapar setelah bergerilya hampir dua bulan lamanya dari Blitar hendak ke Soco Pangepok.
Mereka berdua bisa menuturkan secara detail karena dua orang perwira tersebut numpang istirahat di dalam rumahnya sedang anak buahnya tersebar di pelataran rumah dan sebagian di rumah tetangga yang lain.
Terutama Bu Srinem, yang supel, pinter omong yang semasa hidup dikenal sebagai tukang pijat tersebut menuturkan ketika di rumahnya dua orang perwira tersebut minta dicarikan tukang pijat. Terutama Pak Sroedji, yang datang dengan kaki agak pincang karena ada bagian salah satu kaki yang sakit.
“Akhirnya yang memijat Pak Sroedji adalah ibu saya sedang yang mijat Pak Soebandi adalah Bu Putiah, tetangga sebelah rumah,” urai Bu Srinem yang desanya di masa itu berada di tepi hutan dan masuk desa yang sangat miskin.
Bu Srinem, juga masih ingat bagaimana dr. Soebandi, mengajari dirinya berlindung di bawah balai-balai bambu ketika pasukan Belanda memberondong peluru. “Kalau tiarap kakinya jangan ditekuk,” kata dr. Soebandi kepadanya.
Bahkan ada satu lagi momen yang tak bisa Bu Srinem lupakan, sebelum lari meninggalkan rumah dr. Soebandi maupun Pak Sroedji, membawa serta nasi jagung yang ada di pincuk daun pisang yang belum selesai ia santap.
Suasana berubah pilu, setelah tembak menembak usai keluarganya menangis histeris setelah mendapat kabar jika dr. Soebandi dan Pak Sroedji, ikut tewas tertembak.
“Kami semua menangis. Orang yang barusan kami beri makan kok tiba-tiba tewas di tembak Belanda,” katanya, mencerikan.
Bu Srinem yang pandangannya mulai kabur, masih ingat setelah dr. Soebandi meninggal, ayahnya Arsiman yang memakamkam di tepi sungai sekitar 100 meter dari rumahnya dengan menanam pohon jarak sebagai penganti batu nisan. Dan ayahnya pula yang menggali makam pejuang tersebut 13 bulan kemudian.
“Saya lihat jenazah Pak Soebandi masih mengenakan jaket panjang dengan arloji di lengannya. Dari dalam saku mantelnya petugas merogoh menemukan ada alat-alat suntik,” kata Bu Srinem yang saat itu mengaku usiannya sekitar sepantar anak kelas 4 SD.
Sementara narasumber lain, yakni Pak Syaiful Akbar, tak kalah detail menceritakan kronologi tertembaknya dr. Soebandi. Menurutnya, semula yang tertembak adalah Pak Sroedji. Mengetahui sahabatnya tersungkur bersimbah darah, dr. Soebandi, yang sudah berhasil lolos dan menyelinap di semak-semak, langsung kembali lagi.
Dokter Soebandi sadar jiwanya terancam. Tetapi rasa takut ia tepis. Ia berlari menghampiri tubuh sahabatnya tersebut kemudian dengan histeris ia bopong.
“Saat membopong itulah Pak Soebandi akhirnya diberondong hingga tersungkur berdampingan,” kata Syaiful Akbar. Begitu hormatnya pada sang pejuang ia mengaku ketika melihat foto dr. Soebandi, saat berobat di RSUD Jember, dia bangkit dari kursi roda dengan sikap sempurna langsung memberi hormat.
Pak Syaiful, mengaku ia tidak mengetahui sendiri penyergapan itu. Karena, sebagai intelijen ia di tahan Belanda setelah tertangkap di Pakusari, Jember.
“Tetapi, anak buah saya, yang ada di lokasi kejadian menceritakan dengan detail pertempuran yang menewaskan banyak korban tersebut,” kata Syaiful yang pendengarannya terganggu.
Tentu saya tidak menerima begitu saja pengakuan dari para narasumber. Bukan berarti saya tidak percaya, tetapi saya khawatir karena kejadian ini sudah berlangsung hampir 70 tahun sehingga terjadi bias atau tidak akurat lagi.
Karena itu untuk menguji konsistensi keterangannya saya harus bolak-balik melakukan wawancara ulang dengan teknik pertanyaan yang berbeda namun mengarah pada satu jawaban yang sama.
Hasil itu sendiri masih saya sandingkat dengan data lain. Misalnya, untuk keterangan Bu Srinem, tentang kesaksiannya saat penggalian jenasah saya bandingkan dengan barang-barang peninggalan almarhum dr. Soebandi yang saat ini tersimpan di museum Brawijaya, Malang. Yakni, jaket mantel yang terlihat dengan jelas lubang peluru dan bekas darah, serta jam tangan almarhum. Kesimpulannya, hasil cross chek tersebut saling mendukung dan tidak ada perubahan.
Sementara data pribadi dr. Soebandi termasuk penggalan kisah asmara serta perjalanan perkawinanya, saya dapatkan dari buku harian Ibu Soekesi. Kebetulan, Bu Soekesi adalah orang well educated, suka membaca dan sebagian cerita hidupnya di catat dalam sebuah buku harian.
Bu Soekesi yang tutup usia pada tahun 1999 di usia 78 tahun, adalah perempuan yang jago bahasa Belanda dan Inggris. Meski udah sepuh, sebelum tutup usia, ibu tiga orang anak kelahiran Semarang tersebut aktif tergabung dalam engglish club bersama kawan-kawan seusiannya di Jember.
Tapi mecocokkan buku harian ini juga menjadi kerumitan tersendiri. Karena, diary yang ditulis puluhan tahun sebelumnya tersebut sudah tidak utuh lagi alias protol antara satu halaman dengan halaman lainnya. Sehingga untuk bisa membaca isinya secara utuh harus mencocokkan potongan kalimat di akhir halaman dengan halaman lembaran diary berikutnya.
Ketika membaca buku harian Bu Soekesi saya kerap berhenti tidak mampu melanjutkan. Banyak ungkapan sedih yang terkadang membuat mata basah. Di antaranya kalimat yang ditulis dr. Soebandi dari tempat ia bergerilya di Kepanjen, Malang yang dikirim melalui kurir rahasia.
“Tolong jaga anak-anak dengan baik. Kalau Tuhan mengijinkan kita pasti akan dipertemukan lagi.” Ternyata surat tersebut adalah surat terakhir, karena 13 bulan kemudian Bu Soeksih dapat kabar kalau suaminya sudah meninggal dunia ditembak Belanda.
Ketika menerima takdir sebagai janda usia Bu Soekedih baru 28 tahun. Kendati keelokan wajahnya mengundang banyak pria untuk mendekati. Tetapi Bu Soekesi, menutup pintu hatinya.
“Saya tidak akan mau menikah lagi. Di hati saya hanya ada satu nama lelaki yakni dr. Soebandi,” demikian yang selalau diucapkan kepada anak kos yang tinggal di rumahnya yang berhasil saya temui.
Padahal, pasca kepergian suaminya tersebut, hidup Bu Soekesih sangat susah. Bersama tiga anak gadisnya harus pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk numpang tempat tinggal. Untuk menghidupi anak-anak ia kerja mulai sebagai penjahit, tukang sulam, sampai pegawai rumah sakit PTP.
Lagi-lagi saya meyakini, proses panjang menulis biografi pahlawan ini tak lepas campur tangan yang Kuasa. Andai saja, saya terlambat menulis beberapa saat, saya yakin buku yang kami tulis tidak ada isinya apa-apa. Karena tak lama setelah saya wawancarai, keempat orang narasumber inti di mana kesaksiannya menjadi ruh dalam buku biografi saya, semuanya tutup usia.
Bu Srinem dan Misjeni kurang dari setahun setelah saya wawancarai meninggal dunia sedang Pak Syaiful Akbar hanya hitungan bulan setelah memberi testimoni kepada saya juga menghadap Yang Kuasa.
Padahal, rencana semula Pak Syaiful Akbar dan Bu Srinem, sediannya akan dihadirkan pada saat launching buku yang dihadiri 900 undangan pada 9 Februari 2019. Tetapi, tepat sebulan sebelumnya Pak Syaiful sudak keburu tutup usia.
Sedang Bu Srinem, ketika hendak saya undang ia juga tengah sakit dan beberaa bulan berikutnya meninggal dunia. Setelah Bu Srinem tutup usia tak lama kemudian kakaknya Bu Misjeni menyusul. Demikian pula Bu Benih, yang menjadi saksi lainnya Rasa hormat saya kepada, beliau semua. Semoga Allah memberi tempat terbaik di alam sana.
Saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan dari TVRI, Mas Andre Arisotya , Mas Cuk, Mbak Rina, Mas Erik, Mas Faizal, Mas Uyun, serta kawan-kawan penggiat sejarah Mas Ahmad Zaki Yamani dari Begandring, juga kawan-kawan dari Reenactor Bangilers, Death Rail Hunter, Mojokerto Heritage Community, Djombangsche Reenactor, Penggiat Sejarah Malang, Warga Bejijong Trowulan Mojokerto, serta Lodji Besar Peneleh Surabaya yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu. (*)