Lima Jam Jelajah Sejarah Kawasan Simpang

Surabaya Urban Track (Subtrack) kembali digelar, Minggu (13/2/2022). Kali ini, kegiatan yang berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair itu, menjelajah kawasan Simpang, sebuah kawasan elit di Surabaya. Lima jam lebih peserta bercengkerama di kawasan yang menyimpan catatan sejarah panjang tersebut.

Ada 20 peserta ikut Subtrack bertajuk Simpang Heritage Walk ini. Mereka berasal dari Surabaya dan sekitarnya. Panitia sengaja membatasi peserta karena kondisi PPKM level 2.

Subtrack yang digelar Perkumpulan Begandring Soerabaia ini, diawali dari kompleks arkeologi arca Joko Dolog (sebelah selatan Taman Apsari) dan berakhir di Kantor Pos Simpang (Coffee Toffee).

Kegiatan ini dipandu empat pegiat sejarah yang kompeten, yakni Nanang Purwono, Tri Priyo Wijoyo, Achmad Zaki Yamani, dan Kuncarsono Prasetyo. Mereka secara apik menarasikan era klasik, kolonial, kemerdekaan, hingga pascakemerdekaan.

Meriam kuningan bekas koleksi Musem Lama Surabaya. foto: begandring

Di bawah teduhnya pohon beringin di kompleks arca Joko Dolog, Nanang Purwono memberikan gambaran umum (overview).  “Simpang adalah salah satu kawasan elit di Surabaya yang sudah ada sejak era VOC. Tepatnya pada paro kedua abad 18,” terang dia.

Menurut dia, Huiz van Simpang yang sekarang menjadi Gedung Negara Grahadi, adalah penanda bangunan elit ketika Surabaya berkembang ke arah selatan mengikuti alur alamiah Sungai Kalimas.

“Gedung Negara Grahadi dibangun oleh Dirk Van Hovendorp pada 1790-an sebagai kediaman resmi penguasa Java’s van den Oosthoek  (Wilayah Pantai Utara Jawa) yang disebut Gezaghebber,” terang Nanang.

Tidak hanya gedung yang kala itu juga disebut istana “Paleis van Simpang”, kehadiran Gedung Simpangsche Societeit (Balai Pemuda) pada 1907, juga semakin menambah eksistensi keistimewaan kawasan Simpang.

Nanang menjelaskan, kawasan elit Surabaya mulai berkembang pesat pada awal abad 20. Ini dengan hadirnya pembangunan di kawasan Tunjungan, Ketabang  Gubeng, Darmo, Kaliasin, Sawahan, dan Kupang.

Baca Juga  Pemuda Katolik Surabaya Sukseskan Penggunaan Aksara Jawa.
Teras belakang Gedung Negara Grahadi. foto: begandring

“Klaster-klaster kawasan elit ini disebut Bovenstad alias kota atas atau kota elit,” timpal Nanang.

M Chotib Ismail, pegiat sejarah Begandring yang ikut jelajah sejarah ini, menuturkan, Simpang merupakan nama asli sebuah kawasan di Surabaya. “Bukan berarti persimpangan seperti halnya Simpang Lima di Semarang,” katanya.

Sementara Tri Proyo Wijoyo, pegiat sejarah klasik, bercerita tentang arca Joko Dolog. Ia memulai dengan menjelaskan asal usul arca. Di mana pada masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, ketika Surabaya sebagai Ibu Kota Karesidenan di bawah Residen Baron van Salis, arca ini diambil dari sebuah kompleks kuburan Wurare di Desa Bejijong, Mojokerto, 1817.

“Arca Joko Dolog ini akan dibawa ke Surabaya untuk selanjutnya diboyong ke luar negeri, tapi gagal. Akhirnya, diletakkan di taman belakang Istana Simpang,” terang Wijoyo.

Arca Joko Dolog adalah perwujudan Raja Kertanegara, Raja Kerajaan Singhasari terakhir yang wafat pada 1292. Namun arcanya sendiri dibuat pada 1211 Caka atau 1289 Masehi.

Kompleks arca Joko Dolog di Jalan Taman Apsari. foto:begandring

Menurut Wijoyo, arca yang bersifat Buddhis ini terdapat inskripsi atau pahatan yang bertuliskan aksara Jawa Kuna tapi berbahasa Sansekerta. Di antaranya, adanya pesan penyatuan kembali dua wilayah Panjalu dan Jenggala yang terpisah sejak abad 10 di penghujung era Kerajaan Medang Kahuripan di bawah Raja Airlangga.

Gagasan penyatuan dua wilayah inilah yang selanjutnya dianggap sebagai embrio Wawasan Nusantara dan menjadi inspirasi penguasa berikutnya di era Kerajaan Majapahit untuk menyatukan wilayah Nusantara di bawah Sumpah Amukti Palapa oleh Maha Patih Gajah Mada. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *