Indonesia Reinkarnasi Kerajaan Majapahit, Benarkah?

Secara fisik (tangible), Kerajaan Majapahit sudah sirna. Itu sebagaimana bunyi sengkalan “Sirna ilang kertaning bumi”. Sengkalan adalah penanda waktu yang digunakan oleh orang Jawa di masa lalu.

Dalam sengkalan, tiap kata merujuk pada angka tertentu. Sirna merujuk pada angka (0), ilang berarti  angka (0), kertaning merujuk pada angka (4), dan bumi adalah (1). Sengkalan itu berangka 0041.

Sebagai penanda waktu, sengkalan ini dibaca dari belakang ke depan atau dari kanan ke kiri. Secara berurutan memang tertulis 0041, tapi dibaca 1400 tahun Saka, yang dalam tahun masehi menjadi 1478 M.

Tahun 1478 adalah masa Brawijaya V yang bertahta antara 1478-1498 M. Tahun 1478 juga sebagai tetenger perpindahan ibuk ota Majapahit dari Trowulan ke Daha.

Pada tahun itu, 1478, terjadi peristiwa gugurnya Bhre Kertabumi (Raja Majapahit ke 11) oleh Girindrawardhana (Brawijaya V), raja Majapahit ke 12, yang bertahta antara 1478-1498 M.

Di bawah Girindrawardhana inilah, ibu kota Majapahit dipindahkan ke Dhaha, sebelum akhirnya kekuasaan atas Jawa berpindah ke Nagari Kasultanan Demak, yang sesungguhnya sudah berdiri sejak 1481/1482.

Sirnanya kekuasaan Girindrawardhana dari Majapahit ini, kemudian disusul dengan hadirnya Nagari Kasultanan Demak hingga 1546 (Sunan Trenggono).

Praktis, umur Kerajaan Majapahit adalah 205 tahun yang dihitung dari 1293 ( berdiri) hingga sirnanya Girindrawardhana (Brawijaya V) pada 1498.

Namun secara spirit (intangible), Majapahit masih hidup dan ruhnya menjiwai berbagai sendi kehidupan Nagari yang sekarang bernama Indonesia. Sekarang di tahun 2022, usia Majapahit 729 yang terhitung dari 1293-2022.

Dalam sebuah sarasehan dalam rangka peringatan HUT Majapahit ke 729, yang diselenggarakan oleh Sanggar Bhagaskara di desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Sabtu (12/11/2022), Laksda (pur) Untung Suropati, pengamat militer dan praktisi budaya, mengatakan bahwa Majapahit hanya berganti nama, menjelma menjadi Indonesia.

Dicontohkan ahwa bendera kebangsaan Indonesia, Merah-Putih, tidak lain berasal dari warna panji panji Majapahit: getah-getih, gulo klopo (merah) beras putih (putih).

Baca Juga  Pandean Lor Diduga sebagai Kampung Lahir Bung Karno

Bahkan paduan warna merah-putih juga dikibarkan oleh TNI-AL dalam Kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai bendera maritim (lencana perang) dengan masing-masing nama “Lencana Perang” dan panji “Ular-Ular Perang”.

Kebesaran dan kekuatan mariitim Majapahit, yang menguasai lautan Nusantara, disimbolkan dengan adanya lima gugus armada Majapahit di bawah komando Laksamana Nala.

Menurut Dedi Endarto, pembicara lainnya, kelima gugus armada Majapahit ini berjaga dan siap siaga di sebelah barat Sumatera sebagai gugus kapal perang penjaga Samudera Hindia (Gugus Armada Satu). Kemudian Gugus Armada Kedua menjaga Laut Kidul atau sebelah selatan Jawa.

Gugus Armada Ketiga bertugas menjaga perairan Selat Makassar dan wilayah Ternate, Tidore, dan Halmahera. Gugus Armada ke empat menjaga Selat Malaka dan Kepulauan Natuna. Terakhir atau Kelima menjaga Laut Jawa hingga ke arah timur sampai kepulauan rempah-rempah Maluku.

Sebenarnya, masih banyak lagi contoh sendi sendi Majapahit yang sudah mbalung-sumsum (menyatu) dalam jiwa-raga Indonesia. Generasi sekarang dan mendatang tentu tidak akan tau dan menyadari bahwa Majapahit itu ber-reinkarnasi menjadi Indonesia.

Karenanya perlu upaya pelestarian nilai nilai luhur para moyang Majapahit, yang telah menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapa (1336), yang menjadi kekinian di era pergerakan dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928)

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan atau sumpah janji yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1258 Saka (1336 M).

Sementara, Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Sumpah Pemuda adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan di Batavia (Jakarta) selama dua hari, 27—28 Oktober 1928.

 

Penjajahan Baru

Laksda (pur) Untung Suropati, yang juga mantan dosen Lemhanas, membawakan materi Rivalitas Geopolitik Milenium II: Jatuh Bangun Majapahit dan Implikasinya. Ia mengingatkan bahwa dalam persaingan global yang ujungnya adalah perebutan kekuasaan secara global, segala cara akan dilakukan oleh pesaing.

Caranya tidak perang dengan angkat senjata, tetapi dengan cara-cara persuasif. Pertama, mengaburkan sejarahnya. Kedua, menghilangkan atau menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga, memutuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Baca Juga  Tugu Pahlawan sebagai Simbol Pengingat Masa Depan Bangsa

Cara-cara ini, percaya atau tidak, sudah terjadi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi sekarang dan mendatang niscaya tidak akan mengenal sejarah bangsanya karena sudah tidak ada lagi pelajaran sejarah secara formal di sekolah sekolah.

Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono mendorong komunitas sejarah dan budaya senantiasa aktif dan kreatif dalam berkarya secara edukatif bagi lingkungannya. Karena dengan upaya itu mereka tidak melupakan sejarah dan berkarya visionir dengan berpijak pada sejarah dan kearifan lokal.

“Apa yang anda geluti dalam komunitas, hendaklah tidak hanya bermanfaat untuk internal komunitas, melainkan juga secara eksternal memberi manfaat bagi lingkungan dan sesama,” tegas Nanang.

Ia memberi sebuah contoh akan masih adanya peradaban maritim Majapahit di Surabaya, tapi justru keberadaannya dipandang sebelah mata. Bahkan keberadaannya terancam sirna. Yaitu jasa tambangan, penyeberangan sungai di Kalimas.

“Di tahun tahun sebelumnya, ada beberapa jasa perahu tambangan di sungai Kalimas. Sekarang hanya tinggal satu di daerah Ngagel. Padahal karena jasa tambangan, anambangi, nama Surabaya dicatat oleh Raja Hayam Wuruk dan itu terdokumentasikan pada prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 M”, papar Nanang yang berupaya mempertahankan jasa tambangan di sungai Kalimas, Surabaya.

Jika semua pihak mengerti sejarah jasa tambangan, maka keberadaan tambangan di Kalimas Surabaya dan di Kali Surabaya akan dijaga kelestariannya sebagai fungsi jasa perhubungan dan secara historis yang menguak asal usul Surabaya.

Kota Surabaya yang metropolis ini berawal dari sebuah desa kecil di tepian sungai (naditira pradeca). Surabaya adalah salah satu naditira pradesa dalam untaian desa desa penting di sepanjang aliran sungai Brantas.

Jasa tambangan di Kalimas, Ngagel, Surabaya. foto: begandring

 

Peradaban Maritim Majapahit

Sungai pernah menjadi sarana transportasi utama di pulau Jawa. Kini, sudah tidak ada lagi denyut urat nadi transportasi di sungai sungai, khususnya di pulau Jawa. Transportasi darat telah mengambil alih. Padahal volume kendaraan semakin bertambah. Jalanan semakin padat, meski ribuan kometer jalan tol telah dibuka. Kepadatan terlihat di sepanjang jalan darat.

Baca Juga  Kunjungan Perdana ke Museum Desa Madanten

Sementara, sungai semakin dan sudah ditinggalkan. Sungai bukan lagi sebagai wajah dari sebuah peradaban. Tapi menjadi belakang (Jawa: bokong) yang cenderung sebagai tempat pembuangan limbah dan kotoran, termasuk kotoran pabrik (industrial waste). Senanglah mereka para kapitalis yang dengan aman dan nyaman bisa membuang limbahnya ke sungai.

Sungai sungai yang mengular dan mengikat antar propinsi, antar kabupaten hingga antar desa ini seolah menjadi saksi abadi ketertinggalan dalam kemajuan suatu negeri. Semaju apapun negeri ini, jika daerah di sekitar aliran sungai tetap menjadi bagian belakang, mereka yang tinggal di sana tetap saja terbelakang. Padahal di negeri ini ada jasa ASDP.

ASDP adalah singkatan dari Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan. Namun selama ini yang sering kita dengar kabar beritanya adalah penyeberangan saja. Yakni penyeberangan antar pulau seperti: Ketapang (Jawa) – Gilimanuk (Bali), Merak (Jawa) – Bakahueni (Sumatera), dan Bali-Lombok.

Padahal penyeberangan dan angkutan sungai juga tidak kalah pentingnya untuk menunjang aktivitas perekonomian masyarakat. Jika jasa angkutan dan penyeberangan sungai sudah ada di era Majapahit, Mataram dan bahkan Hindia Belanda, mengapa di era Indonesia, jasa ini justru mati?

Padahal, sektor transportasi sungai, secara langsung dan tidak langsung, sangat penting dikembangkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan di wilayah-wilayah tertentu. Diakui atau tidak, transportasi sungai merupakan bagian integral dari suatu fungsi masyarakat. Adapun transportasi di pulau Jawa umumnya digunakan di daerah-daerah yang jauh dari fasilitas jembatan.

Sesungguhnya, reaktivasi sungai sebagai fungsi transportasi tidak hanya berorientasi pada fungsi perhubungan, tetapi juga pada pelestarian nilai nilai sejarah bahwa tambangan (Jawa Kuna: anambangi) dan berberahu (Kawa Kuna: maparahu) adalah wujud peradaban nenek moyang. Jika peradaban itu dilestarikan, bukan tidak mungkin kesejahteraan juga akan menyertai. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *