Menelusuri Rumah Indonesische Studieclub Soerabaia

Bermula dari seminar tentang peran GNI dalam sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa di Surabaya pada 28 Oktober 2022, diketahui bahwa gerakan intelektual Indonesische Studieclub yang dibentuk oleh dr. Soetomo pada 1924, menjadi penyokong Sumpah Pemuda (1928) dan Kemerdekaan Indonesia (1945).

Dr. Samidi M. Baskoro, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, menyebutkan, Indonesische Studieclub Soerabaia ini bermula di sebuah rumah di Jalan Sulung.

Sementara Prof. Purnawan Basundoro, sejarawan dan Dekan FIB Unair, mengatakan, kehadiran Indonesische Studieclub Soerabaia ini menjadi pengobar semangat para kaum intelektual bumiputera dalam pergerakannya melanjutkan semangat Boedi Oetomo (BO) yang tercetus pada 20 Mei 1908.

Kiprah Indonesische Studieclub ini semakin membangkitkan semangat pergerakan. Mereka menginvestigasi persoalan-persoalan sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya di masyarakat. Mereka mencari solusi dari persoalan yang ada di masyarakat itu. Dari situlah masyarakat menjadi kuat dan mengerti apa yang selanjutnya mereka perbuat demi bangsa dan negara.

Tidak cukup berkiprah di rumah di Jalan Sulung, pada peringatan hadirnya Indonesische Studieclub yang ke enam tahun, mereka pun menginisiasi pendirian tempat baru yang lebih luas dan lebih representatif. Kelompok belajar ini bersifat rapat-rapat. Mereka mengatakan vergadering. Penyebutan vergadering yang berarti rapat dan kumpul-kumpul ini banyak disebut oleh koran-koran yang beredar pada masa itu. Yaitu dari sejak pendirian, 1924 hingga 1928. Di sana para pemuda terus bergerak sehingga gerakan mereka ini membuat takut pemerintah Belanda, khususnya di Surabaya.

Menurut Purnawan Basundoro, pihak Belanda bisa lebih tenang karena dr. Soetomo dalam kiprahnya menjalankan azas kooperatif dalam menakhodai Indonesische Studieclub Soerabaia dengan pemerintah Belanda. Apalagi gerakan yang dilahirkan berjuluk Studieclub, yang anggota dan pengurusnya lulusan dari universitas di Belanda. Mereka adalah para mahasiswa yang selama di Amsterdam tergabung dalam Perkumpulan Indonesia (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia). Umumnya mereka mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda.

Dengan label Studieclub ini, ada keleluasaan memainkan peran dalam membakar semangat kebangsaan dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakar, bangsa, dan negara. Sejak berpindah di Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan, kegiatan kegiatan Indonesische Studieclub semakin menyala.

Jalan Suung yang dikenal sebagai kawasan Amtenar. foto: begandring

Kawasan Amtenar

Jika keberadaan GNI tidak sulit diketahui, apalagi gedungnya juga masih ada, lantas di manakah rumah di Jalan Sulung yang disebut sebagai tempat awal kegiatan Indonesische Studieclub Soerabaia itu?

Baca Juga  Bulan Bung Karno: Warisi Apinya, Jangan Abunya

Kawasan Sulung memang sudah tercatat sejak lama sebagai tempat penting di Surabaya. Kawasan ini sudah menjadi salah satu titik pertahanan Trunojoyo dalam menghadapi Speelman dan prajuritnya yang hendak menyerang Surabaya pada 1677.

Kawasan Sulung, berdasarkan peta yang diilustrasikan dalam buku Soerabaja 1900-1950 terbitan Asia Maior, disebut sebagai kawasan penting, di mana pemerintahan klasik Surabaya bertempat. Kini, kawasan itu dikenal dengan kawasan Tugu Pahlawan.

Di sanalah sistem pemerintahan lokal itu berada. Asia Maior menyebut di kawasan itu ada kediaman Bupati Pertama atau Sepuh atau Kasepuhan (Eerst Regent) dan Bupati Kedua atau Enom atau Kanoman (Twee Regent) berada. Karenanya, di kawasan ini terdapat nama Jalan Aloon Aloon Straat (Jalan Alun-Alun) yang sudah berganti nama menjadi Jalan Pahlawan.

Di kawasan Sulung juga terdapat sekolah Inlandsche School, dimana Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda Soekarno, mengajar dalam kurun waktu 1898-1901. Kawasan Sulung adalah kawasan elit, kawasan amtenar.

Ketika Samidi dalam paparannya menyebut bahwa Indonesische Studieclub Soerabaia berada di sebuah rumah di Jalan Sulung, maka pelacakan pun dimulai.

Sumber koran yang menyebut keberadaan Indonesische Studieclub di Sulung.

 

Sumber Koran

Samidi menyebut sumber koran itu adalah Indische Courant (23/2/1925) dan De Locomotive (25/2/1925). Dari penelusuran melalui laman delpher.nl diketahui bahwa kehadiran Indonesische Studieclub di Surabaya ini menjadi berita yang seksi.

Tidak hanya Indische Courant dan De Locomotive yang memberitakan Studieclub di Surabaya, masih ada lagi koran-koran yang menulis tentang kiprah Indonesische Studieclub di Surabaya yang dipimpin oleh dr. Soetomo yang namanya tidak lepas dari tulisan-tulisan itu.

Koran koran lainnya adalah De Telegraph, Indian Newspaper, General Trade Magazine for the Dutch, Batavian Newspaper dan The Evening Mail. Koran-koran ini tidak hanya terbit di Surabaya dan Hindia Belanda, tapi juga terbit di Belanda dan Eropa. Betapa gerakan yang luar biasa dimainkan oleh Indonesische Studieclub yang ada di Surabaya.

Pemberitaan itu terjadi dalam kurun waktu antara 1924 hingga 1927 atau menjelang Sumpah Pemuda pada 1928. Hadirnya Studieclub di Surabaya ini seperti membakar semangat bumiputera dan membakar jenggot penguasa kolonial.

Kurun waktu itu menunjukkan bahwa Studieclub Soerabaia ini masih bertempat di Sulung. Dari rumah kecil (1924), tidak sebesar GNI (1930) tapi eksistensinya membuat geger Hindia Belanda dan negeri Belanda.

Sampai sampai koran-koran itu menulis bahwa gerakan Indonesische Studieclub ini sebagai aksi propaganda. Namun pihak penguasa tidak bisa berbuat banyak karena gerakan yang dipimpin dr. Soetomo ini berazaskan politik kooperatif. Masih ada kerja sama dengan pihak Belanda.

Baca Juga  Bukti Otentik Soekarno Sekolah di HBS Surabaya

Berbeda dengan klub yang sama di Bandung yang digerakkan oleh Soekarno, yang nyata-nyata berkiprah di jalur politik. Sehingga Soekarno pun dijebloskan di penjara Sukamiskin, Bandung karena aksi-aksinya yang dianggap membahayakan.

Sederetan rumah kuno di Jalan Sulung. foto: begandring

 

Kompleks Militer

Selanjutnya menapaktilasi Jalan yang secara administratif masuk dalam wilayah Kelurahan Bubutan, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Jalan Sulung membujur di tepi barat sungai Kalimas mulai dari jembatan Pasar Besar (selatan) hingga Jembatan Bibis (utara).

Dari pengamatan lapangan, Sabtu, 29 Oktober 2022, dengan menyusuri Jalan Sulung mulai ujung selatan (Pasar Besar) hingga ujung utara (Jembatan Bibis), hanya terdapat 3 unit rumah lama yang diduga dibangun pada era akhir abad 19 atau awal abad 20.

Rumahnya model arsitektur indis. Bentuknya simetris. Pada kiri dan kanan bangunan berupa ruangan kamar. Di antaranya teras yang menjorok ke dalam. Ada dua pintu berdampingan.

Pada fasad rumah tersebut tidak ada dua jendela mengapit satu pintu (di tengah tengah) seperti pada umumnya. Bisa jadi dua pintu ini menggantikan keberadaan dua jendela, yang berfungsi sebagai ventilasi dan sirkulasi udara. Namun di ruangan (kamar) yang tertata di samping kiri dan kanan rumah memiliki jendela besar.

Dari ketiga unit rumah di jalan Sulung ini, hanya rumah yang beralamat di Jalan Sulung 49-51 yang ter-design seperti deskripsi di atas. Satu rumah yang agak ke selatan memiliki gaya arsitektur berbeda. Sementara rumah yang bersebelahan dengan nomor 49-51 atau di samping utaranya, diduga memiliki design arsitektur yang sama. Rumah ini beralamat di Jalan Sulung 53.

Sayang, pada tampak depan, khususnya pada bagian ruang teras ditutupi oleh bangunan baru sehingga ruang teras tidak bisa terlihat dari depan. Kira kira rumah ini juga memiliki design yang sama dengan rumah bernomor 49-51.

Penelusuran sempat mampir di rumah nomor 49-51 dan bertemu dengan tuan rumah, Agus Heri Prasetyo (62 tahun). Ia menempati rumah itu sejak lahir. Rumah itu sudah ditempati mulai dari kakek neneknya. Neneknya orang pribumi dan kakeknya orang Belanda. Bapaknya pun lahir di tempat itu.

“Bapak saya militer KKO berpangkat terakhir kolonel, baru meninggal di Jakarta tahun 2022 di usia 90 tahun. Namanya Drs. Supriyadi,” kata Agus Heri.

Baca Juga  Keunikan Marga Han, dari Kekuasaan sampai Keberagaman Keluarga

Meski rumah yang ditempati tidak jauh dari aset Kodam V/Brawijaya (daerah Johar dan di Jalan Sulung sisi utara), namun rumahnya di Jalan Sulung 49-51 adalah milik pribadi yang non militer. Rumah ini sudah turun-temurun sejak kakeknya.

Mengapa penelusuran berfokus ke rumah ini? Karena rumah ini, khususnya pada bagian teras, memiliki kemiripan dengan foto para pengurus Indonesische Studieclub Soerabaia, di mana ada dr Soetomo, Soenario Gondokusumo dkk. Kemiripannya itu terlihat pada dua pintu yang bermotif krepyak.

Ketika ditanya tentang rumah-rumah lama di sepanjang Jalan Sulung yang memiliki design seperti nampak dalam foto, Heri menjawabnya tidak ada.

“Setahu saya, rumah-rumah seperti rumah saya dan seperti yang nampak dalam foto lama ini tidak ada. Ya ini satu-satunya sekarang. Rumah di sebelah ini bisa jadi mirip, tapi karena bagian terasnya diberi tambahan sehingga sosok arsitekturnya tidak kelihatan,” jelasnya.

“Tapi dulu di Jalan Sulung bagian utara, tepatnya di kompleks perumahan Kodam V/Brawijaya yang menghadap ke Kalimas, seingat saya ada. Sekarang kompleks itu sudah jadi kompleks pertokoan,” imbuh Agus Heri.

Di kompleks Kodam V/Brawijaya ini, kata Agus Heri, pernah ada tiga unit rumah semacam ini. Ketiga unit rumah peninggalan Belanda itu berjajar tiga yang di depannya terdapat taman. Area kompleks ini ada gapura dan pagar pembatas. Di luar pagar adalah jalan Sulung dan Kalimas.

“Mungkin yang dimaksud dengan rumah yang pernah dipakai sebagai markas Indonesische Studieclub mulai dari 1924-1930 adalah di kompleks militer itu. Tapi di zaman itu, sebelum kemerdekaan, kompleks itu belum menjadi aset Kodam V/Brawijaya. Itu adalah kompleks perumahan Belanda yang dibatasi dengan pagar yang bergapura. Tentu rumahnya orang kaya zaman itu. Tidak seperti rumah saya yang ditempati kakek dan nenek saya,” tambah Agus Heri sambil mengenang masa-masa kecilnya yang pernah melihat keberadaan rumah-rumah di area berpagar dan bergapura itu.

Sekarang, di Jalan Sulung ini, hanya rumah yang ditempati Agus Heri yang memiliki kemiripan dengan rumah yang dipakai setting foto bersama oleh dr Soetomo dan kawan kawan pergerakan.

Sayangnya, sumber koran-koran yang terbit mulai tahun 1924 hingga 1927, tidak menyebut nomor dari rumah yang ditempati Indonesische Studieclub Soerabaia. Dalam surat surat kabar itu hanya menyebut Indonesische Studieclub di Jalan Sulung. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *