Mengenang Stasiun Secang: Dari Rute Gula, Pertempuran Ambarawa, hingga Kenangan Titiek Puspa

Penulis: Nevy Pattiruhu

Begandring.com-Beberapa saat lalu, saya kembali berkunjung ke sebuah bekas stasiun bernama stasiun Secang di Kabupaten Magelang, setelah pertama kalinya saya ke sini antara 2009-2010. Stasiun ini memang sudah lama mati sekiranya sejak tahun 1976/77 karena alasan bahwa dahulu jalur-jalur cabang sudah tak mampu lagi bisa dipertahankan, sebab merugi dari sisi pendapatan. Contohnya seperti jalur KA yang melewati bekas stasiun Secang yakni jalur mulai dari Yogyakarta – Ambarawa via Secang.

Stasiun Secang dahulu resmi beroperasi pada tanggal 15 Mei 1903 bersamaan dengan pembukaan jalur antara St. Magelang Kota (akrab disebut; kebonpolo) hingga Secang sepanjang 10 km.

Potret Stasiun Secang tempo dulu. Foto: Spoorweg Station Op Java

Jalur itu merupakan jalur terusan setelah selesainya jalur Yogyakarta – Magelang tahun 1898 yang dibangun oleh perusahaan KA swasta yang berkantor pusat di gedung Lawang Sewu, bernama NISM (Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij).

Dari Secang, dua jalur baru dibangun kembali dengan mengambil stasiun ini sebagai titik awal percabangan, ke utara arah Ambarawa dirampungkan tahun 1905 dan ke barat yakni Temanggung hingga Parakan di 1907. Lintasan sepur ini kemudian menjadi sangat sibuk karena beberapa pabrik gula di utara Yogyakarta dan komoditas ekspor unggulan dari Temanggung berupa Tembakau dikirimkan ke pelabuhan Semarang via Ambarawa – Secang, selain fungsi untuk angkutan penumpang.

Pintu masuk berbentuk plengkung yang segaris lurus dengan pintu menuju peron. Foto: Nevy P

Seorang Titiek Puspa bahkan mempunyai kenangan tak terlupakan ketika ia harus mengungsi dalam suasana mencekam pada kondisi perang Agresi Militer di stasiun ini yang ia ceritakan dalam buku biografinya yang berjudul “Titiek Puspa a legendary Diva”.

Bapak membawa kami ke stasiun. Ibu sedang mengandung saat itu. Kami mendapatkan tempat di kereta. Hanya cukup untuk kami berdiri, saking banyaknya penumpang! entah menuju kemana. Itulah perjalanan yang dikenang sebagai “kereta api terakhir” dari Ambarawa. Kereta itu membawa ribuan pengungsi pada malam hari. Peperangan di Ambarawa kemudian merusak stasiun itu. Kereta terus berjalan, dan berhenti di stasiun Secang, Magelang.

Fasad atau muka depan bangunan bekas stasiun berarsitektur Chalet khas NIS. Kondisinya sekarang telah terhimpit pemukiman penduduk. Foto: Nevy P

Baca Juga  Mengenal Lemah Murup Driyorejo

Ada sebuah keajaiban terjadi, seorang tetangga kami di Semarang, Oom kamil mendengar ada kereta berisi ribuan pengungsi dari Kutoarjo dan Ambarawa. Nalurinya mengatakan ada keluarga ibu di kereta itu. Malam itu ia berinisiatif berjalan ke stasiun dan menanti kereta tiba. Bukan main leganya kami, ketika ia muncul di antara ribuan pengungsi yang berseliweran setelah turun dari kereta. Kami berpelukan penuh kerinduan. Ibu menangis karena lega, kami punya orang yang bisa dijadikan gantungan harapan. Kami dibawa oom kamil ke Temanggung yang relatif lebih aman,” ungkap Titiek Puspa.

Bangunan utama stasiun dilihat dari sisi peron. Lihatlah masih terlihat lantai peron bertegel serupa “tahu kuning” buatan Maastricht, Belanda. Foto: Nevy P

Kondisi bangunan bekas stasiun memang tergolong masih utuh tapi terlihat tidak cukup baik. Atap / overkapping yang memayungi area peron sudah tidak ada karena dulu PJKA sempat memindahkannya ke St. Tanah Abang sebelum dielektrifikasi. Yang tersisa kini hanyalah bangunan utama stasiun, gudang dan depo lokomotif yang tinggal puingnya saja.

Bekas gudang stasiun. Kini kosong terbengkalai. Foto: Nevy P

 

*Nevy Pattiruhu. Pegiat Sejarah di Komunitas Begandring Soerabaia, spesialisasi sejarah kereta api.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *