Masih tentang Mina Kruseman, tokoh feminis pejuang kesetaraan gender (emansipasi wanita) pertama di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebelum ada RA Kartini.
Ketika muda, Mina Kruseman pernah tinggal di Semarang mengikuti bapaknya yang berdinas sebagai tentara KNIL. Lalu balik ke negaranya, Belanda.
Ketika remaja, Mina memperdalam dan mengembangkan arti kebebasan dan kesetaraan gender di beberapa negara di Eropa dan Amerika.
Menginjak dewasa dengan berprofesi sebagai artis, Mina Kruseman balik ke Hindia Belanda dan menyuarakan kesetaraan gender melalui panggung-panggung hiburan. Mina Kruseman banyak menghabiskan waktunya di Surabaya.
Bahkan Mina Kruseman menjadi pimpinan kelompok sandiwara Constantia di Surabaya. Constantia adalah kelompok sandiwara besar dan berpengaruh. Melalui kelompok itulah, Mina Kruseman terus menyuarakan hak hak wanita dan kesetaraan gender.
Buka Sekolah Drama
Mina Kruseman adalah 4 bersaudara dari pasangan Hendrik Georg Kruseman (1802-1880) dan Jennij Dorotheé Hermine Cornelie Cantzlaar (1810–1859). Mina anak pertama yang lahir di Velp, Gelderland pada 1839.
Di masa mudanya, awal belasan tahun, ia pernah tinggal di Semarang karena mengikuti tugas bapaknya sebagai tentara KNIL. Tidak lama, bapaknya pulang balik ke Belanda dan membawa serta anak anaknya, termasuk Mina.
Beberapa tahun kemudian Mina balik ke Hindia Belanda, karena disuruh salah satu adiknya yang sudah tinggal terlebih dahulu di Surabaya. Adiknya menikah dengan Residen Surabaya, namanya S. Van Deventer. Ia menjabat sebagai Residen Surabaya mulai 1868-1873.
Menurut GH Von Faber dalam Oud Soerabaia, adiknya menyuruh Mina Kruseman berangkat ke Hindia Belanda pada 1 September 1877. Mina berangkat menggunakan kapal uap Princes Amelia dan tiba di Hindia Belanda melalui Batavia pada bulan Oktober 1877.
Ia tinggal di Batavia selama beberapa bulan. Selama di Batavia, ia sempat memberi kuliah dan ceramah akademik di gedung kesenian setempat. Mina sempat menggelar pementasan pada 14 November 1877 di Batavia.
Mina memang tidak lama tinggal di Batavia. Selain memberikan kuliah dan sekali pementasan, ia sempat mengiklankan diri untuk memberi pelajaran menyanyi, pidato, dan les piano.
Mungkin dianggap terlalu mahal sehingga tidak banyak yang berminat. Akhirnya Mina hijrah ke Surabaya untuk mendekati adiknya yang diperistri oleh pejabat Residen Surabaya, S. Van Deventer.
Mina akhirnya berangkat ke Surabaya. Masih menurut Oud Soerabaia, Mina kali pertama masuk Surabaya dan tinggal di Jalan Rustenburger dan kemudian pindah ke Gemblongan. Ia tinggal dengan keluarga Magelink.
Awal kehidupannya di Surabaya, Mina memberikan les kepada putri pimpinan orang China dan priyayi pribumi. Mina mulai sering menyuarakan pemikiran emansipasi wanita.
Bahkan ia memberikan buku yang ditulisnya tentang feminisme. Dalam buku itu, ia menuliskan perempuan perempuan yang mulai sadar akan hak-hak perempuan di Belanda.
Mereka itu di antaranya Nyonya Domis, Nyonya Van Der Swaan, Nona Van Der Swaan, Nyonya Van Der Steen dan Nona Van Der Geyn.
Di awal hidupnya di Surabaya, Mina Kruseman memberi ceramah di Gedung Concordia pada 17 Oktober 1877. Sambutannya luar biasa dan pada hari hari berikutnya isi ceraman Mina menjadi trending topic bagi kalangan nonik-nonik di Surabaya.
Yang menarik adalah ceramah Mina sempat diolok olok-oleh kaum pria, khususnya para suami. Bahkan ada yang menghinanya. Ini hal wajar ketika kesetaraan gender disuarakan. Surabaya adalah tempat menggelorakan feminisme dan kesetaraan gender yang pertama di Hindia Belanda.
Di rumah keluarga Magelink, seorang guru di HBS yang tinggal di Gemblongan, Mina Kruseman mulai membuka sekolah menyanyi dan drama pada 1 September 1879. Kelasnya buka 2 kali seminggu: Rabu dan Sabtu sore. Bayarnya 15 Gulden sebulan.
Mereka dipersiapkan bisa tampil di depan umum. Ada nilai nilai kesetaraan perempuan disisipkan dalam karya karyanya. Pertunjukan seni menjadi alat menyuarakan kesetaraan gender.
Selain pelajaran di kelas klasikal, Mina juga membuka les privat. Harganya per orang 25 Gulden per bulan. Sambil berjalan, proses pembelajaran, Mina membentuk kelompok drama yang diagendakan bisa tampil dalam Vorstenschool.
Pada tahun 1879, Mina Kruseman berkenalan dengan putera pemilik hotel Marine, Fritz Hoffman. Hotel ini berada di Westkalimas (sekarang Kalimas Barat), menghadap ke kanal Kalimas. Fritz Hoffman lebih muda sekitar 20 tahun.
Sejak berkenalan dengan Fritz dan akhirnya “menikah”, Mina meninggalkan rumah Magelink di Gemblongan dan masuk ke rumahnya sendiri di Nieuwe Hollandstraat (sekarang jalan Belakang Penjara). Rumah ini tidak jauh dari Hotel Marine.
Pimpinan Constantia
Kiprah Mina Kruseman di Surabaya cepat terkenal. Ia memang profesional di bidang seni. Hidupnya pada masa remaja hingga menginjak dewasa dihabiskan di negara negara Eropa sambil memperdalam minat dan bakatnya di bidang seni. Termasuk mengasah kepeduliannya di bidang emansipasi wanita.
Ketika kembali ke Hindia Belanda dia tinggal di Surabaya. maka Surabaya menjadi ajang implementasi semua bakat dan perjuangannya demi emansipasi wanita.
Bidang seni dan panggung pertunjukan menjadi sarana menyuarakan segala kemampuan dan perhatiannya. Karena ke profesionalnya itu, dia mendapat kesempatan memimpin sebuah kelompok seni musik Constantia. Constantia ini lahir dari De Jonge Constantia.
Sebenarnya De Jonge Constantia adalah organisasi yang dibentuk oleh para pemuda Indo (Oud Soerabaia). Organisasi ini hanya menampilkan beberapa pertunjukan saja.
Selanjutnya F. Reyneke, H.W. Sand, F.A.Lubeck, V. Wardenaar dan A. Berckholst mendirikan Constantia pada 10 September 1875. Dalam perjalanan organisasi, ketika Mina Kruseman tiba di Surabaya pada 1877, selanjutnya ia diberi mandat memimpin Constantia.
Baik dalam organisasi Constantia maupun dalam kelompik dramanya sendiri, Mina tidak lepas dari gerakan emansipasi wanita. Memang tidak mudah bagi Mina yang single fighter dalam menyuarakan emansipasi wanita. Ia bahkan dimusuhi para suami orang. Ia juga dimusuhi para wanita, yang sudah nyaman dalam naungan kaum pria. Apalagi setelah dia “menikah” dengan Fritz Hoffman, maka semakin lama semakin menjadikan hidupnya di Surabaya bagai dalam sebuah neraka.
Di akhir akhir masa ia tinggal di Surabaya, ia bagaikan minoritas dalam memperjuangkan emansipasi wanita meskipun sudah semakin banyak kaum wanita yang mulai mengertj hak haknya sebagai wanita. Tetapi perlawanan terhadapnya sebagai feminis juga semakin kuat. Apalagi yang dihadapi adalah orang orang kuat dan berpengaruh di Surabaya.
Tapi bagaimanapun, sebagian kecil dari jumlah wanita di Surabaya sudah mulai menjadi agen estafet emansipasi wanita, minimal bagi diri individunya masing masing.
Pada 1883, Mina dan Fritz Hoffman meninggalkan Surabaya. Sebuah surat kabar lokal Soerabaya Courant terbitan 5 November 1883 mengabarkan tentang kepergian Mina Kruseman dan Fritz Hoffman menuju Singapura untuk perjalanan ke Eropa. Pertama menuju ke Italia dan berikutnya tinggal di Perancis.
Mereka tidak pernah kembali ke Hindia Belanda hingga akhirnya mereka meningal di Perancis. Hoffman meninggal pada tahun 1918. Kemudian pada 1922, Mina Kruseman meninggal pada usia 82 tahun.
Pengaruh Buku Multatuli
Ketika Mina Kruseman meninggalkan Surabaya, Hindia Belanda pada 1883, Raden Ajeng (RA) Kartini masih berusia 4 tahun. Kartini lahir pada 1879.
Waktu RA Kartini umur 4 tahun, Mina sudah berumur 40 tahun. Kartini masih kategori Balita (bayi lima tahun). Raden Ajeng Kartini belum mengenal emansipasi wanita.
Sementara Mina Kruseman sudah bergelut dengan upaya memperjuangkan emansipasi wanita. Kota Surabaya adalah ladang perjuangannya.
Mina Kruseman dan Kartini hidup di masa yang berbeda. Pada masa Kartini, adalah masa perjuangan lainnya untuk emansipasi wanita. Kartini lah yang selanjutnya menjadi emansipator wanita. Perjuangannya tampak pada surat-surat Kartini yang dikirim ke sahabatnya di Belanda J.H. Abendanon.
Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Abendanon (istri) adalah sepasang suami-istri yang dikenal karena menjadi salah satu sahabat pena Kartini dan kemudian menerbitkan surat-suratnya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. J.H. Abendanon lahir di kota Paramaribo, Suriname pada 14 Oktober 1852,
Di Hindia Belanda (Indonesia) pada pasca kemerdekaan tahun 1945, RA Kartini menjadi pemikir modern Indonesia pertama yang memperjuangkan emansipasi wanita. Selanjutnya tanggal lahirnya 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk memperingati hari emansipasi wanita (kesetaraan gender).
Di masa remajanya, sekitar 20 tahunan, Kartini yang bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya kepada Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang lebih rendah daripada pria.
Dari penerbitan dalam negeri (Hindia Belanda), Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Ada juga majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya yang ditulis, tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Ia juga membaca sejumlah buku buku.
Di antara buku buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali.
Dapat diduga, entah dari judul buku yang mana dari Multatuli atau Eduard Douwes Decker, yang terkait dengan surat-surat cinta Multatuli, di sana tentu ada lembar surat cintanya untuk Mina Kruseman. Multatuli dan Mina Kruseman memang sempat jatuh cinta.
Buku Oud Soerabaia menuliskan bahwa Mina Kruseman dan Multatuli berkenalan di Weimar, Belanda pada 1873. Saat itu adalah momen ketika Mina berusaha mendekati orang orang terkenal untuk upaya membuat pemantasan berdasarkan karya karya tulis mereka. Mina berhasil mencuri perhatian Multatuli dan membuat drama berdasarkan tulisan Multatuli.
Dari buku Multatuli, yang berisi surat surat cintanya, dimungkinkan R.A. Kartini mengenal Mina Kruseman yang berpacaran dengan Multatuli dan pernah memperjuangkan emansipasi wanita di Surabaya.
Selain itu, Kartini juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Dari buku buku yang ia baca maka semangat emansipasi nya pun semakin menggelora dan apalagi Kartini melihat fakta bagaimana wanita wanita pribumi saat itu. Wanita wanita di era Kartini remaja pada 1899 hingga 1900 seperti terkungkung. Termasuk dia sendiri yang juga terkungkung.
Padahal ketika Mina Kruseman di Semarang pada 1850-an, ia merasakan dan melihat kebebasan dan dari Semarang ia mulai mengerti apa itu emansipasi dan kemudian memperjuangkan emansipasi itu.
Melalui surat surat cinta dalam buku Multatuli, Raden Ajeng Kartini diduga mulai mengenal Mina Kruseman dan semakin mengenal perjuangan emansipasi wanita. (nanang purwono)