Hari Listrik Nasional dan Sejarah Penerangan di Surabaya

Setiap 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional (HLN). Penanggalan ini terkait dengan Surat Penetapan Pemerintah Nomor  1 tahun 1945, tanggal 27 Oktober 1945 ketika dibentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia.

Namun, secara de facto, kehadiran listrik sebetulnya sudah ada sebelum tanggal tersebut. Menurut sumber dari Kementerian ESDM RI, sejarah kelistrikan Indonesia telah dimulai pada akhir abad ke-19, pada saat beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri.

Kelistrikan untuk umum mulai ada pada saat perusahaan swasta Belanda, yaitu N V. Nederlandsch Indiesch Gas Maastchappij (NIGM), yang semula bergerak di bidang gas, memperluas usahanya di bidang penyediaan listrik untuk umum. Pada tahun 1927 pemerintah Belanda membentuk s’Lands Waterkracht Bedriven (LWB), yaitu perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea lama di Sulawesi Utara dan PLTU di Jakarta.

Selain itu, di beberapa Kotapraja dibentuk perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja. Surabaya adalah salah satunya. Listrik adalah salah satu sumber penerangan yang pernah ada di Surabaya. Sebelum listrik, sumber penerangan di Surabaya berbahan bakar gas dan minyak.

 

Penerangan di Surabaya

Buku Oud Soerabaia ditulis GH Von Faber pada 1935. Di salah satu bab yang membahas “Penerangan Jalan”, ditulis seratus tahun lalu (1835), kondisi Surabaya masih gelap gulita, tidak ada penerangan jalan. Orang orang tidak keluar rumah di malam hari karena memang tidak ada yang dikerjakan di malam hari.

Baca Juga  Prasasti Canggu dan Surabaya

Kalau toh mereka keluar ke club Societeit, umumnya didahului (dipandu) oleh budak pribumi yang berjalan di depan sebagai petunjuk jalan tanpa menggunakan penerang. Bisa dibayangkan betapa sulitnya berjalan di kegelapan.

Kondisi seperti ini benar benar dimanfaatkan oleh mereka yang kreatif dan inovatif. Adalah orang orang Cina yang bisa mengambil kesempatan itu. Ia menawarkan jasa penerangan dengan menyediakan sentir (Jawa = alat untuk menerangi atau lampu kecil dengan bahan bakar minyak). Per bulan orang ini bisa, mengumpulkan 230 gulden sebagai pengganti sumbu dan minyak.

Penerangan yang masih sangat tradisional itu terhitung model alat penerangan pertama di Surabaya. Cara ini membuat penyedia jasa penerangan mengeruk banyak keuntungan secara pribadi. Pada 1863, kontrak jasa penerangan antara penyedia jasa dan pengguna jasa diputus.

Pada 1864 baru muncul model penerangan lampu minyak sebagai pengganti sumbu minyak (sentir). Dengan alokasi anggaran dari kas kota sebesar 2.500 gulden, maka uang itu dibelanjakan untuk 100 lampu minyak (lentera) yang dipasang di jalanan Surabaya.

Lentera-lentera ini berhasil membuat kota lebih terang di malam hari, tapi belum bisa membuat kawasan Simpang, Kayoon, Keputran, Kaliasin, Embong Malang dan Kupang terang. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi lentera untuk Surabaya.

Baru pada April 1867, timbullah cara penerangan baru dengan menggunakan  lentera yang digantung dengan tali di tengah jalan sehingga pancaran sinarnya pun rata. Pola penerangan jalan seperti ini dianggap sebagai penemuan baru sehingga menjadi tontonan warga di malam hari. Warga pun berani keluar di malam hari dan beraktivitas. Tapi masih ada jalan jalan yang gelap.

Bagi warga yang di lingkungan rumahnya gelap dan menginginkan lingkungan rumahnya terang seperti di jalanan, maka muncullah iklan iklan yang menawarkan lentera penerangan lingkungan.

Baca Juga  H.P. Berlage dan G.C. Citroen Untuk Surabaya, Apa hubungannya?

“Tidak ada uang, tidak ada cahaya”. Bagi yang beruang, maka lingkungan rumahnya terang. Tetapi yang tidak beruang, lingkungannya masih gelap.

Dalam kondisi seperti ini semakin banyak tuntutan kepada pemerintah untuk pengadaan penerangan jalan. Baru pada 1877 dibuat persiapan untuk pembangunan pabrik gas di Gembong. Pembangunannya baru terealisasi pada 1879. Pabrik gas di Gembong ini diproduksi dan dikelola oleh Nedelandsche Indiesch Gas Maatschappij (Perusahaan Gas Negara Hindia Belanda).

Hadirnya gas negara ini bagai sebuah pesta yang penuh dengan gemerlap karena di malam hari, di kantor pabrik gas Gembong, api menyala nyala menerangi lingkungan pabrik. Hadirnya penerangan ini menjadi bahan berita surat surat kabar.

Sebenarnya, aliran gas bumi ini sudah mulai mengalir ke rumah rumah pada 1879, tapi penerangan jalan umum menjadi lebih masif dan resmi menyala pada 1881. Dalam kurun waktu tahun 1900, 1910 dan 1920 dengan interval 10 tahunan, jumlah lampu gas untuk penerangan jalan umum terus meningkat mulai dari 430, 733, 1174 hingga 1709 buah.

 

Listrik di Surabaya

Sebenarnya, di awal abad 20, tepatnya pada 26 April 1906, listrik sudah mulai hadir di Surabaya ketika perusahaan gas NIGM (Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij) mendirikan perusahaan listrik bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) atau Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda.

ANIEM merupakan perusahaan swasta yang diberi hak untuk membangun dan mengelola sistem kelistrikan di Hindia Belanda. Sejak itu penerangan di Surabaya berubah dari tenaga gas bumi ke tenaga listrik.

Pada 1945, setelah Belanda menyerah kepada Jepang dalam perang dunia II, maka Indonesia dikuasai Jepang. Perusahaan listrik dan gas juga diambil alih oleh Jepang, dan semua personil dalam perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh orang-orang Jepang.

Baca Juga  Studi Kasus Antara Nilai Ekonomi Vs Nilai Heritage. 

Selanjutnya, dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu, dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh pemuda dan buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang dikuasai Jepang.

Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dan gas dari tangan Jepang, pada bulan September 1945 suatu delegasi dari buruh/pegawai listrik dan gas menghadap pimpinan KNI Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka.

Selanjutnya, delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No. 1 tahun 1945 tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tanggal 27 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *