Tambak Bayan, Tempat Pelarian Bangsawan

Masyarakat umum Surabaya pasti mengenal Kampung Tambak Bayan. Lokasinya di sebelah selatan kawasan Tugu Pahlawan.

Pada tahun 1617, saat Mataram Islam diperintah Sultan Agung Hanyakrakusuma, terjadi pemberontakan besar penguasa Pajang yang hendak melepaskan wilayahnya dari cengkeraman Mataram.

Adipati Pajang mempunyai seorang bawahan bernama Ngabehi Tambakbaya, seorang yang sangat gagah dan sakti. Serat Kandha mengisahkan bahwa Ngabehi Tambakbaya atau Aria Tambakbaya merupakan pemimpin pasukan Pajang.

Tentang tokoh Tambakbaya yang gagah berani tersebut, sebuah catatan dari Valentijn (Oud en Niew, jilid IV, hal 40) menyebutkan :

Twee myl bewesten deze stad (jagaraga) legt het stedeken Tambicbaya” (Adipati Pajang mempunyai seorang bawahan bernama Ngabehi Tambakbaya) seorang yang sangat gagah dan sakti. Serat Kandha mengisahkan bahwa Ngabehi Tambakbaya atau Aria Tambakbaya merupakan pemimpin pasukan Pajang.

Dua mil sebelah barat kota ini (jagaraga) terletak kota bernama Tambicbaya), yang pada peta Valetijn wilayahnya digambarkan sebesar Madiun, Jagaraga, Ponorogo.

Peta tahun 1678 dalam Jonge (Opkomst, jilid VII, 256) juga ditemukan peta Tambakbaya. Namun kini tidak terlihat bekas kejayaan Tambakbaya, seakan kini menjadi daerah tak berarti.

Larinya tokoh Tambakbaya ke Surabaya saat kekalahan Pajang tahun 1618 yang terekam dalam Babad Sangkala, diberi kedudukan yang penting, dan tempat tinggal tidak jauh dari Keraton Surabaya.

Hubungan Tambakbaya dengan keturunan penguasa Surabaya, diperkuat berita dalam Padmasoesastra (Sadjarah, generasi 217), bahwa Adipati Tambakbaya yang bergelar Adipati Sanjata menikah dengan putri Surabaya (putri Jayalangkara), yang bergelar Ayu Adipati Tambakbaya. Sehingga Tambakbaya menjadi ipar Pangeran Pekik.

Diduga Kampung Tambak Bayan, dulunya merupakan rumah kediaman Adipati Tambakbaya/Adipati Sanjata. Pada peta 1866 nama Kampung Tambak Bajan sudah tersebut. (*)

Baca Juga  Belajar tentang bencana, sejarah dan kemanusiaan, di konser “Kataklistik Budaya : Jawa Timur - Pertemuan Tiga Lempeng Dunia”.

*)R. TP Wijoyo, pemerhati sejarah klasik

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *