Keberadaan Sumur Jobong di Jalan Pandean I, Surabaya terancam rusak. Kerusakan tersebut diungkapkan Agus Santoso, juru pelihara (jupel) Sumur Jobong.
Agus awalnya menyampaikan kabar kerusakan ini ke Begandring Soerabaia. Dari laporan itu, tim Begandring yang dipimpin Nanang Purwono (ketua) dan Yayan Indrayana (sekretaris), langsung terjun ke lokasi. Hasil pengamatan lapangan, ditemukan kalau bibir Sumur Jobong banyak yang cuwil alias retak.
Kamis (16/3/2023), tim Begandring Soerabaia dengan surat yang dibuat Agus Santoso, mendatangi kantor Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya di Gedung Siola, Jalan Tunjungan Surabaya. Tujuannya untuk melaporkan secara resmi atas kerusakan di Sumur Jobong.
Di Kantor TACB, mereka diterima semua tim ahli, kecuali Retno Hastijanti (ketua) dan Purnawan Basundoro (sekretaris) yang berhalangan hadir. Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Wiwiek Widayati juga ikut mendampingi.
Dalam pertemuan itu, Agus Santoso melaporkan sekaligus mengkonsultasikan upaya upaya penyelamatan benda cagar budaya tersebut.
Mendengar isi laporan, Wiwiek lantas membuat surat untuk diteruskan ke Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur (Trowulan).
“Saya setuju. Karena Tim Disbudporapar Surabaya tidak bisa menangani. Saya minta bantuan ke BPK Trowulan. Surat akan saya buat segera,” janji Wiwiek.
Hari itu juga surat ke BPK Trowulan dibuat dan keesokan harinya Jumat, (17/3/2023), surat dikirim ke BKP Trowulan. Sementara tembusan dikirimkan ke Begandring.
Untuk mempercepata penanganan, Begandring juga juga berkoordinasi dengan BPK Trowulan sambil meneruskan surat yang dibuat Disbudporapar Surabaya. Surat dan koordinasi dengan BPK Trowulan dilakukan pada Sabtu (18/3/2023).
“Harapan kami tim BPK Trowulan segera menindaklanjuti dengan melakukan pekerjaan penyelamatan atas sumur Jobong,” ujar Yayan Indrayana.
Permukiman Kuno
Sumur Jobong diketemukan pada saat ada proyek gorong-gorong di Kampung Pandean I Surabaya, akhir Oktober 2018. Sumur ini menambah khazanah objek dan daerah tujuan wisata di Kota Pahlawan.
Sumur Jobong adalah jedingan (dinding sumur) berbentuk silinder yang terbuat dari tanah liat atau terakota. Sumur yang jedingannya terbuat dari struktur silinder terakota ini, umum diketemukan di daerah Trowulan yang dikenal sebagai kawasan kota Raja Majapahit.
Penemuan Sumur Jobong menunjukkan bahwa Pandean dan Peneleh adalah kampung kuno yang sudah ada di era Majapahit, bahkan sebelum Majapahit.
Dalam catatan sejarawan GH Von Faber dalam buku Er Werd Een Stad Geboren (1953), kawasan Pandean dan Peneleh dituliskan sudah ada di tahun 1270-an. Kawasan ini diperkuat dengan data faktual berupa Prasasti Canggu yang dibuat oleh Raja Hayam Wuruk dari masa Majapahit pada 1358 M.
Di sana disebutkan nama Curabhaya sebagai sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang keberadaannya di utara Bkul atau desa Bungkul. Desa Bungkul dan Surabaya sama sama berada di tepian sungai.
Dari urutan nadirita pradeca, desa Surabaya berada di bagian paling hilir sungai. Diduga deca Curabhaya (kini Surabaya) adalah kawasan Delta yang ada di antara Kalimas dan Kali Pegirian.
Apalagi dengan temuan sumur Jobong di Kampung Pandean yang menggambarkan adanya wilayah permukiman kuno, maka diduga kuat bahwa Pandean dengan dasar prasasti, temuan arkeologi dan literasi yang cukup, Pandean dan Peneleh adalah perkampungan kuno
Sumur Jobong adalah satu satunya temuan arkeologi di Surabaya dan sekaligus menunjukkan ketuaan Surabaya. Ketika ditemukan kondisi fisiknya sudah ada keretakan. Sebagai upaya penyelamatan, maka sumur yang terletak di bawah permukaan tanah sekitar 1 meter ini dibuatkan ruang bawah tanah.
Selain sebagai upaya perlindungan, ruang persegi di bawah tanah ini dipakai sebagai akses untuk melihat dari dekat keberadaan dan bentuk dari sumur.
Sumur ini masih aktif dan sumbernya terus mengeluarkan air. Airnya jernih dan tidak berbau. Sering sekali jika tidak dipompa keluar, ruang bawah tanah ini penuh dengan air. Ini menjadikan fisik sumur Jobong terendam air. Airnya kerap dimanfaatkan untuk menyirami tanaman di kampung.
Mungkin karena akibat tekanan dan gelombang air yang dipompa keluar ini mengakibatkan gerakan-gerakan yang menekan bibir Jobong yang terdapat keretakan. (nanang purwono)