Gedung Algemeene (Berlage) atau yang secara umum disebut Gedung Singa di jalan Jembatan Merah, Surabaya benar benar menjadi perhatian dunia, khususnya mereka yang ekspertis di bidang arsitektur, seni dan budaya.
Gedung Singa ini satu dari dua karya HP Berlage di Indonesia. Satu lainnya ada di kawasan Kota Tua Batavia (Jakarta). Tapi Gedung Berlage di Surabaya jauh lebih nyeni, indah, dan bagus.
Karenanya, keberadaannya banyak mencuri perhatian para arsitek, peneliti, seni dan budaya, dan bahkan antusiast Berlage. Gedung Berlage, yang dibangun pada tahun 1901 ini, menjadi gedung modern pertama di Surabaya dan di Hindia Belanda (Indonesia).
Modernisasi pada gedung karya Berlage ini terpadu dengan nilai seni budaya dan filosofi. Gedung Singa tidak hanya menyediakan fungsi fisik bagi penggunanya, tapi juga menghadirkan nilai-nilai budaya dan filosofi yang bermakna sebagai konsumsi hati dan rasa.
Secara fisik, design arsitekturnya sangat berbeda di eranya, awal abad 20. Yakni, semua bangunan di Surabaya, khususnya kawasan Kota Tua (Kampung Eropa) Surabaya, masih bertengger gedung gedung ala Indische dengan pilar pilar (kolom silinder) pada bagian depan bangunan, Berlage menghadirkan design dan gaya arsitektur yang kontras, berbeda dan moderen.
Tidak ada kolom kolom pada gedung Berlage. Pada fasad dihadirkan gaya arc (plengkung) baik pada depan lantai satu maupun lantai dua. Ketika gedung gedung gaya Indisch dari abad 19 didominasi dengan warna putih, Berlage dengan Gedung Singa hadir dengan warna berani tapi tetap natural. Yaitu warna terakota pada batu bata exposed yang membentuk relung relung fasade.
Warna warni, namun tetap natural seperti: terakota, kuning, biru, hitam juga menghiasi gedung melalui ornamen konstalasi keramik lukis yang dibuat oleh Jan Toroop. Pewarnaan ini menjadikan gedung yang menghadap ke Kalimas ini tampak eye-catching.
Bahkan hingga sekarang. Lukisan yang tampak pada konstalasi keramiknya menyajikan pesan dan filosofi dari perusahaan yang menempati gedung ini.
Perusahaan ini bernama Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam. Yaitu Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam. Orang lokal mengatakan Gedung Singa.
Sebutan Singa juga tidak lepas dari adanya sepasang Singa bersayap yang mengapit pintu utama gedung. Patung singa, yang menjadi hiasan gedung ini, dibuat oleh seorang pematung asal Brasil yang bernama Joseph Mendes Da Costa. Stampel yang berbentuk inisial tampak pada bagian pedastal patung, JMDC.
Seperti halnya keyakinan orang Jawa, seperti pada kompleks candi atau pada gerbang di suatu daerah, di sana terdapat sepasang arca Dwarapala. Maksudnya, secara mythologi dan filosofi, sepasang arca ini untuk menjaga siapapun yang memasuki daerah atau kompleks itu.
Pun demikian dengan siapa pun yang memasuki Gedung Singa, maka kehadiran mereka di dalam gedung itu senantiasa dalam perlindungan.
Dari kehadiran Gedung Algemeene Maatschappij (Gedung Singa), modernisasi yang ditampilkan adalah rasa berani dari sang arsitek untuk menghadirkan tidak hanya gaya arsitektur, tapi perpaduan cita rasa seni pada karya seni keramik lukis dan patung singa, yang memang menggambarkan profil perusahaan.
Penulis bersama pasangan peneliti Max Meijer dan Petra Timmer. foto: begandring
Perhatian Peneliti Belanda
Petra Timmer (1958) dan Max Meijer (1959) adalah sepasang suami istri dari Belanda. Mereka sedang meneliti peninggalan HP Berlage di Surabaya.
Petra Timmer adalah seorang kurator, peneliti, penulis, dosen dan project manager jebolan dari Vrije Universiteit in Amsterdam dan menyandang gelar Ph.D di tahun 2000.
Petra Timmer (1958) mempelajari sejarah seni di Universitas Utrecht. PhD pada tahun 2000 di Vrije Universiteit di Amsterdam. Petra telah bekerja selama lebih dari 20 tahun sebagai kurator independen, peneliti, penulis, dosen, dan manajer proyek.
Petra pernah bekerja sebagai pekerja lepas dengan berbagai lembaga kebudayaan dan museum terkemuka di Belanda dan luar negeri. Ia memprakarsai dan menyelenggarakan pameran di Museum Stedelijk Amsterdam, Institut Néerlandais di Paris, Städtische Kunstsammlungen Chemnitz, IVAM Valencia, Erasmushuis Jakarta, Galeri Nasional Kuala Lumpur dan Museum Metropolitan Manila.
Hingga sekarang , mereka bekerja sebagai peneliti (kebijakan publik), manajer proyek, dan humas di Badan Warisan Budaya Negara (ICN), Rijksmuseum Schiphol, Yayasan Sikkens, Kementerian Kebudayaan, Yayasan Premsela untuk desain Belanda dan Museum Catharijneconvent.
Dengan berbagai pengalaman dan perhatiannya di berbagai bidang sejarah, seni dan budaya, mereka berdua tertarik untuk meneliti karya Berlage. Salah satunya adalah karya Berlage yang berada di Surabaya.
“Berlage tidak hanya menghasilkan karya yang bersifat fisik berupa gedung, tapi banyak nilai nilai yang tersimpan di balik karya fisik. Karena itulah, kami datang kemari untuk melihat karya Berlage lebih dekat”, jelas Petra ketika berada di depan Gedung Singa Surabaya, Minggu (27/11/2022).
Petra dan Max datang ke Surabaya seolah menpak tilasi perjalanan HP Berlage ketika ia berkunjung ke Hindia Belanda pada 1923.
“Ia datang ke Hindia Belanda, kemudian menulis kisah perjalanannya dalam sebuah buku dan lahirlah buku Mijn Indische Reis. Kami membawa buku itu dalam perjalanan kami ke Indonesia dan Surabaya,” papar Petra seraya menunjukkan catatan perjalanan Berlage dalam benruk buku itu.
Karya Berlage yang disebut Gedung Singa itu terkenal di dunia, khususnya di kalangan arsitek dunia.
“Saya kira Surabaya berbangga dengan memiliki karya arsitek terkenal seperti Berlage,” tambah Max Meijer.
Sisa tembok kota Surabaya yang bisa dimanfaatkan sebagai monumen bak tembok kota Berlin. foto: begandring
Revitalisasi Kampung Eropa
Rencana melanjutkan program revitalisasi Kampung Eropa di Surabaya oleh pemerintah Kota Surabaya mendapat apresiasi dari Max Meijer dan Petra Timmer. Selama di Surabaya mereka berdua tinggal di sebuah hotel vintage di Kampung Pecinan.
Mereka suka dengan atmosfir dan suasana di lingkungan hotel. Tidak hanya menikmati suasana hotel, mereka juga sempat menikmati Wisata Pecinan Kembang Jepun pada Sabtu malam (26/11/2022).
Dengan didampingi Begandring Soerabaia, Max dan Petra pada Minggu (27/11/2022) menjelajah kawasan Kampung Eropa, di barat sungai Kalimas, yang rencananya pemerintah Kota Surabaya akan melanjutkan proyek revitalisasinya.
Mereka berdua sudi berjalan kaki menyusuri jalanan di kawasan Kampung Eropa ini. Pada setiap langkah, diskusi mengenai Kampung Eropa menyertai kebisingan jalanan. Di antara poin-poin diskusi itu adalah gagasan sebagai kontribusi pemikiran terhadap upaya revitalisasi Kampung Eropa.
Ada dua poin untuk mendukung dan mewarnai meriahkan Kampung Eropa. Petra menyampaikan bahwa Gedung Berlage bisa menjadi Landmark Kampung Eropa.
“Misalnya gedung ini bisa dimanfaatkan dalam rangkaian seremonial pembukaan Kampung Eropa. Gedung Berlage bisa menjadi magnet yang menarik perhatian dunia,” jelas Petra.
Ia menambahkan, di dalam Gedung ini bisa dipakai sebagai tempat untuk ajang pameran karya karya Berlage di dunia. Di sana juga bisa dipakai diskusi diskusi seni arsitektur.
“Saya kira Begandring Soerabaia bisa bekerjasama dengan pemerintah dan kami bisa ikut mendukung untuk menghidupkan Gedung ini sebagai bagian dari atraksi Kampung Eropa”, tambah Petra.
Seperti diketahui Gedung Algemeen Maastchappij adalah karya monumental Berlage di Hindia Belanda (Indonesia) di awal abad 20. Ini juga menjadi karya kelas dunia sehingga menjadi jujugan pemerhati dunia untuk datang dan melihatnya di Surabaya. Gedung Berlage menjadi magnet Kota Tua (Kampung Eropa) Surabaya.
Sementara itu di sudut kota tua lainnya, di jalan Krembangan Timur, Max Meijer ketika melihat sisa tembok Kota Surabaya, imaninasinya langsung melayang ke Jerman di mana sisa tembok yang masih berdiri dan pernah membatasi Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi sebuah monumen yang menarik perhatian wisatawan dunia.
“Saya kira sisa tembok kota Surabaya ini bisa dijadikan sebuah monumen yang dapat menambah atraksi wisata yang sangat informatif di Kampung Eropa ini,” gagas Max yang memang ahli konsultan di bidang museum, cagar budaya dan seni budaya.
Tembok Berlin secara historis pernah menjadi pembatas antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Kini, kedua Jerman itu telah bersatu. Namun secuil sisa tembok pembatas itu telah menjadi sebuah monumen. Sisa tembok yang paling panjang dapat ditemukan di antara distrik Friedrichschain dan Kreuzberg.
Dengan panjang 1,3 km, sisa tembok Berlin tersebut telah diubah menjadi galeri sejak tahun 1990 dan masih bertahan sampai sekarang. Kini keberadaannya menjadi daya tarik wisata.
“Tembok ini juga punya potensi sebagai atraksi historis yang penting bagi kota Surabaya”, tambah Max.
Max dan Petra tidak hanya menjelajah Kawasan Kota Tua Surabaya, mereka juga mengunjungi Makam Belanda Peneleh. Baginya, Makam Peneleh adalah taman Pustaka sejarah Kota Surabaya karena di sana banyak tokoh-tokoh penting yang bernah berjasa bagi Surabaya. Ada kisah kisah menarik dari perjalanan hidup mereka hingga mereka meninggal.
“Ini tidak hanya orang orang Belanda, tapi orang Eropa. Ada Belanda, Inggris, Perancis, Italia, Jerman. Itu terlihat dari nama nama mereka”, pungkas Max. (*)