Surabaya sebagai Sajadah Sejarah Kota

Tak berlebihan kiranya menyebut Surabaya sebagai Kota Sejarah. Pasalnya, ada 15 museum di Surabaya yang menyajikan pesona masa lalu kota dalam bingkai sejarah. Masing-masing museum dibingkai tematik. Ada Museum Olahraga, Museum Pendidikan, Museum dr. Soetomo hingga Museum Kepahlawanan. Jumlah museum bisa bertambah dengan temuan dan keberadaan bukti kesejarahan kota.

Selain museum, ada beragam platform dalam menyajikan kesejarahan. Salah satunya berbentuk film. Sebuah film dengan judul “Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi 45” sedang diproduksi oleh TVRI Jatim bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya, Begandring Soerabaia, dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair. Pembuatan film dokumenter ini diharapkan mampu mengangkat sejarah Kota Surabaya.

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi dalam rekaman talkshow  “Dialog Publik” di TVRI Jatim, Senin (7/11/2022), menyatakan keinginannya memvisualkan sejarah Kota Surabaya. Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak dia yakin sejarah Kota Surabaya bisa ditampilkan secara visual sehingga pesannya mudah dicerna.

“Apalagi di era milenial sekarang, pendekatan audio visual lebih disukai zaman, utamanya oleh anak anak muda,” katanya.

Eri lalu menceritakan, awalnya Pemerintah Kota Surabaya menjalin kerja sama dengan TVRI, FIB Unair dan Begandring Soerabaia memproduksi film Koesno, Jati Diri Soekarno. Tujuan sebenarnya menegaskan bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar.

Asep Suhendra dan Eri Cahyadi. foto: begandring

 

Dasar pembuatan film ini, sebut dia, adalah fakta dan bukti-bukti literatur tertulis bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Dari data itu kemudian diolah dan dijadikan format film.

“Ternyata film ini masuk nominasi FFI 2022. Semoga menang,” kata Eri.

Film dokumenter semacam ini yang diharapkan dapat menjadi alat dalam pelestarian nilai nilai kejuangan dan kepahlawanan bagi generasi muda.

Baca Juga  Catatan Mahasiswi FIB Unair: Menjadi Bagian Dari Begandring Soerabaia

“Saya perintahkan film seperti Koesno, Jati Diri Soekarno dan Soera ing Baja diputar di seluruh Museum di Surabaya dan sekolah sekolah di Surabaya,” kata Eri. Seruan wali kota ini disambut sorak gembira oleh audiens di studio TVRI.

Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono yang juga menjadi pembicara, mengatakan, Surabaya ini bagaikan sajadah sejarah Kota Pahlawan. Makanya, terlalu sayang jika kurang dimanfaatkan.

Nanang mengibaratkan sejadah yang mengalasi masjid tapi masih sepertiga saja yang dipakai. Sementara dua pertiganya belum dipakai.

“Artinya rumah ibadah itu belum penuh oleh jamaah. Karenanya, takmir berteran untuk memakmurkan masjid agar ruang masjid yang beralaskan karpet (sajadah) dapat dipenuhi jamaah,” katanya.

Gambaran sajadah ini bagai wilayah administrasi Kota Surabaya yang kaya akan nilai sejarah. Tetapi selama ini, hanya tempat tertentu saja yang tergali sejarahnya.

Masih banyak jejak sejarah di Surabaya yang perlu digali, disosialisasikan, dan dimanfaatkan. Sehingga nilai sejarah Kota Pahlawan ini dapat bermanfaat di banyak bidang, yakni pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata yang berujung pada ekonomi kreatif.

“Ini dapat memakmurkan warga kota secara keseluruhan,” cetus jurnalis senior itu.

Menurut dia, memenuhi shaf-shaf yang beralaskan sajadah adalah wujud kemakmuran masjid. Menggali kesejarahan kota di berbagai wilayah di kota Surabaya adalah jalan menuju kemakmuran warga.

Jika kenyataann sekarang belum banyak nilai sejarah dan tempat-tempat bersejarah yang belum digali, hal itu menjadi tanggung jawab bersama semua pihak.

Kukuh Yudha Karnanta, dosen FIB Unair, mengatakan, film Koesno, Jati Diri Soekarno adalah jawaban atas kualitas hasil kerja kolaboratif antara komunitas, akademisi, media dan Pemerintah Kota Surabaya dalam produk film.

“Bisa menjadi nominasi FFI adalah suatu ukuran akan kualitas karya. Tidak hanya berkualitas dari sisi konten, tapi juga pada videografinya. Ini tidak mudah,” jelas pemenang kritikus film FFI 2021 , ini.

Baca Juga  Mengenal Orang-Orang Penting di Makam Belanda Peneleh

Dia lalu menegaskan, film seperti Koesno ini adalah genre baru dalam dunia perfilman. Yaitu, genre dokumenter drama (dokudrama).

“Sekarang film dokumenter kedua yang menjadi pekerjaan kolaboratif pentahelix adalah Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi 45,” jelas Kukuh.

Suasana talkshow di TVRI Jatim. foto: begandring

Kepala Stasiun TVRI Jawa Timur Asep Suhendra sangat mengapresiasi hasil kerja anak buahnya yang hanya ditangani oleh 6 kru tapi dapat menembus tangga nominasi FFI 2022 untuk kategori “Film Pendek Terbaik”.

Menurut dia, Karya TVRI Jawa Timur ini mengharumkan lembaga Penyiaran Publik TVRI secara keseluruhan. Sampai sampai film Koesno ini dibedah oleh jajaran TVRI pusat Jakarta.

Sementara bagi komunitas pendukung film Koesno, pengakuan profesional terhadap film Koesno ini menjadi cambuk untuk berkarya secara lebih profesional. Yakni dengan penguatan dalam bidang riset nilai-nilai sejarah mulai dari cerita dan alur peristiwa sejarah hingga benda benda yang menjadi kelengkapan sejarah.

Dalam proses produksi rekaman di TVRI Jatim, mereka datang dengan kelengkapan busana dan aksesoris yang menyertai.

“Mereka ini Arek-Arek Surabaya, bukan artis. Mereka tidak bisa digantikan oleh artis Jakarta dalam produksi historia kota Surabaya,” timpal Eri Cahyadi. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *