Case van der Linden, Warga Amerika Berdarah Belanda Asli Suroboyo, Saksi Perang dan Damai di Surabaya.

Begandring.com – “My parents supported the young Republic of Indonesia from 1949 -1954. My Dad was as the legal advisor for the city of Soerabaia and my mom was as the Mathematic teacher at the SMA”. Ujar Case van der Linden, warga negara Amerika berdarah Belanda, kelahiran Surabaya 1939.

Di usianya yang ke 84 tahun, Case masih ingat masa kecilnya antara 6 sampai 10 tahun atau tahun 1945 – 1949. Ia hidup di Surabaya hingga tahun 1954 bersama orang tuanya. Orang tuanya adalah J.J. van der Linden. Dia pensiunan tentara KNIL yang ditahan di Burma dan kembali pulang ke Surabaya pada 1949 di saat pada penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.

Foto keluarga Case van der Linden bersama ibu dan saudara perempuannya di Surabaya, 1946. Foto: Case

Selama J.J. van der Linder ditahan di Burma (1946-1949), Case dan ibu serta dua saudara perempuannya tinggal di Jalan Embong Kemiri 20 Surabaya. Mereka kemudian sempat pindah rumah ke Coen Boulevard no 6 (kini Jalan Polisi Istimewa) di saat perang dan Damai. Dalam perpindahan di saat terjadi perang, 1946, ada sosok yang berpengaruh. Yaitu Komandan Polisi Istimewa Mohammad Jasin. Ia adalah sahabat dari bapaknya Case van der Linden, yang bernama J. J. Van der Linden.

Semua kisah di atas adalah cerita Case van der Linden melalui inbox akun Facebook nya. Ketika harus mengungsi ke Jalan Coen Boulevard, sang ayah memang tidak ada di rumah karena sedang menjadi tawanan perang POW di Burma. Bapaknya Case adalah seorang tentara, sama seperti Mohammad Jasin.

Keluarga Case di jalan Coen Boulevard (Jl. Polisi Istimewa) Surabaya pada 1947 ketika bapaknya masih menjadi tawanan perang di Burma. Foto: Case.

After all the hostilities, my Dad returned from POW in Burma, made a contact with Mohammed Jasin and thanked him for keeping a watch over us”, cerita Case melalui Facebook yang mengatakan bahwa setelah penahanan bapaknya di Burma, dia bertemu Mohamad Jasin dan berterima kasih atas bantuannya menjaga keluarga nya.

Baca Juga  Dipolice Line Bisa Dipanjat Dan Dipasangi Spanduk.

Di Jalan Coen Boulevard, Case beserta Ibu dan adik adiknya tinggal di depan markas Polisi Istimewa. Dengan begitu Mohammad Jasin bisa menjaga keluarga Case.

Bahkan ketika akan terjadi serangan bom dan tembakan yang dilancarkan Sekutu, Mohammad Jasin menyuruh keluarga Case untuk masuk ke markas Polisi Istimewa dan bersembunyi di bawah tangga.

Before all of this, Mohammed Jasin had told us to take refuge in their head quarters de Broeders school under the big staircase with Indonesian women and children”. Sebelum semua terjadi, Mohamad Jasin menyuruh kami mengungsi ke markasnya di Bruderan dan bersembunyi di bawah tangga besar bersama sama perempuan dan anak anak lainnya, jelas Case.

Rumah keluarga di jalan Kemiri Surabaya. Foto: Case

Di saat bersembunyi di bawah tangga itulah, Case dan para pengungsi lainnya bisa mendengar pembicaraan pasukan Polisi Istimewa di bawah komando Mohammad Jasin yang baru saja balik dari bertempur di tengah kota. Suasana mencekam. Menakutkan. Kemudian Mohammad Jasin memberitahu ibunya Case bahwa di markas Polisi Istimewa pun bisa tidak aman karena akan menjadi target serangan Sekutu.

Kemudian Mohammad Jasin menarik mereka dari markas Polisi Istimewa dan akhirnya keluarga Case bersembunyi di sebuah rumah pojok di jalan yang sama. Ketika itu rumah ini adalah toko daging. Setelah masuk rumah, terdengarlah pemboman di sekitar rumah. Mengerikan menurut Case. Itu adalah peristiwa yang tidak dapat di lupakan dalam hidupnya.

We ended up staying at the Corner house. It was a meat store. It had a big walk in freezer with big brick walls. When the English came with their tanks. They shot up every corner of the house. It was about ½ hour to an hour long. No one in the freezer got hurt but in the same places, the thick walls were reduced to inches”, cerita Case yang menyaksikan pasca pemboman tentara Sekutu di sekitar persembunyiannya.

Baca Juga  Lebaran, Ater-Ater, dan Mercon RRT

Dia menceritakan bahwa mereka bersembunyi di rumah pojok yang berjualan daging. Mereka sembunyi di dalam kulkas besar. Ketika tentara Inggris datang dengan tank tanknya, tentara Inggris itu menyisir rumah itu. Mereka di sana antara setengah jam hingga satu jam. Tidak ada yang terluka meski ada bongkahan dan serpihan tembok.

Setelah pemboman terjadi dan tidak ada suara lagi dan suasana aman, mereka sempat keluar rumah. Bahkan ibu Case sempat melihat serpihan pecahan peluru dan memungutnya. Lalu menyimpannya.

“Outside the freezer house, we picked these shells up like shells at the beach. My mom kept them and I brought them with me in 1960”, di luar rumah mereka memunguti pecahan peluru peluru dan mengkoleksi nya serta mbawa serta ke Belanda hingga mereka berpindah ke Amerika pada 1960 an, kisah Case.

Hingga kini, di usia Case yang ke 84 tahun, ia masih menyimpan pecahan peluru asal Surabaya di rumahnya di Amerika

 

Penasehat Hukum Wali Kota Mustadjab.

J.J. van der Linden, bapaknya Case, sebagai penasehat hukum Wali Kota Surabaya R. Moestajab. Foto: Case

Perang usai. Pada 1947, keluarga Case kembali ke rumah keluarga di Jalan Embong Kemiri 20 Surabaya. Namun, masih belum bisa bersatu dengan sang bapak. Bapaknya masih di Burma sebagai tahanan POW (prisoner of war).

Tahun 1949, J. J. Van der Linden baru pulang dan bersatu dengan keluarga. Mereka hidup bahagia dan semakin bahagia karena J.J. van der Linden, yang sudah kenal dengan pejabat Surabaya, mulai bekerja di pemerintah kota Surabaya yang waktu itu walikotanya dijabat H. Doel Arnowo.

Menurut Case, bapaknya memiliki hubungan yang baik dengan Doel Arnowo, yang juga sebagai tokoh pejuang Surabaya. Doel Arnowo tercatat sebagai wali kota Surabaya mulai tahun 1950 – 1952. Lalu walikota Surabaya berganti ke R. Moestajab Soemowidagdo (1952 – 1956)

Baca Juga  Penyelamatan dan Pemanfaatan Bangunan Langka di Kota Tua Surabaya

Di bawah kepemimpinan walikota Moestajab, J. J. Van der Linden menjadi penasehat hukum walikota. Peranan J. J. Van der Linden kala itu cukup besar di lingkungan pemerintahan kota Surabaya. Terlebih setelah adanya peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia dan banyak nasionalisasi yang terjadi dan membutuhkan pendampingan hukum. J. J. Van der Linden lah yang kala itu sebagai pendamping walikota untuk urusan urusan hukum dan pemerintahan.

Kartu undangan perpisahan. Foto: Case

Surabaya mulai membangun sebagai bagian dari pemerintahan baru Republik Indonesia. Kala itu umur Indonesia masih seumur jagung. Belum genap 10 tahun. Namun pada tahun 1954, keluarga van der Linden harus berangkat ke Belanda. Pindah ke Belanda. Meninggalkan kampung halaman tercinta. Surabaya.

Keberangkatan keluarga J.J. van der Linden dilakukan perpisahan resmi oleh wali kota Surabaya, R. Mustadjab Soemowidagdo pada tahun 1954.

Perpisahan J.J. van der Linden beserta istri dengan Wali Kota Moestadjab (tengah) di Kediaman Wali kota pada 1954. Foto: Case.

Menurut Case, keluarga van der Linden sudah lima generasi tinggal di Surabaya. Bahkan makam keluarga van der Linden masih berada di Makam Belanda Peneleh. Satu batu prasasti dari buyut nya sudah hilang, kecuali nisan prasasti dari adik bapaknya yang bernama Sylvia, yang masih tertempel di sana.

Pada tahun 1978, bapaknya sempat berkunjung ke Surabaya beserta keluarga, termasuk mengajak Case van der Linden. Kedatangannya ke Surabaya untuk memugar makam keluarga. J. J. Van der Linden sempat mencoba menghubungi kawan kawan sesama pejabat di pemerintahan kota Surabaya, tapi terkabar mereka sudah meninggal dunia termasuk mantan walikota R. Moestajab Soemowidagdo meninggal pada 1956.

Makam keluarga di Peneleh. Foto: Case
Makam keluarga di Penelek. Bergaris bulat. Foto: Case

Selain merenovasi makam keluarga di Makam Belanda di Peneleh, mereka sempat melihat jejak jejak mereka di Jalan Embong Kemiri, kediaman Walikota Surabaya serta Balai Kota. Tidak lupa rumah di jalan Coen Boulevard yang selanjutnya berubah nama menjadi Jalan Polisi Istimewa.

Case beserta istri dan anak anak di Amerika. Foto: Case

Bagi Case, Surabaya menyimpan banyak kenangan. Surabaya adalah kampung halaman. Ia tidak bisa melupakannya meski ia sudah berkewarganegaraan Amerika Serikat. (Nanang).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *